Model Ideal Pengembalian Aset Hasil Korupsi

Dalam perkembangannya, korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari aspek kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun kualitas yang dilakukan secara canggih dan sistematis, bahkan telah menembus lintas batas negara.

Oleh karena itu, penanganan korupsi, khususnya dalam rangka memaksimalkan pengembalian kerugian negara, perlu pendekatan yang bersifat integral, di samping melalui penal, nonpenal, serta melalui kerja sama internasional.

Terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi, UU Antikorupsi telah mengetengahkan konsep pengembalian kerugian keuangan negara. Konsep tersebut diharapkan mampu mengembalikan kerugian negara di samping pelaku tindak pidana korupsi dikenai sanksi pidana.

Jalur pidana dimasukkan dalam pidana tambahan berupa uang pengganti dengan jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Praktiknya, uang pengganti itu sulit dikembalikan.

Sebagaimana dilansir banyak media, uang pengganti perkara korupsi yang ditangani kejaksaan yang sudah berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan pengadilan sepanjang 2007-Juni 2008 sebesar Rp 106,7 miliar dan USD 18 juta. Dari jumlah itu, baru Rp 2,081 miliar yang disetorkan ke kas negara, departemen, dan BUMN, dengan Rp 14,32 miliar diganti dengan hukuman pidana.

Fakta tersebut mengindikasikan bahwa dalam tindak pidana korupsi, para koruptor lebih memilih tidak mengembalikan hasil korupsinya dengan risiko dipenjara sekalipun.

Selain melalui jalur pidana, pengembalian keuangan negara juga dilakukan melalui jalur perdata. Jalur perdata ini ditempuh bila upaya pidana sudah tidak dimungkinkan. Artinya, perampasan dan uang pengganti tidak berhasil dilakukan karena dihadapkan pada kondisi hukum tertentu. Satu-satunya alternatif ialah dilakukan melalui gugatan perdata. Dengan demikian, jalur perdata bersifat fakultatif dan merupakan komplemen dari hukum pidana.

UU Antikorupsi tidak mewajibkan gugatan perdata. Tidak adanya kewajiban itu memberikan peluang kepada jaksa pengacara negara untuk melakukan atau tidak melakukan gugatan perdata pengembalian keuangan negara. Buktinya, selama ini gugatan perdata pengembalian keuangan negara tidak banyak dilakukan.

Kasus Supersemar

Dua kasus menonjol yang pernah dilakukan melalui instrumen gugatan perdata ialah gugatan terhadap Yayasan Supersemar yang melibatkan mantan Presiden Soeharto. Dalam kasus tersebut, Soeharto digugat membayar ganti rugi materiil sebesar USD 400 juta dan Rp 185,9 miliar, juga mengganti kerugian imateriil Rp 10 triliun. Pada saat kasus itu memasuki tahap akhir, tepatnya 27 Januari 2008, Soeharto meninggal dunia sehingga secara hukum posisinya tergantikan oleh ahli waris keenam anak Soeharto.

Setelah memakan waktu yang sangat panjang, pada 23 Maret 2008, vonis hakim menyatakan Soeharto tidak terbukti merugikan keuangan negara secara melawan hukum.

Kasus gugatan kedua ditujukan kepada PT Goro Batara Sakti (GBS) yang melibatkan Tommy Soeharto sebagai tergugat, dengan total nilai gugatan Rp 550,7 miliar, yang diajukan Perum Bulog. Atas gugatan itu, Tommy Soeharto mengajukan gugatan balik terhadap Perum Bulog dengan meminta ganti rugi secara keseluruhan Rp 10 triliun. Gugatan terhadap Tommy akhirnya kandas juga, ditolak pengadilan. Sebaliknya, justru Perum Bulog dihukum membayar ganti rugi materiil Rp 5 miliar.

Kegagalan gugatan perdata terhadap dua kasus di atas sebenarnya sudah diduga sejak awal. Bukan saja karena kasus itu sarat muatan politik, tapi juga karena alasan yuridis. Secara prosedural, kegagalan tersebut disebabkan gugatan perdata bersifat menunggu. Yaitu diajukan setelah proses pidana tidak mungkin lagi dilakukan. Akibatnya, sejak awal gugatan perdata telah kehilangan momentum atau kesempatan yang tepat untuk menarik aset koruptor.

Selain itu, kesulitan yang lebih serius dihadapi jaksa pengacara negara terkait dengan persyaratan prosedural pengajuan gugatan perdata. Hal ini disebabkan gugatan perdata diajukan setelah dalam proses pidana dinyatakan tidak cukup unsur bukti, bahkan diputus bebas.

Logika hukumnya, bagaimana mungkin dapat berhasil menuntut pengembalian keuangan negara terhadap perkara yang telah dinyatakan tidak cukup unsur bukti atau terhadap perkara yang telah diputus bebas. Dengan demikian, gugatan perdata pengembalian keuangan negara semakin rumit.

Gugatan Perdata secara Khusus

Kenyataan di atas menuntut perlunya pengaturan pengembalian keuangan negara melalui instrumen gugatan perdata secara khusus. Konsekuensinya, gugatan perdata tidak dapat hanya disandarkan pada ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku (HIR), yang ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pemberantasan korupsi.

Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping upaya secara pidana, bukan sekadar bersifat fakultatif atau komplemen dari hukum pidana, sebagaimana ketentuan UU Antikorupsi.

Oleh karena itu, diperlukan konsep pengembalian keuangan negara yang progresif. Misalnya, dengan mengharmonisasikan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC 2003) yang telah diratifikasi di Indonesia. Harmonisasi ini diperlukan dalam kaitannya dengan pengembalian keuangan negara melalui gugatan perdata yang di dalam UU Antikorupsi belum disertai dengan pembalikan beban pembuktian sebagaimana model civil forfeiture di negara-negara lain.

Terlebih Indonesia telah ikut serta dalam program Inisiatif StAR (Stolen Asset Recovery) untuk mencari dukungan dan bantuan dalam mengatasi hambatan-hambatan pengembalian aset hasil tindak kejahatan korupsi yang diparkir di luar negeri.

Dengan demikian, model civil forfeiture menjadi signifikan untuk pengembalian hasil korupsi di Indonesia. Bukan saja karena civil forfeiture menggunakan pembalikan beban pembuktian, tetapi juga karena civil forfeiture dapat melakukan penyitaan lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Selain itu, civil forfeiture juga merupakan gugatan terhadap aset, bukan tersangka atau terdakwa, sehingga aset negara dapat diselamatkan meski tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia.

Jadi, cara apa pun yang dapat dibenarkan menurut hukum harus diupayakan seoptimal mungkin. Prinsipnya, hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat.
 
Dr H.S. Eka Iskandar SH, MH , konsultan hukum, meraih gelar doktor dari Pascasarjana Unair dengan desertasi ''Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata''

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos,12 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan