MK Usulkan Atur Kewenangan Penyidikan
Mahkamah Konstitusi atau MK dalam putusannya meminta pembentuk undang-undang untuk mengatasi terjadinya tumpang tindih fungsi penyidikan, apakah penyidikan merupakan kewenangan kepolisian ataukah kejaksaan.
Mahkamah Konstitusi atau MK dalam putusannya meminta pembentuk undang-undang untuk mengatasi terjadinya tumpang tindih fungsi penyidikan, apakah penyidikan merupakan kewenangan kepolisian ataukah kejaksaan.
Namun, terkait permohonan Ny A Nurani dan Subarda Midjaya, MK menyatakan kedua pemohon tidak punya kedudukan hukum.
Putusan ini dibacakan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Jimly Asshiddiqie dalam sidang di MK, Jakarta, Kamis (27/3). Majelis hakim menyatakan, kedua pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Majelis hakim mempertimbangkan pengalaman pemohon II, Subarda Midjaya. Ia pernah disidik dan ditahan kepolisian, tetapi kemudian keluar Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Namun, di kemudian hari ia disidik kembali dan ditahan kejaksaan.
Menurut dalil pemohon, pemeriksaan oleh kejaksaan merugikan hak konstitusionalnya, yang diberikan Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28 G Ayat 1 dan 2, Pasal 28J Ayat 1 dan 2 UUD 1945, yaitu jaminan akan kepastian hukum yang adil.
Majelis hakim menjelaskan, norma UU Kejaksaan adalah norma UU yang berkenaan dengan hukum acara pidana. Karena itu, terdapat kaitan langsung dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selaku ketentuan induk dari seluruh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Berbeda dengan ketentuan tentang hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya, dalam KUHAP dianut sistem penyelesaian pidana secara terpadu.
Sebagai suatu sistem, lanjut majelis hakim, proses penegakan hukum pidana ditandai dengan adanya diferensiasi wewenang antara setiap komponen penegak hukum, yaitu polisi sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, dan hakim sebagai aparat yang berwenang mengadili.
Menurut majelis, kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal bukan lahir dari UUD 1945, tetapi dari UU. Perincian tentang diferensiasi fungsi diserahkan kepada DPR dan Presiden untuk mengaturnya lebih lanjut dengan UU.
Bahkan, sebelum adanya perubahan UUD 1945, diferensiasi fungsi dimaksud pada pokoknya telah diatur dalam UU No 8/1981. Ternyata UU Kejaksaan memberikan kewenangan kejaksaan untuk penyidikan pula. (vin)
Sumber: Kompas, 28 Maret 2008