MK Tolak Gugatan Akil Mochtar Soal UU Pencucian Uang

MK Tolak Gugatan Akil Mochtar Soal UU Pencucian Uang

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diajukan Akil Mochtar. Permohonan Akil yang menyatakan dirugikan secara konstitusi atas beberapa pasal dalam UU tersebut, dikatakan MK tidak beralasan menurut hukum.

“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Arief Hidayat selaku pimpinan sidang.

Putusan tersebut merupakan haris Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, AriefHidayat, Muhammad Alim, Aswanto, Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Wahiduddin Adams. Namun, Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indratimemiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).

Dalam hal ini putusan Mahkamah dalam menolak isi gugatan oleh kuasa hukum Akil Mochtar salah satunya.

(3.17) menimbang bahwa frasa “patut diduga” atau “patut diduganya” yang terdapat dalam Psal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU 8/2010 menurut dalil pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Psal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, dalam perkara pidanan soal terbukti atau tidak terbuktinya, yakin dan tidak yakinya para hakim yang mengadili suatu perkara semata-mata berdasarkan bukti-bukti di persidangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (undang-Undang Nomer 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana) yang merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda terdapat rumusan pasal yang menggunakan frasa “patut diduga”. “patut diduganya” , atau “patut menyangka” yang terdapat, antara lain dalam Pasal 283, Pasal 288, Pasal 292, dan Pasal 480. Penerapan pasal-pasal tersebut dala peradilan sangat tergantung pada bukti dan keyakinan hakim. Dalam proses pembuktian, “patut diduga”, “patut diduganya”, atau “patut disangkanya” tidak hanya dalam bahasa undang-undang, tetapi sangat tergantung terbuktinya atau tidak terbuktinya pengadilan dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan penegak hukum terkait dnegan hak warga negaranya.

Bukti dan keyakinan hakim merupakan hubungan sebab akibat atau kausalitas UUD 1945 telah menentukan adanya kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan (vide Pasal 24ayat (1) UUD 1945) dna ayat berikutnya yang menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konsitusional. Khususnya mengenai tindak pidana pencucian uang merupakan kewenangan pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, dengan demikian dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Majelis menegaskan, gugatan Akil yang mengatakan UU TPPU bukan wewenang KPK sebagai penyidik adalah salah. Majelis menganggap kewenangan untuk menyidik dan menuntut bukan ranah judicial review.

"Menimbang yang menurut pemohon pasal 95 UU 8/2010 tentang TPPU bukan kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntut, menurut mahkamah kasus konkret yang mengenai instansi yang berwenang menyidik dan menuntut bukanlah persoalan yang dapat dimohon pengujuan konsitusionalnya ke mahkamah,” ujar hakim.

Majelis juga mementahkan gugatan Akil yang meminta guna  menyidik kasus TPPU maka harus terbukti dahulu tindak pidana. Karenanya menurut majelis hal itu tidak diperlukan.

"Meskipun tidak sama persis dengan TPPU tetapi dalam KUHAP telah dikenal tindak pidana penadahan yang dalam praktiknya sejak dahulu tindak pidana asalnya tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu. Berdasarkan pertimbangan di atas menurut majelis pemohon tidak beralasan menurut hukum," tegasnya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan