MK Harus Tolak 'Judicial Review' UU soal KPK
Judicial review atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memenuhi asas hukum. Karena itu Mahkamah Konstitusi (MK) harus menolak permohonan judicial review tersebut.
Pandangan itu mengemuka dalam diskusi publik bertema Siapa yang berhak mengadili Abdullah Puteh yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (FH Unkris) di Jakarta, kemarin. Hadir sebagai pembicara Dekan FH Unkris Lodewijk Gultom, dosen FH Universitas Muhammadiyah Chairul Huda, Direktur PBHI Jhonson Panjaitan, dan Indirajanto Seno Adji.
Menurut Gultom, semangat judicial review tersebut ingin mengembalikan problem pemberantasan korupsi ke belakang sehingga berakibat makin sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tuntutan adanya KPK sendiri bukan semata-mata keinginan masyarakat Indonesia. Tapi juga dorongan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melihat banyak pejabat dari negara berkembang jika ke luar negeri menginap bukan di hotel bintang lima, namun di hotel bintang lima berlian.
Padahal negara berkembang tersebut pengutang besar dan pembayar pajak di negara tersebut tidak mendapat haknya dengan layak. Itu yang melatari dibentuknya KPK di Indonesia. Jadi bukan keinginan kita saja, itu keinginan dunia. Karena itu judicial review terhadap KPK lucu, saya yakin MK menolaknya, tegas Gultom.
Hal senada dikatakan Jhonson. Bagi dia, semangat pengacara seharusnya tetap dalam upaya penegakan hukum. Artinya, mereka tidak mengutik-utik aturan hukum yang sudah ada. Atau mengutik-utik aturan hukum yang dinilai sebagai pasal karet (multiinterpretasi). Sehingga mereka justru mengarah ke posisi yang gelap, bukan mengarah ke posisi semakin terang.
Itu yang sekarang dipertontonkan. Akibatnya pemerintah mengeluarkan perpu agar tidak lolos. Padahal UU No 30/2002 tentang KPK sudah jelas, tegas Jhonson.
Judicial review UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK diajukan oleh Direktur Utama PT Putra Pobiagan Mandiri Bram HD Manoppo. Dalam permohonannya, Bram menyatakan bahwa Pasal 68 UU No 30/2002 tentang KPK telah merugikan hak konstitusional pemohon dan melanggar Pasal 28 huruf I Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang mencantumkan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Bram di dalam surat permohonannya menyebutkan fakta-fakta yang dialaminya, yakni bahwa dirinya telah menjalani proses penyelidikan dan penyidikan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi oleh penyidik KPK yang telah dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP). Namun, hingga kini dirinya belum menerima BAP sebagaimana keharusan yang ditetapkan melalui Pasal 72 KUHAP.
Perbuatan yang disangkakan telah dilakukan pemohon adalah sangkaan melakukan tindak pidana korupsi berupa pengadaan helikopter M1-2 merek PLC Rostov Rusia milik Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) pada sekitar 2001 dan 2002 sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Tempus delicti perbuatan yang disangkakan antara 2001 dan Juli 2002 itu dengan locus delicti di Provinsi Aceh.
Kasus pengadaan helikopter ini melibatkan Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang oleh KPK juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Masih dalam surat permohonannya, pemohon merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 68 UU No 30/ 2002 tentang KPK yang memberikan persepsi keliru suatu landasan kewenangan KPK melakukan pemeriksaan berdasarkan asas berlaku surut atas asas retroaktif.
Menurut pemohon, hak untuk tidak dilakukan penyidikan dan penuntutan dengan menggunakan asas berlaku surut adalah hak asasi manusia yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, di mana ketentuan ini secara jelas dan tegas diatur dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28 huruf I Ayat 1. Dan karena itu, hak itu tak dituntut dengan menggunakan asas berlaku surut merupakan hak konstitusional yang dimiliki setiap orang di negara RI, termasuk pemohon. Lalu bagaimana jika permohonan Bram dikabulkan MK, apakah kasus Puteh menjadi mentah kembali. (Faw/P-5)
Sumber: media Indonesia, 6 Januari 2005