Miskinkan Koruptor Lewat Aturan "Illicit Enrichment"

Kita perlu mengejar aset koruptor. Koruptor lebih takut miskin dan hilang harta ketimbang kurungan badan di penjara,” jelas Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein dalam konferensi pers Pengaturan Illicit Enrichment (kekayaan yang asal-usulnya tidak jelas) di kantor ICW, Jakarta, Jumat pekan lalu (1/11).

“Secara sederhana, illicit enrichment dapat dimaknai sebagai penambahan kekayaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang signifikan dan tidak dapat dijelaskan, yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu,” terang peneliti ICW Donal Fariz.

“Kita butuh aturan khusus yang bisa merampas kekayaan pejabat negara yang meningkat signifikan tapi asal-usul keabsahannya tidak bisa dijelaskan (illicit enrichment). Hukum Indonesia belum memiliki pengaturan ini. Padahal, dengan mengatur illicit enrichment, pemberantasan korupsi di Indonesia dapat diperkuat,” ujar Donal.

Dokumen United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi mencatat pengaturan tentang illicit enrichment pada bab 3 pasal 20. Tapi, meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui UU No. 7 tahun 2006, pasal ini belum dapat diterapkan secara langsung karena belum diatur dalam peraturan pidana Indonesia.

Setidaknya ada lima keunggulan pengaturan illicit enrichment.

Pertama, memiskinkan koruptor dengan menerapkan pembalikan beban pembuktian (pembuktian terbalik), di mana terdakwa harus bisa membuktikan asal-usul kekayaannya, dapat diterapkan secara maksimal.

Kedua, menguatkan fungsi pelaporan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) sehingga tidak cenderung bersifat formalitas dan tanpa sanksi pada pejabat yang bohong tentang kekayaannya.

Ketiga, memudahkan pembuktian jika dibandingkan dengan UU Pencucian Uang, pasal gratifikasi, dan bahkan pembuktian terbalik di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Keempat, menyerang langsung pada motivasi melakukan korupsi (pengumpulan kekayaan).

Kelima, mendistribusikan kekayaan yang dirampas untuk negara bagi keadilan yang lebih luas, seperti untuk sektor pendidikan, kesehatan atau pelayanan dasar lainnya.

Mengatur illicit enrichment, memperkuat pemberantasan korupsi

Mengatur illicit enrichment dapat memperkuat UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebab, UU Tipikor dan UU TPPU punya keterbatasan untuk mengejar aset-aset yang diduga berasal dari hasil korupsi. “Kalau berdasarkan hanya yang dinikmati, hanya fokus kepada penyelenggara negara,” ujar Donal.

Berikut tabel keterbatasan UU No. 31 tahun 1999 j.o. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kelemahan

Penjelasan

Perampasan kekayaan koruptor hanya dapat dilakukan terhadap barang yang digunakan, atau diperoleh dari korupsi atau barang yang menggantikannya.

Diatur Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Korupsi.

Perampasan kekayaan lain di luar kasus yang diproses tidak dimungkinkan. Padahal, bukan tidak mungkin terpidana memiliki kekayaan tidak wajar dibandingkan dengan penghasilan sah. Misal: pejabat tertentu memiliki mobil dan rumah mewah serta rekening gendut.

Penggantian kerugian negara tidak maksimal.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Korupsi jumlah maksimum pembayaran uang pengganti adalah sebanyak yang dinikmati dari sebuah kasus korupsi.

Pada sejumlah kasus seringkali asset recovery (penggantian kerugian negara) tidak maksimal.

Sebab, kerugian akibat  perbuatan terpidana tidak bisa dikembalikan karena hukuman tambahan (berupa penggantian kerugian), besarnya maksimal hanya sejumlah yang dinikmati oleh si terpidana korupsi.

Ada celah hukum untuk tidak membayar uang pengganti.

Jika kekayaan terpidana tidak ditemukan (bisa karena disembunyikan atau memang tidak ada lagi), maka kewajiban membayar uang pengganti bisa diganti dengan pidana kurungan.

Ini seringkali jadi kelemahan pemberantasan korupsi, jika sejak proses penyelidikan dan penyidikan penegak hukum tidak menelusuri dan menyita aset.

Jika menunggu vonis, terbuka kemungkinan besar bagi terpidana untuk mengalihkan, menyembunyikan, atau menjual aset.

Pembuktian yang sulit.

Perampasan aset atau pembayaran uang pengganti dari aset si terpidana korupsi hanya bisa dilakukan setelah korupsi dinyatakan terbukti di pengadilan.

Ini sangat menghambat upaya pemberantasan korupsi, terutama jika penegak hukum menemukan aset lain si koruptor yang asal-usulnya tidak jelas dan kekayaan itu tidak sebanding dnegan penghasilan sahnya.

Seringkali kasus-kasus suap atau korupsi sebelumnya tidak terungkap karena berbagai penyebab.

Tabel 1. Keterbatasan UU Tipikor dan UU TPPU dalam memiskinkan koruptor

Namun bagaimanapun, upaya penegak hukum menggabungkan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dalam dakwaan kumulatif cukup membantu menjawab keresahan tentang rendahnya efek jera. “Strategi pemiskinan koruptor dengan konsep pemidanaan digabungkan dengan upaya perampasan aset koruptor,” ujar Donal.

“Beberapa nama yang telah dijerat dakwaan kumulatif ini adalah Bahasyim Assifie, Dhana Widyatmika, Gayus H. Tambunan, Wa Ode Nurhayati, Irjen. Pol. Djoko Susilo, dan Ahmad Fathanah. Sementara yang masih proses sidang adalah Luthfi Hasan Ishaq dan Akil Mochtar,” sebut Donal. “UU Tipikor memang cenderung mengejar badan, TPPU untuk kejar asetnya,” jelasnya lagi.

Tren vonis rendah

Apalagi, banyak kasus korupsi menunjukkan pemidanaan pelaku tidak seimbang dengan harta yang ia miliki. ICW mencatat dalam kurun tiga tahun (2010 – 2013), dari 756 terdakwa kasus korupsi, hanya 5 kasus yang divonis di atas 10 tahun. Berikut tabel vonis terdakwa kasus korupsi dalam kurun 2010-2013.

Jumlah Terdakwa

Vonis

5

Di atas 10 tahun

35

5-10 tahun

217

2-5 tahun

167

1-2 tahun

185

1 tahun

143

Bebas

4

Vonis percobaan

Tabel 1. Daftar vonis terdakwa korupsi (sumber: antikorupsi.org)

“Vonis ini pun masih sangat mungkin berkurang kalau dapat remisi dan pembebasan bersyarat,” keluh Donal.

Namun, Yunus Husein mengakui pengaturan illicit enrichment tidak bisa “ujug-ujug”. “Kalau mengajukan aturan illicit enrichment sekarang, timing-nya tidak bagus. DPR-nya sudah mau selesai dan tidak terlalu nafsu mengerjakan, apalagi mengenai diri sendiri,” seloroh Yunus.

“Kita harus mengatur illicit enrichment untuk mencegah dan memberantas korupsi, mempercepat pengembalian kerugian negara (asset recovery), dan kerjasama internasional dengan banyak negara yang memiliki ketentuan seperti ini,” tutup Yunus.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan