Miris

Sesuai dengan harapan masyarakat, Presiden telah merespons kegelisahan dan keprihatinan masyarakat terhadap upaya kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi, antara lain dengan meminta masukan beberapa tokoh masyarakat yang peduli dengan pemberantasan korupsi di negara ini.

Tokoh-tokoh tersebut meminta agar Presiden melibatkan unsur-unsur independen yang kredibel guna menjamin transparansi pengusutan kasus Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.

Urgensi untuk merampungkan kasus itu sangat mendesak agar bangsa ini segera menapak agenda yang lebih maju lagi, yaitu melaksanakan pembangunan secara bertahap dan berencana untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Penyelesaian kasus ini juga harus dijadikan momentum untuk melakukan pembangunan institusi politik dan pemerintahan, terutama lembaga penegak hukum agar pemberantasan korupsi lebih efektif.

Selain mengharapkan persoalan ini cepat selesai, publik juga sangat miris (bercampurnya perasaan waswas, cemas, khawatir, takut, dan gelisah) menanti akhir cerita kasus yang melibatkan konflik Polri dan KPK.

Rasa miris muncul andai kata, sekali lagi andai kata, dugaan rekayasa kriminalisasi KPK itu benar. Hal itu membuktikan lembaga-lembaga hukum telah mengalami pembusukan yang sangat parah. Kredibilitas lembaga penegak hukum akan semakin merosot menuju titik nadir karena melakukan perbuatan yang sangat tercela.

Lembaga penegak hukum pasti akan menuai banyak kecaman masyarakat karena telah melakukan konspirasi yang sangat melukai nurani publik. Dengan sadar dan sengaja, mereka merekayasa menghancurkan lembaga yang sudah berhasil membuat para koruptor dan calon koruptor gentar.

Namun, masyarakat juga tidak kalah mirisnya andai kata, sekali lagi andai kata, yang terjadi adalah sebaliknya. Kasus yang disebut kriminalisasi KPK bukan rekayasa; artinya pimpinan KPK menerima suap.

Masyarakat tentu akan sangat terluka batinnya karena lembaga yang telah berhasil menumbuhkan ekspektasi dan kekuatan masyarakat melawan korupsi telah mengkhianati masyarakat pendukungnya. Namun, yang lebih membuat masyarakat semakin miris, karena institusi yang bersih dan mempunyai kemampuan melakukan terapi kejut terhadap upaya pemberantasan korupsi ternyata melakukan perbuatan yang sama hinanya dengan para koruptor.

Kalau hal itu terjadi, dikhawatirkan akan muncul gelombang pesimisme masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi. Ini juga dapat berarti kiamat bagi perlawanan terhadap korupsi. Pupus harapan masyarakat untuk dapat menikmati hidup yang bebas beban yang disebabkan oleh semakin merajalelanya korupsi.

Akibat yang tidak kalah serius adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap tatanan kehidupan demokratis.

Tipis kemungkinan
Namun, tampaknya sangat tipis kemungkinan kedua karena beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, penahanan Bibit dan Chandra oleh banyak kalangan dianggap terlalu dipaksakan, terlebih karena alasan yang dikemukakan oleh pihak kepolisian adalah mereka dianggap telah menggiring opini publik yang dapat memengaruhi jaksa dan hakim. Alasan yang jauh dari konsiderasi hukum.

Kedua, perkembangan sampai saat ini, Ary Muladi yang semula mengaku memberikan sejumlah uang kepada pimpinan KPK telah mencabut pengakuannya.

Ketiga, pengungkapan oleh berbagai media sebagian transkripsi dari rekaman yang melibatkan elemen-elemen penegak hukum untuk menjerat Bibit dan Chandra semakin memperkuat persepsi publik bahwa kasus tersebut beraroma rekayasa, meskipun masih perlu dilakukan penyelidikan yang lebih mendalam, intensif, dan profesional sehingga dapat diungkapkan kebenaran materi dari rekaman tersebut.

Pelajaran yang dapat dipetik dalam kasus di atas adalah memberantas korupsi memerlukan komitmen semua elemen bangsa dan negara. Bahkan, Indonesia dewasa ini menunjukkan suatu paradoks yang harus dicari terapinya: tingkat progresif dan kemajuan demokrasi tidak disertai dengan berkurangnya penyakit korupsi.

Bahkan, korupsi semakin sistemik di semua lapisan kehidupan masyarakat. Demokrasi seakan-akan tidak mempan menghadapi dahsyatnya daya rusak korupsi.

Perbuatan korup bukan hanya pencurian terhadap kekayaan negara, tetapi juga merusak masa depan bangsa, misalnya dengan menghilangkan ayat mengontrol peredaran tembakau sebagai zat adiktif dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan beberapa bulan lalu.

Artinya, seolah-olah demokrasi tidak mempunyai kemampuan melawan korupsi. Demokrasi memang bukan obat korupsi, tetapi demokrasi menyediakan atmosfer keterbukaan warga masyarakat menghimpun kekuatan untuk melawan korupsi.

Hal itu berbeda di negara otoriter, di mana tidak ada kebebasan dan keterbukaan melawan rezim yang korup. Oleh sebab itu, bukan berarti korupsi tidak dapat diberantas di Indonesia yang sedang pada taraf awal konsolidasi demokrasi.

Oleh sebab itu, selain memperkuat KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, perlawanan korupsi di Indonesia harus disertai pula dengan meneguhkan niat politik memberantas korupsi serta memperkuat lembaga-lembaga lembaga-lembaga demokrasi dan pemerintahan.

Untuk jangka panjang, sangat mendesak dilakukan pendidikan antikorupsi mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dengan demikian, perlawanan terhadap korupsi tidak hanya pada tataran kelembagaan, tetapi juga pada wilayah penanaman nilai dan moral kepada generasi muda. Tumbuhnya nilai-nilai antikorupsi akan membuat pemberantasan korupsi menjadi gerakan rakyat yang dahsyat.[Oleh J KRISTIADI]

Tulisan ini disalin dari Kompas,3 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan