Minyak mengalir korupsi Mengintip [01/06/04]
Provinsi penghasil minyak mendapat rezeki nomplok berkat kenaikan harga minyak. Peluang korupsi juga meningkat.
Rusli Zainal sedang diliputi kegembiraan yang luar biasa. Naiknya harga minyak mentah di pasar internasional sungguh membuat hati Gubernur Riau ini berbunga-bunga. Berkat kenaikan harga minyak, ada harapan daerahnya bakal mendapat tambahan dana bagi hasil dari pemerintah pusat.
Pembagian dana itu sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Jumlahnya? Sabar, belum selesai dihitung. Namun, dengan naiknya harga minyak mentah Indonesia hingga kisaran US$ 37-US$ 38 per barel, sementara ini diperkirakan ada Rp 5 triliun-Rp 6 triliun duit yang bakal dikucurkan pemerintah pusat ke beberapa provinsi penghasil minyak, seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Gubernur Rusli memang belum menghitung berapa tambahan yang bakal diperoleh provinsinya, tapi jumlahnya pasti lumayan besar karena Riau adalah penghasil minyak terbesar di Indonesia. Kita tunggu hitungan pemerintah dan Pertamina, kata Rusli. Dari dana anggaran tahun 2004, Riau menerima dana bagi hasil Rp 1,5 triliun—tiga perempat anggaran Provinsi Riau.
Berbeda dengan Rusli, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh dan tim ekonominya sudah menghitung isi kantongnya. Salah satu anggota tim penghitung dana bagi hasil minyak dan gas Aceh, Islahudin, mengungkapkan bahwa dalam anggaran daerah Aceh tahun 2004 dana bagi hasil minyak dan gas yang diterima mencapai Rp 1,7 triliun. Angka tersebut didasari asumsi harga minyak US$ 22 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS Rp 8.600.
Namun, melihat harga minyak mentah yang melesat hingga US$ 40 per barel dan nilai tukar rupiah yang amblas sampai Rp 9.200 per dolar AS, Islahudin menaksir Aceh akan mendapatkan tambahan Rp 1,3 triliun, sehingga total jenderal provinsi ini akan mendapatkan dana bagi hasil Rp 3 triliun. Ini tak berbeda jauh dengan penerimaan tahun lalu, ujar Direktur Pascasarjana Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala ini.
Rezeki nomplok ini memang sangat dinanti-nanti provinsi kaya minyak tapi miskin itu. Lihat saja data statistik berikut ini. Hampir separuh penduduk Riau, yang berjumlah 5,4 juta, masih berkubang dalam kemiskinan. Sebagian besar, 64,3 persen, cuma jebolan sekolah dasar. Rakyat yang pernah mengecap bangku sekolah menengah atas hanya 12,5 persen. Aceh dan Kalimantan Timur sama saja. Separuh dari 4,2 juta penduduk Aceh hidup dalam kemiskinan. Setengah juta jiwa dari mereka bahkan tak memiliki pekerjaan sama sekali. Sementara itu, 40 persen dari 2,7 juta rakyat Kalimantan Timur cuma menikmati pendidikan sampai tingkat sekolah dasar.
Karena itu, tambahan rezeki minyak ini bak oasis di tengah padang pasir. Rusli mengaku akan menggunakan dana tambahan hasil kenaikan harga minyak untuk meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan rakyatnya. Pendidikan menjadi prioritas. Baru menyusul kesehatan masyarakat dan perekonomiannya, katanya ketika ditemui setelah mengikuti acara senam kesegaran jasmani Sabtu pekan lalu.
Rusli mengeluhkan anggaran lama, yang cuma Rp 2,06 triliun, belum cukup untuk menunjang pembangunan di daerahnya. Dia menaksir uang sebanyak itu baru memenuhi 36 persen kebutuhan pembangunan. Di luar soal pendidikan dan kesehatan, ia pernah mengaku ingin membangun sejumlah prasarana untuk menunjang kegiatan ekonomi seperti jalan. Saat ini baru jalan-jalan utama di Riau yang sudah tersentuh aspal, sementara yang lainnya masih berupa jalan tanah.
Pemerintah Provinsi Riau juga berencana membangun jalan tol lintas Dumai-Pekanbaru, yang akan dilakukan bekerja sama dengan Pemerintah Negara Bagian Selangor, Malaysia. Pembangunan jalan itu sulit dilakukan bila hanya mengandalkan pendapatan asli daerah yang cuma Rp 550 miliar per tahun, ujarnya.
Seirama dengan Rusli, Gubernur Puteh di Aceh mengaku akan menggunakan rezeki nomplok dari minyak untuk membangun perekonomian rakyat. Di Negeri Serambi Mekah itu, ia sudah menyiapkan Rp 700 miliar dari anggaran daerah senilai Rp 6,7 triliun untuk dana pendidikan. Sebab, ia akan lebih memperhatikan penduduk miskin dan penganggur. Mereka inilah yang nantinya akan kita berdayakan, ujarnya.
Ada usul menarik dari Islahudin. Dia mengatakan, berbekal rezeki nomplok itu, pemerintah daerah mesti memprioritaskan pembangunan ekonomi kerakyatan melalui usaha kecil dan menengah sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Pemerintah juga jangan terlalu boros. Seharusnya sebagian dana digunakan untuk tabungan dan investasi lainnya, ujar Islahudin. Alasannya, beberapa tahun ke depan, hasil perut bumi Aceh akan habis. Pada saat itu Aceh tentu harus mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Kendati sejumlah gubernur bersemangat akan menyejahterakan rakyatnya, tetap saja banyak yang khawatir peningkatan pendapatan ini juga akan menaikkan peluang korupsi. Kepercayaan kepada kemampuan pemerintah provinsi dalam mengelola dana bagi hasil memang begitu tipis. Jangan-jangan cuma digunakan untuk membeli mobil mewah gubernur atau pesangon anggota dewan, ujar ekonom Raden Pardede.
Hari-hari ini, kekhawatiran itu sepertinya memiliki dasar yang kuat. Puteh diketahui sedang terbelit tuduhan korupsi dalam kasus pengadaan pembangkit listrik senilai Rp 30 miliar. Belum lagi kasus korupsi lain yang melibatkan sejumlah pejabat setingkat wali kota dan anggota dewan dalam program pemberdayaan ekonomi rakyat. Pembangunan jalan Ladia Galaska yang menelan biaya Rp 1,2 triliun juga dianggap simbol ketidakmampuan pemerintah daerah menentukan prioritas pembangunan.
Masalah hampir serupa terjadi di Riau. Dengan anggaran Rp 2,06 triliun, pemerintah provinsi mematok anggaran rutin Rp 560 miliar dan anggaran pembangunan Rp 1,5 triliun—jumlah yang besar sebetulnya. Cukup signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat, ujar Viator Butar-butar, Direktur Kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau.
Sayangnya, dalam evaluasi terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Riau 2003, dari anggaran sebesar Rp 1,56 triliun, 30 persennya diperkirakan bocor. Belum lagi beberapa alokasi anggaran dinilai kurang proporsional. Ketua Riau Corruption Watch (RCW) Firdaus Basir menyebut sejumlah proyek mercusuar yang tak menyentuh hajat hidup orang banyak, seperti pembangunan Gedung DPRD Riau yang menghabiskan Rp 60 miliar. Tak aneh, anggaran yang besar itu belum mampu mendongkrak taraf hidup masyarakat.
Firdaus tegas menuding tingginya tingkat korupsi sebagai penyebab terjadinya kebocoran anggaran. Korupsi yang merajalela dan penanganan hukum yang lemah membuat belanja sebesar itu hilang entah ke mana. Rakyat tetap tak memperoleh apa-apa, ujar Firdaus. Lembaga ini menemukan sepanjang tahun anggaran lalu di Riau ada indikasi terjadinya 300 lebih kasus korupsi. Tapi, dari kasus sebanyak itu, hanya sekitar dua persen yang dituntaskan hingga ke peradilan.
Dengan kondisi seperti itu, kata Firdaus, wajar jika hampir separuh rakyat Riau tetap saja miskin. Belum lagi kegiatan ekonomi besar seperti perkebunan sawit, pengelolaan hutan, dan penambangan pasir laut hanya dikelola oleh sekelompok kecil orang, malah sebagian oleh orang di luar Riau. Itu membuat ekonomi Riau rentan dan mudah ambruk, ujar Viator.
Toh, semua kritik itu tak menciutkan semangat para penguasa daerah. Rusli Zainal di Riau yakin korupsi dapat diatasi. Dengan sejumlah mekanisme pengawasan, dia percaya dapat menekan kebocoran dana pembangunan. Mari kita berpikir positif saja dulu, sambil mencari langkah menekan kebocoran itu, katanya. Lebih penting lagi, Gubernur Rusli harus menularkan kebahagiaan itu ke seluruh rakyatnya.
Nugroho Dewanto, Yuswardi Ali Suud (Aceh), Jupernalis Samosir (Riau)
Sumber: Rubrik Ekonomi Bisnis Majalah Tempo, No. 14/XXXIII/31 Mei - 06 Juni 2004