Minyak Disubsidi, Minyak Dikorupsi

Krisis minyak dan gas bumi (migas) tak henti-hentinya menjadi berita di media massa Indonesia. Bahkan krisis itu bergulir bak bola salju menggulung banyak sektor lain.

 

Terakhir listrik ikut terkena imbasnya.Bahkan beberapa pihak mulai meneriakkan kekhawatirannya terhadap kondisi migas Indonesia. Tidak transparan dan akuntabelnya usaha eksplorasi dan eksploitasi migas berdampak pada tidak optimalnya penerimaan negara dari sektor ini.

Di sisi lain makin tingginya harga minyak mentah dunia dijadikan alasan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Maraknya demonstrasi dan aksi seolah tak berarti.DPR pun terpaksa ujuk gigi di tengah kondisi Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 yang kian dekat.

Usaha Hulu Migas

Produksi minyak dan gas bumi di Indonesia dilakukan oleh para kontraktor yang melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi berdasarkan suatu kontrak bagi hasil yang disebut production sharing contract (PSC). Setelah disahkannya Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Istilah kontrak bagi hasil (KBH) diubah menjadi kontrak kerja sama (KKS). Namun substansi dari KKS tersebut tidak berbeda dengan KBH.Berdasarkan Pasal 1 UU No.22/2001,KKS dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi haruslah yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesarbesar untuk kemakmuran rakyat.

Namun pada kenyataannya,KKS migas cenderung merugikan Indonesia. Ini tecermin dari tidak efisiennya dan makin tingginya biaya cost recovery minyak yang harus dibayarkan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri mencatat, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 13 kontraktor minyak, ditemukan senilai Rp39,9 triliun yang seharusnya tidak dibayarkan sebagai cost recovery untuk produksi minyak.

Begitu juga dalam penerapan pola ”bagi hasil” yang ternyata tidak sesuai dengan yang seharusnya. Dampaknya realisasi penerimaan negara mengalami defisit dan tidak sesuai harapan. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan manajemen kegiatan hulu migas Indonesia.

BP Migas yang ditunjuk sebagai badan pelaksana kegiatan hulu belum menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan optimal. Penyajian laporan keuangannya tidak sesuai standar dan kaidah keuangan negara. Ditambah hasil temuan BPK terhadap penerimaan migas tahun 2005–2007 yang tidak dicatat dan dibelanjakan tanpa atau di luar mekanisme APBN senilai Rp120,329 triliun.

Penerimaan Minyak Indonesia

Dari laporan realisasi penerimaan negara dari sektor migas selama 2000–2007 tercatat penerimaan dari migas senilai Rp977,199 triliun dan Rp642,825 triliun (65,7%) di antaranya berasal dari minyak. Berdasarkan hasil penelitian dan perhitungan Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan menggunakan metode perhitungan dan data resmi pemerintah, selama 2000–2007 ditemukan selisih kurang penerimaan dari minyak sebesar Rp194 triliun lebih.Hal ini terjadi karena beberapa hal.

Di antaranya,pertama,angka produksi minyak Indonesia yang dicatat dalam realisasi penerimaan negara jauh lebih rendah dari realisasi sebenarnya. Rata-rata tiap tahun dicatat lebih rendah 16,102 juta barel (total 128,820 juta barel). Jumlah ini setara dengan Rp42,098 triliun. Kedua,pola bagi hasil akhir minyak yang seharusnya diterima Indonesia adalah 85% dan untuk kontraktor 15%.

Namun pada praktiknya hasil akhir yang diterima Indonesia jauh lebih kecil dari seharusnya. Ketiga, adanya indikasi praktik tidak jujur dalam pengelolaan pajak penerimaan minyak dan gas. Seperti yang diungkapkan dalam hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat,”Pencatatan Penerimaan PPh Migas dan PBB Migas tidak terintegrasi dalam aplikasi Modul Penerimaan Negara dan tidak dapat diyakini kewajarannya.”

Menjawab Sanggahan BP Migas

BP Migas dalam pernyataan resminya di situs www.bpmigas.com menyatakan, ”Tuduhan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa telah terjadi korupsi pada penerimaan minyak pada tahun 2000–2008 sebesar Rp194 triliun, ternyata tidak berdasar”. Lebih lanjut dikatakan, angka tersebut muncul antara lain karena ICW hanya melakukan penghitungan dan salah memilih data yang digunakan.

Mereka mengatakan sedikitnya ada tiga hal yang menyebabkan perhitungan ICW tidak tepat,bahkan terkesan menyesatkan.Faktor-faktor tersebut adalah pertama, adanya perbedaan metode penghitungan besaran realisasi penerimaan negara. Kedua,data produksi diperhitungkan sebagai angka realisasi lifting.

Ketiga, ICW tidak memasukkan faktor pengurang pendapatan Negara pada sektor migas. Sejak pertama kali ICW menyampaikan hasil temuannya,baik kepada publik maupun melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal indikasi penyimpangan berupa kekurangan penerimaan negara dari minyak sebesar Rp194 triliun, kami berharap adanya klarifikasi dan penjelasan yang jujur dari badan yang berwenang.

Baik itu yang berada dibawah kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun lembaga lainnya.Sayangnya hingga saat ini tidak ada penjelasan yang rinci dan faktual mengenai halhal yang terkait indikasi penyimpangan pengelolaan minyak. ICW dalam melakukan perhitungan penerimaan negara dari minyak menggunakan dasar metode dan data yang resmi, baik yang ada di lingkungan kementerian ESDM, Depkeu maupun dari hasil laporan pemeriksaan BPK.

Kami rasa sanggahan BP Migas pun dapat kami jawab. Pertama, metode pendekatan acrual basis ataupun pendekatan cash basistidak akan memberikan perbedaan yang signifikan karena kami melakukan perhitungan penerimaan minyak dari tahun 2000 hingga 2007 (kecuali kami hanya menghitung penerimaan untuk satu tahun saja). Kedua, data produksi yang kami gunakan sebagai dasar perhitungan sudah dikurangi own use.

Lalu, karena kami menghitunguntukperiodeyanglama(8 tahun) maka seharusnya tidak ada perbedaan antara produksi dan lifting/ minyak terjual. Malah penerimaan minyak akan lebih besar lagi karena minyak (yang tersimpan di kilang) dijual pada saat harga makin naik.Ketiga, kami sudah memperhitungkan faktor pengurang dalam perhitungan penerimaan minyak Indonesia.

Jangan lupa juga bahwa selain unsur pengurang, Indonesia mendapat tambahan penerimaan minyak dari selisih domestic market obligation(DMO). Kami rasa itu sudah cukup menjelaskan keidaksepakatan mengenai hasil temuan. Kalaupun ada ketidakcocokan, mari kita hitung ulang sesuai metode yang ada.

Perlu kita ingat bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia, baik migas maupun hasil tambang lainnya adalah hak dan milik bangsa indonesia. Sudah seharusnya potensi itu dikelola dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Akhirnya, sebelum kita membahassharing the paindengan kontraktor migas, lebih baik pemerintah sharing the truthkepada rakyatnya.(*)

Firdaus Ilyas
Koordinator Pusat Data dan Analisis Indonesian Corruption Watch (ICW) 

 

Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 21 Juli 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan