Minta Maaflah pada Pak Harto

Para petinggi partai harus segera meminta maaf pada Pak Harto. Wabil khusus, pentolan partai (PAN, PDIP, dan Golkar) yang pada pemilu lalu memperoleh hasil di atas garis aman electoral threshold yang 3 persen itu. Sebab, mereka terus menyanyikan lagu penyederhanaan parpol. Sebenarnya tak cukup hanya minta maaf, mereka juga harus membayar royalti karena lagu itu ciptaan Pak Harto pada pertengahan 70-an.

Pentingnya minta maaf bukan saja karena menjajakan lagu lama tanpa izin penciptanya yang masih segar bugar, kecuali di mata Pak Jaksa Agung. Utamanya, selama ini mereka tak henti-henti menghujat karya-karya almukarom Bapak Soeharto.

Bahkan belum lama ini, M. Jusuf Kalla mengklaim jatuhnya partai yang berkuasa penuh atas negeri ini sepanjang 32 tahun itu karena Pak Harto. Padahal, Golkar yang kini dipimpinnya tersebut ada karena Pak Harto ada!

Rupanya, kini mereka sudah mulai paham kebenaran Pak Harto. Sekarang mereka sedang membajak karya komponis besar Orba itu untuk dipopulerkan kembali demi melestarikan lagu lama (kekuasaan).

Dalam konteks penyederhanaan partai, Soetrisno Bachir cs tampaknya ingin menobatkan Pak Harto sebagai negarawan besar. Itu juga betul. Bukankah ciri negarawan besar terletak pada pikirannya yang jauh ke depan, yang baru bisa dipahami Mas SB cs puluhan tahun kemudian?

Cuma pada 1976 itu, Pak Harto tidak berkomplot dengan partai lain untuk menghabisi partai-partai kecil. Beliau seorang diri dan sambil tersenyum pula waktu membonsai parpol menjadi hanya PPP dan PDI. Golkar bukan parpol, tapi hebatnya bisa ikut pemilu. Mudah-mudahan itu tidak mengilhami Pak Hasyim dan Mas Din untuk mengusulkan NU dan Muhammadiyah bisa ikut pemilu mendatang hanya karena tidak puas kepada parpol yang ada.

Memang, pikiran Pak Harto soal penyederhanaan partai itu betul. Betul tapi tidak benar, kata kiai NU.

Ini gaya orang NU kalau mau menyalahkan penguasa yang selalu merasa betul. Jadi, betul belum tentu benar dan benar belum tentu pas. Betul pakai sarung. Benar dipasangkan dengan baju koko. Tapi, tidak pas kalau dengan kostum itu pergi ke diskotek!

Maksudnya begini. Betul: untuk menyederhanakan proses politik, jumlah partai memang harus disederhanakan. Apalagi, mayoritas rakyat kita lemah dalam banyak hal. Sudah lemah daya beli, lemah juga daya ingatnya.

Betul tapi tidak benar. Sebab, meski masyarakat kita multikultur, tidak tersedia tempat bagi perbedaan. Maka, oposisi dianggap saru, haram. Padahal, sesungguhnya partai itu tempat berkumpulnya sejumlah perbedaan untuk digodok dalam satu kuali. Isitilah populernya: dibhinekatunggalikakan!

Tapi, apa yang terjadi kemudian dalam tubuh parpol kita? Golkar, PDI, dan PPP hanya kompak waktu diawasi Pak Harto. Setelah era pengawasan tunggal usai, partai pun berantakan. Peserta Pemilu 2004 yang 24 tersebut, kalau mau iseng dirujuk, asalnya ya dari yang tiga itu.

Sebut saja, asal-usul PKB dan PBB dari PPP. Lalu, PDIP, PNBK, dan Pelopor dari PDI. Partai PPD, PKPI, dan PPDK bersumber dari Golkar.

Jadi, sepanjang kultur kita masih mengharamkan perbedaan, masih membudayakan penyingkiran bagi yang bukan orang kita (deakbarisasi di Golkar, dejokoediisasi di PAN, deroyjanisisasi di PDIP, dan desaifulisasi di PKB), jangan berpikir soal penyederhanaan parpol. Reformasi yang kita gelar dulu itu, antara lain, bermaksud untuk mengoreksi peta perpolitikan kita agar disesuaikan dengan kultur kita, dinaturalisasikan.

Karena itu, penyederhanaan partai dengan kekuatan kekuasaan seperti dilakukan Pak Harto dan sekarang sedang ditiru partai-partai berkekuatan besar di parlemen lewat proses yang seolah-oleh demokratis dan demi kepentingan bangsa hanya akan melahirkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan konstitusi. Perubahan paket UU Politik yang sedang berjalan sekarang di parlemen harus mendorong agar parpol-parpol kita profesional. Kalau sudah profesional, mereka pasti jujur dan bertanggung jawab kepada yang bayar. Yang bayar itu kan rakyat!

Jadi, buanglah pasal-pasal yang memaksa parpol melakukan kebohongan publik dan berkomplot dengan koruptor. Menurut aturan, yang tidak lolos electoral threshold tidak boleh ikut pemilu lagi, tapi bisa ganti nama dan ikut pemilu lagi. Itu pasal yang memaksa lahirnya parpol akal-akalan. Pasal inilah yang melahirkan gagasan lucu teman saya di Partai Bulan Bintang. Agar bisa ikut pemilu lagi, dia mau mengubah menjadi Partai Bintang Bulan. Lain kali jadi Partai Datang Bulan!

Ada juga rencana memasang pasal yang mengharuskan parpol punya jaminan deposito sekian puluh miliar. Kalau pasal tersebut jadi dipasang, hal itu pasti akan mendorong elite parpol berkomplot dengan para koruptor. Sebab, hanya uang hasil korupsi yang bisa ditaruh begitu saja tanpa bunga, tanpa jaminan keamanan bisa kembali, kecuali dapat konsesi politik.

Percayalah, pada saatnya nanti, bila kita sudah dewasa dalam berpolitik, tidak gampang memecat atau menyingkirkan orang yang berbeda pandangan. Partai-partai akan menyederhanakan dirinya. Sekarang masih zaman serbamulti. Itu pun ternyata masih belum mampu menampung aspirasi. Buktinya, ketika buruh punya masalah, guru punya persoalan, para kepala desa risau akan nasib politiknya, dan petani gelagapan diguyur beras impor, mereka harus turun ke jalan sendiri. Frustrasi sendiri. Teriak-teriak sendiri.

Di mana wakil rakyat dari PAN, PDIP, Golkar dan partai-partai yang mengaku mendapatkan legitimasi rakyat hanya karena lolos electoral threshold itu?

Adhie M. Massardi, mantan juru bicara presiden di era Presiden Abdurrahman Wahid, sekarang sekretaris jenderal Partai PPD

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 20 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan