Minta Dana Aspirasi Rp 20 Miliar, DPR Langgar Fungsinya

Koalisi Kawal Anggaran menolak dengan tegas dana aspirasi yang diminta anggota parlemen sebesar Rp 20 miliar per orang. Hal ini dinilai melanggar kewajiban DPR yang bertugas sebagai pembuat undang-undang, pembahas dan pengawas anggaran, bukan pengeksekusi anggaran. Koalisi yang terdiri dari gabungan lembaga Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Indonesia Parliamentarty Center (IPC), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Center (IBC), Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat (YAPPIKA), Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyampaikan penolakan tersebut di dalam konferensi pers di Kantor ICW, Senin (15/6/2015).

Peneliti Indonesia Parlementary Center (IPC) Ahmad Hanafi menyatakan sangat tidak tepat alasan DPR meminta dana aspirasi. Meskipun dengan alasan untuk pemerataan pembangunan. Dari data yang dimiliki, fluktuasi anggaran yang diperoleh antara Pulau Jawa dan di luar J awa memiliki perbandingan yang sangat jauh, ditambah lagi dengan luas wilayah yang berbeda. Jika dihitung Pulau Jawa akan memperoleh Rp 6,12 triliun dan di luar Jawa hanya memperoleh Rp 5 triliun.

DPR juga dinilai tidak melaksanakan sistem pengawasan nya di saat reses. Seharusnya, agenda reses dapat digunakan untuk memaksimalkan proses pengawasannya dan perencanaan pembangunan serta penganggaran.

"Saat reses saja mereka tidak pernah terbuka kepada konstituen yang memilihnya, berapa anggaran yang digunakan. Apalagi jika dana aspirasi disahkan, maka akan mengakibatkan potensi korupsi semakin membesar," ujarnya.

Dia juga menegaskan bahwa dana aspirasi akan menjadi alat barter bagi para politisi. Oleh karena itu, membiarkan DPR mendapatkan dana aspirasi sama saja memelihara akar korupsi yang sudah terjadi sebelumnya.

Pendapat sepadan juga disampaikan oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak. Ia mengatakan, selama ini fungsi legislasi DPR tidaklah berjalan maksimal. Jika diperhatikan berapa hutang undang-undang yang seharusnya dapat diselesaikan oleh DPR.

Dia juga menilai, kewajiban reses anggota DPR yang dilaksanakan empat kali dalam setahun dengan anggaran RP 150 juta per reses dinilai tidak transparan dan akuntabel. "Dana reses, yang sudah wajib saja tidak jelas pengunaannya. Apalagi dana aspirasi yang potensi korupsinya luar biasa," ujar Dahnil.

Dia menegaskan, sekalipun DPR tidak memegang langsung dana tersebut dan menyerahkan ke pemerintah daerah (pemda). Namun transaksi dan penyimpangan praktek korupsi tetap lebih mudah terjadi.

"Bicara waktu untuk menampung aspirasi dari konstituennya, sebenarnya dapat dilakukan anggota DPR saat musyawarah perencanaan pembangunan (musrembang). Fenomena ini menandakan anggota DPR nya malas, dan hanya mau kerja di hulu saja," tegasnya.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Donal Fariz menegaskan, munculnya korupsi masif akan terjadi jika dana aspirasi terealisasikan. Refleksi dari kasus Nazaruddin dan Angelina Sondakh di DPR kala itu, korupsi tetap terjadi walaupun anggota DPR tersebut tidak memegang dan tidak bersinggungan langusung dengan anggaran. Namun potensi korupsi dan kickback yang balik ke 'kantong' mereka hasil proyek yang dimainkan tetap sangat besar.

"APBN akan semakin bocor, apalagi dikasih Rp 20 miliar langsung. Potensi anggaran yang dipermainkan akan semakin lebar," kata Donal.

Menurut Donal, birokrat Pemda akan menjadi korban yang langsung terkena imbas akibat terealisasinya dana aspirasi. Sebab, skema pendistribusian dana tersebut ada di DPR, namun posisi mereka hanya sebagai tameng dalam mengeksekusi dana tersebut.

Peneliti Indonesia  Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, kewenangan DPR telah melampaui batas. Dimana peran dan fungsi eksekutif serta di mana legislatif sudah tidak jelas. Dengan meminta dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar DPR telah mencampuri ranah eksekutif dalam mengelola anggaran. "DPR membuat fungsi-fungsi seperti mengawasi kinerja eksekutif, membuat UU, dan membahas anggaran jadi terbengkalai," kata Erwin.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan