Mimpi Buruk Keadilan

Kembali peristiwa hukum mencoreng wajah peradilan kita. KPK beberapa waktu lalu menangkap Harini Wiyoso, mantan hakim tinggi PT Jogjakarta, yang menjadi kuasa hukum Probosutedjo beserta 5 staf Mahkamah Agung. Dalam penangkapan itu, KPK berhasil menyita uang senilai USD 400 ribu (sekitar Rp 4 miliar) dan Rp 800 juta. Menurut pengakuan salah satu tersangka, uang itu akan digunakan untuk menyuap Ketua MA. Penangkapan itu tak berselang lama setelah Popon, kuasa hukum Abdullah Puteh juga dicokok KPK. Kejadian tersebut telah memberikan sinyal kuat kepada kita bahwa mafia peradilan masih bercokol. Hal itu sekaligus menandaskan bahwa reformasi peradilan menjadi kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan.

Hakim dalam sosoknya yang paling ideal adalah pemberi rasa keadilan yang paripurna. Ia bisa menyatakan terdakwa bebas atau dihukum melalui ketukan palunya. Dengan intuisinya sebagai pemberi keadilan, hakim dapat menangkap sinyal-sinyal keadilan yang lemah sekalipun. Tapi melalui kekuasaannya, fakta hukum juga bisa disulap menjadi kekeliruan dan kepalsuan bisa dirubah menjadi kebenaran. Oleh karena itu posisi seorang hakim setiap saat akan selalu berhadapan dengan godaan penyuapan. Hanya itu semua terpulang kepada hakim, mau membuka pintu bagi pembeli keadilan atau menutup serapat-rapatnya demi diri dan keadilan itu sendiri.

Jika hakim telah berani membuka pintu bagi para pembeli keadilan, pada detik itu pula keadilan telah menjadi barang dagangan. Tidak seperti alat putar video, tape recorder, pakaian atau buku di supermal yang telah diberi harga pasti, mendagangkan keadilan selalu dilakukan sembunyi-sembunyi, di pasar gelap dengan mekanisme lelang. Siapa yang berani membayar dengan harga tertinggi, bisa dipastikan dialah pemenangnya. Bagi
orang-orang berkantong cekak, keadilan tidak pernah mungkin bisa diraihnya dan harus selalu bersiap-siap untuk menerima kekalahan.

Dalam pasar gelap keadilan, panitera dan pengacara adalah perantara. Mereka menjadi penghubung antara pembeli keadilan dengan penjualnya. Tertangkapnya salah satu pengacara Abdullah Puteh dan Wakil Ketua Panitera PT DKI Jakarta oleh KPK telah memberikan penegasan bahwa transaksi keadilan bukanlah penampakan atau berada di dunia lain. Tapi ia adalah reality show.

Jaksa dan polisi menjadi pihak lain yang memberikan kemudahan bagi berlangsungnya transaksi itu. Melalui tuntutan yang kabur, bukti-bukti yang sumir dan saksi-saksi yang meringankan, dagelan di pengadilan bisa disetting menjadi lebih sempurna, seolah-olah
benar adanya. Setelah ketukan palu hakim, semua bisa bernapas lega. Pengacara tersenyum, hakim girang karena pundit-pundinya bertambah, sang pembeli keadilan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan