Mewujudkan Reformasi Birokrasi
Pascareformasi di Indonesia tahun 1998, ada satu agenda reformasi yang sampai saat ini belum menjadi sebuah gerakan nasional, yaitu reformasi birokrasi. Padahal, reformasi birokrasi sangat penting artinya karena sebaik apa pun reformasi politik dan hukum, apabila reformasi birokrasi tidak dilakukan, keputusan-keputusan politik dan hukum tidak akan berjalan dengan baik.
Walaupun struktur atasnya terjadi pergantian, kalau mesinnya masih mesin lama, jalannya sebuah negara juga akan sangat lama. Berdasarkan pengalaman di beberapa negara, kemampuan melakukan reformasi birokrasi akan menentukan seberapa cepat pembangunan.
Sebagai pembanding ialah Korea Selatan (Korsel). Indonesia dan Korsel membangun dalam kurun waktu relatif sama, yakni sejak tahun 1960-an. Bedanya, pada era 1980-an Korsel melakukan reformasi birokrasi, sementara Indonesia baru (akan) memulai dengan tetap mengandalkan mesin lawas dengan segala problematikanya.
Birokrasi adalah mesin negara sehingga kalau tidak pernah di-reform akan mengganggu jalannya negara. Keputusan politik dan proses hukum yang baik tidak bisa dijalankan oleh birokrasi yang inkompeten dan moral hazard.
Hal ini semakin sulit karena nyatanya dalam birokrasi telah tercipta polarisasi, bahkan kental dengan nuansa politisasi birokrasi. Di satu pihak menjadi mafhum karena sudah terjadi sejak lama (selama Orde Baru berkuasa) birokrasi dijadikan mesin politik untuk mendukung salah satu partai politik. Kondisi ini masih berlanjut sampai sekarang walaupun tidak secara terang-terangan.
Selayaknya ini menjadi perhatian kita sebagai warga bangsa, khususnya para pemimpin negeri ini, dalam mengembalikan citra birokrasi. Yang penting ialah melacak akar masalah karut-marutnya birokrasi kita, apakah disebabkan oleh perilaku birokratnya atau mungkin karena paradigmanya yang salah. Melacak sejarah
Dalam kesejarahan di Indonesia, falsafah pegawai negeri mengalami evokisi. Pada masa kolonial Belanda hingga awal kemerdekan, pegawai negeri sipil (PNS) disebut pangreh praja, yang dalam arti luas berarti pemerintahan yang berkuasa untuk memerintah. Baru menjelang kemerdekaan, Sultan Hamengku Buwono IX mencetuskan istilah pamong praja. Dalam bahasa Jawa, pamong berarti mengemong atau mengayomi.
Dalam perkembangannya, gagasan mengenai pangreh praja atau pamong praja berubah dengan diperkenalkannya moto PNS sebagai abdi negara. Moto yang merupakan cermin falsafah yang dianut ini justru memperkuat kembali kecenderungan kekuasaan negara, sebagaimana dimaknakan dalam sebutan pangreh praja. Namun, menurut Hegel, birokrasi adalah medium yang dapat dimanfaatkan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan umum. Moto abdi negara lebih menguatkan orientasi ke atas (kepada state/negara) ketimbang ke bawah (kepada society/masyarakat).
Seharusnya dalam konsep birokrasi modern, sebagaimana dirumuskan Max Weber, relasi bersifat fungsional, hierarkis (menuruti garis kewenangan komando), impersonalized (tidak mempribadi), rasional, imparsial (tidak memihak), dan diselenggarakan secara tertulis. Akan tetapi, sepanjang masa Orde Baru, falsafah mengenai abdi negara bagi PNS dijadikan mesin dan alat kekuasaan.
Jadi, reformasi birokrasi harus dilakukan secara fundamental. Reformasi penting pertama adalah perubahan falsafah (moto) PNS sebagai abdi negara menjadi pelayan masyarakat. Perubahan ini harus diikuti dengan program sosialisasi ke seluruh lapisan birokrasi, bahwa untuk masa mendatang mereka adalah public servants (pelayan masyarakat) karena birokrasi pada hakikatnya adalah public service. Belum selesai
Jawa Barat saat ini memiliki banyak masalah, di antaranya reformasi birokrasi yang belum nyata berjalan, kemiskinan, korupsi, dan pengangguran. Berbagai problem itu harus diselesaikan dengan paradigma baru kepemimpinan.
Pergantian kepemimpinan Jawa Barat pascareformasi belum sepenuhnya mampu menghadirkan tata pemerintahan yang baik dan wujud konkret reformasi birokrasi. Meskipun tidak dimungkiri isu itu sempat mencuat ke permukaan, dalam praksisnya hal itu belum mampu menembus gurita birokrasi.
Bahkan, menurut hasil uji lapangan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) terhadap 189 kota/kabupaten, ada 39 pelayanan satu pintu yang sudah baik. Dari jumlah 39 tersebut, tidak satu pun dari Jawa Barat yang masuk kriteria baik dalam penerapan. Hal ini merupakan cerminan bahwa pelaksanaan birokrasi di Jawa Barat masih buruk.
Birokrasi seharusnya mengemban tugas melayani urusan setiap orang, khususnya warga negara yang membutuhkan layanan, seperti administrasi dan perizinan, misalnya IMB, surat dan sertifikat tanah, paspor dan visa, KTP, SIM, dan STNK. Namun, tak jarang pengurusan ini hanya dipermudah melalui praktik penarikan pungutan atau uang pelicin.
Padahal, semakin mampu memberi layanan kepentingan atau urusan umum, semakin bermanfaat pula birokrasi bagi tiap orang. Dari aspek politis, birokrasi seperti ini memperluas demokratisasi, sementara dari aspek hukum berarti mengurangi penyelewengan dan menuju birokrasi yang bersih.
Sebenarnya langkah reformasi birokrasi tidak saja diwujudkan sebagai program penyehatan birokrasi, tetapi juga memperkuat penegakan hukum di dalamnya, baik melalui pemberlakuan Undang-Undang Antikorupsi atau tindak pidana lain seperti pemerasan dan suap. Mereka yang melakukan tindak pidana harus segera diproses sesuai dengan hukum.
Untuk menyediakan peluang partisipasi masyarakat, harus dibuka pengaduan bagi tiap orang yang menyaksikan dan mengalami perlakuan yang tak becus dari aparat birokrasi yang seharusnya melayani sesuai dengan wewenangnya. Tentu saja sarana pengaduan masyarakat harus dikelola secara transparan, termasuk penyelidikan atas aduan itu.
Akhirnya, reformasi birokrasi adalah keniscayaan yang harus dilakukan dengan segera, menyeluruh, dan sistematik. Sebab, reformasi birokrasi merupakan upaya terbentuknya clean and good governance. Akan tetapi, itu semua kembali pada komitmen pemerintah. Wallahualam.
JENAL ABIDIN Peneliti Lingkar Dialog Pemberdayaan Bandung
Tulisan ini disalin dari Kompas, 15 Agustus 2007