Merevitalisasi KPK Suatu Keniscayaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ibarat penunggang macan. Jika turun, bisa saja dicakar si raja hutan. Sebaliknya, bila terus menaikinya, ia mungkin saja tak akan mampu mengendalikan sehingga tersungkur ke jurang yang dalam.
Posisi dilematik macam itu kerap memunculkan kesan KPK ragu-ragu dan tak tegas dalam bekerja (indecive). Lebih-lebih menyangkut penanganan korupsi kakap (big time corruption) seperti kasus BLBI.
Juga, praktik korupsi tak lagi tersentralisasi pada elite-elite kekuasaan, tetapi merata dari level eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Karena itu, tak heran apabila banyak kebijakan antikorupsi dengan ribuan pasal yang telah dirumuskan, tetapi korupsi tetap merajalela, seolah-olah meledek pasal-pasal tersebut.
Akibat lembeknya kinerja aparat penegak hukum, suara-suara sumbang pun bermunculan, mulai yang berwujud ungkapan verbal hingga bernada sinis dan sarkastis.
Adalah ironis, ketika rakyat sekian lama berteriak-teriak mengenai pemberantasan korupsi, aparat masih menggunakan paradigma lama dalam melaksanakan tugas. Dalam beberapa kriteria pemberantasan korupsi saat ini lebih tampak sebagai retorika, seremonial, dan jargon politik semata. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan arus serangan balik para koruptor yang kian hari kian menunjukkan taji.
Namun, lepas dari anggapan miring itu, keberanian pimpinan KPK membuat jera koruptor harus ditingkatkan. Sebab, sistem birokrasi kita sudah sedemikian parah sehingga mampu memaksa orang korupsi.
Beberapa asumsi menunjukkan para pejabat terpaksa korupsi karena lingkungan tidak mengizinkan berperilaku bersih. Nafsu korupsi (corruption desire) sudah kian menggila. Semua dilahap dengan rakus, mulai makan nasi, daging, sayuran, sampai makan jalanan, jembatan, gedung, dana bantuan, bahkan pajak rakyat.
Itulah sebabnya, revitalisasi kinerja KPK adalah suatu keniscayaan. Revitalisasi itu meliputi tiga hal penting. Pertama, korupsi sudah menjadi sistem yang melembaga sehingga diperlukan optimalisasi, persamaan emosi, dan sinergisitas antara KPK, Timtas Tipikor, kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dengan seluruh elemen bangsa. Artinya, korupsi yang masif harus dihadapi secara masif, baik institusi maupun masyarakatnya.
Kedua, strategi-strategi unggul memberantas korupsi harus bersinergi dengan perubahan dan normalisasi kehidupan politik, pembangunan ekonomi, dan reformasi birokratis. Keterlibatan seluruh elemen bangsa yang didukung penuh perbaikan berbagai sektor, merupakan dasar sesungguhnya.
Tanpa langkah kolektif dan strategi holistik-terintegrasi dalam memberantas korupsi, usaha terbebas dari budaya koruptif merupakan ilusi belaka. Mitos memerangi korupsi di negeri para maling seperti Indonesia adalah kemustahilan bakal kian terbukti.
Ketiga, keseriusan KPK dengan ditopang kemampuan multidisipliner, multisektoral, dan multikeberanian merupakan kekuatan paling ampuh guna meringkus epidemi akut ini. Pemberlakuan terapi kejut bagi para pejabat korup, selain merupakan cara efektif menciptakan efek pencegahan, juga merupakan salah satu manifestasi kesadaran bahwa korupsi adalah musuh bangsa.
Singkatnya, jangan sampai para penyeleweng uang rakyat itu tidur dengan nyenyak atas lemahnya upaya pemberantasan korupsi. Yang tak kalah penting, perubahan pola pikir (shifting paradigm) para penegak hukum, khususnya KPK, sebagai salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi. Perubahan yang dimaksud ialah perubahan ke arah pola pikir progresif-reformatif dan mau menanggalkan tradisi lama seperti enggan menyentuh koruptor kakap yang dekat pada kekuasaan. Jangan sampai terjadi penempatan orang yang salah pada jajaran KPK yang kian memperkeruh perilaku penegak hukum itu.
Lembaga-lembaga algojo korupsi harus mampu mengagregasikan kembali cerita sukses seperti dalam pengungkapan korupsi di KPU, pengusutan kasus korupsi Abdullah Puteh, serta pengungkapan kasus korupsi Bank BNI dan Bank Mandiri beberapa waktu lalu.
Sebagaimana dituturkan Robert Klietgaard (1998), cerita-cerita sukses itu amat penting dan strategis untuk membangun optimisme publik yang telah mencapai puncak batas kesabaran menghadapi merajalelanya korupsi yang hampir menggerogoti seluruh aspek kehidupan kebangsaan kita.
Sebagai pemungkas, gerakan antikorupsi seperti yang pernah dilakukan NU dan Muhammadiyah harus kembali dihidupkan.
*. Munib Ansori, mahasiswa Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Depok.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 19 Juli 2007