Mereka Menyesal Jadi Wakil Rakyat?

Sebanyak 20 anggota DPRD Kabupaten Tangerang kemarin unjuk rasa dengan naik ojek sepanjang lima kilometer. Tapi ini bukan aksi solidaritas untuk korban gempa dan tsunami di Aceh. Aksi ini pun bukan memprotes rencana kenaikan harga bahan bakar minyak dan elpiji. Anggota Dewan protes karena merasa gaji dan fasilitasnya dibatasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Peraturan itu telah membelenggu, mengekang, dan membatasi hak hidup kami, kata Dedy, pemimpin aksi dari Fraksi Partai Golkar.

Unjuk rasa anggota Dewan itu dimulai dari pertigaan Bugel, Tigaraksa, sekitar pukul 09.00 WIB. Para anggota Dewan menyewa dan menaiki ojek dengan mengenakan pakaian sipil lengkap: jas dan dasi. Turun dari ojek, para anggota Dewan itu langsung memasuki gedung serbaguna Tigaraksa, tempat berlangsungnya puncak peringatan hari jadi ke-61 Kabupaten Tangerang.

Aksi ini ingin menggambarkan keprihatinan kami yang tidak bisa membayar sopir dan mencicil mobil, ujar Dedy. Anggota Dewan pengunjuk rasa itu pun meminta pemerintah pusat meninjau kembali PP Nomor 24 Tahun 2004. Jika tidak, kata Dedy, anggota Dewan akan menjadikan sepeda motor sebagai kendaraan dinas mereka.

Ahmad Kurtubi, anggota DPRD dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menyampaikan keluhan senada. Jadi anggota Dewan saat ini, kata dia, ternyata tidak seenak yang dibayangkannya saat maju dalam pencalonan. Anggota Dewan tidak harus kaya dan diberi terlalu banyak fasilitas. Kami ini manusia biasa bukan malaikat.

Sobri, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, mengatakan bahwa dengan pembatasan gaji dan fasilitas, kinerja Dewan otomatis menjadi tidak maksimal. PP Nomor 24 Tahun 2004, menurut Sobri, harus direvisi sampai memberikan keleluasaan kepada DPRD menentukan keuangannya. Peraturan sangat mengganggu kinerja kami, kata Sobri.

Saat mengacu kepada PP Nomor 110 Tahun 2002, penghasilan seorang anggota DPRD Tangerang meliputi uang representasi (Rp 1 juta), uang paket (Rp 252 ribu), tunjangan keluarga dan beras (Rp 261 ribu), uang kehormatan (Rp 750 ribu), biaya perjalanan dinas tetap (Rp 1 juta), biaya pemeliharaan rumah (Rp 1 juta), biaya lain-lain penunjang kelancaran tugas (Rp 2,5 juta), biaya koordinasi pimpinan daerah (Rp 1,3 juta), dan biaya komunikasi (Rp 1 juta).

Sejak Agustus lalu, sebagian komponen pendapatan--hanya sebagian, tidak semuanya--anggota Dewan itu hilang. Biaya koordinasi pimpinan daerah, biaya komunikasi, tunjangan keluarga dan beras, serta tunjangan rapat tidak ada lagi, ujar Kurtubi.

Benarkah gaji dan fasilitas anggota Dewan terhormat itu bakal terpangkas? Tunggu dulu. Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Arif Nur Alam, mengatakan bahwa sebagai hasil revisi atas peraturan sebelumnya, PP Nomor 24 Tahun 2004 justru memberi keleluasaan kepada Dewan untuk menentukan keuangannya.

Di satu sisi, menurut Arif, pada PP Nomor 24 Tahun 2004 memang ada beberapa tunjangan yang terpangkas. Tapi, jika ditotal, pada PP Nomor 24 Tahun 2004, justru ada kenaikan penerimaan anggota Dewan yang signifikan. Peraturan ini misalnya memungkinkan setiap anggota Dewan memperoleh uang pengabdian di akhir masa jabatannya. Peraturan ini juga memungkinkan setiap anggota DPRD memperoleh uang pengganti sewa rumah dinas. Pada PP Nomor 110 Tahun 2002 hanya pemimpin Dewan yang mendapat rumah dinas, ujar Arif.

Di sisi lain, PP Nomor 24 Tahun 2004 ini pun menghapuskan hambatan-hambatan prosedural yang terdapat pada PP Nomor 110 Tahun 2002. Menurut peraturan terbaru, Dewan memiliki kesempatan untuk mengatur anggarannya sendiri tanpa harus terjebak pada kesalahan administratif seperti sering terjadi saat PP Nomor 110 Tahun 2002 diberlakukan. Peraturan lama terbukti banyak menyeret anggota Dewan di berbagai daerah ke pengadilan, ujar Arif.

PP Nomor 24 Tahun 2004 sebenarnya masih memberi peluang bagi anggota Dewan untuk mempertebal koceknya. Pasal 10 peraturan itu, misalnya, menyatakan, penghasilan pemimpin dan anggota DPRD meliputi uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panitia musyawarah, tunjangan komisi, tunjangan panitia anggaran, tunjangan badan kehormatan, dan tunjangan alat kelengkapan lainnya.

Pasal 11 ayat 2 peraturan itu juga menambahkan, uang representasi (gaji pokok) ketua DPRD provinsi setara dengan gaji pokok gubernur. Sementara itu, gaji pokok Ketua DPRD kabupaten atau kota setara dengan gaji pokok bupati atau wali kota.

Gaji pokok Wakil Ketua DPRD provinsi, kabupaten, atau kota--menurut ayat 3 pasal itu--adalah 80 persen dari gaji pokok Ketua DPRD provinsi, kabupaten, atau kota. Ayat 4 pasal itu menyebutkan, gaji pokok anggota DPRD adalah 70 persen dari gaji pokok ketua.

Melihat poin-poin pada peraturan baru itu, menurut Arif, unjuk rasa yang dilakukan anggota DPRD Tangerang kemarin malah seperti membuka aibnya sendiri. Ternyata, mereka masuk ke gedung Dewan lebih untuk mencari uang ketimbang untuk berjuang, ujar Arif. joniansyah/jajang j

Sumber: Koran Tempo, 28 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan