Mereka Masih Sekadar Menjadi Bahan Tertawaan...

Di Kota Semarang, Jawa Tengah, ada kampung yang dikenal sebagai tempat pelaku kriminal. Kampung itu sering menjadi sasaran operasi polisi. Jika ada warga yang tertangkap, warga yang lain tertawa. Warga yang tertangkap dianggap sial saja sehingga tertangkap polisi.

Keadaan itu tak jauh berbeda dengan gambaran Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi negeri ini tidak pernah beranjak dari 2,72 (negara yang bersih dari korupsi bernilai 10) dan berada pada peringkat tiga besar negara terkorup di Asia selama tahun 2004-2008. Padahal, jumlah pelaku korupsi yang tertangkap dan diadili di negeri ini banyak.

Tampaknya tak ada malu lagi di negeri ini. Tidak ada lagi kata jera bagi mereka yang memiliki kuasa untuk melakukan korupsi. Jika Herman Allositandi, hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2006 ditahan dan dihukum 4 tahun 6 bulan penjara karena memeras dalam kasus korupsi di PT Jamsostek, pada tahun 2008 Irawady Joenoes ”mengulanginya”. Anggota Komisi Yudisial itu tahun 2008 ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan dihukum delapan tahun penjara.

Sebelumnya, jaksa Urip Tri Gunawan juga ditangkap KPK pada awal 2008. Ia terbukti menerima suap lebih dari Rp 6 miliar dari Artalyta Suryani. Urip dihukum 20 tahun penjara.

Kondisi yang sama juga terjadi pada pejabat di lembaga legislatif ataupun eksekutif. Sepanjang tahun 2006-2008 puluhan anggota DPRD serta kepala daerah, baik gubernur, bupati, atau wali kota ditahan dan diadili karena terlibat korupsi. Namun, masih ada saja pejabat di daerah yang berurusan dengan KPK hingga saat ini.

Setelah anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR, Al Amin Nasution, ditangkap KPK, karena terlibat korupsi, kita berharap tak ada lagi wakil rakyat yang dipermalukan. Namun, realitas berkata lain. Bulyan Royan, anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi DPR, pun mengalami nasib yang sama dengan Al Amin. Dia tertangkap tangan oleh KPK. Sebelumnya, KPK juga menahan sejumlah anggota DPR karena diduga terlibat kasus korupsi.

Sekali lagi, terasa tak ada rasa malu yang muncul di kalangan pejabat, termasuk juga sebagian masyarakat kita ketika ada kasus korupsi atau kejahatan lain yang muncul di lingkungannya. Mereka yang tertangkap atau yang beperkara hanya dilihat sebagai sedang tertimpa kesialan belaka. Mereka harus lebih waspada, agar tidak sial, dan bukan memperbaiki diri, menghindari perilaku korupsi.

Bahan tertawaan
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman di Jakarta, Selasa (24/2), mengakui, budaya malu melakukan korupsi, apalagi jika ada anggota komunitasnya tertangkap, ditahan, dan dihukum karena korupsi, memang belum berkembang di negeri ini. Mereka yang tertangkap, ditahan, dan akhirnya dipenjara sungguh-sungguh dimaknai sedang tertimpa kemalangan belaka. Tidak ada upaya membangun kesadaran baru untuk tak melakukan korupsi lagi, terutama di lingkungannya.

”Bahkan, setahu saya, mereka yang ditangkap dan ditahan karena terlibat kasus korupsi itu menjadi bahan tertawaan koleganya. Saat menjenguk temannya di ruang tahanan, mereka tertawa-tawa. Apalagi, fasilitas di ruang tahanan tetap membuat mereka nyaman,” kata Boyamin lagi.

Ia juga melihat hukuman bagi pelaku korupsi di negeri ini, terutama bagi terdakwa yang erat dengan kekuasaan, tidak pernah menjerakan. Selain Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun penjara dan mantan Direktur Utama Perum Bulog Widjanarko Puspoyo yang dihukum 10 tahun, sebagian besar pelaku korupsi di negeri ini dihukum kurang dari 10 tahun penjara. Bahkan, tak sedikit yang dibebaskan dari dakwaan. ”Padahal, mereka sudah menikmati hasil korupsinya. Jadi, meskipun dihukum, hukumannya tak sebanding dengan kerugian masyarakat dan negara. Mereka atau koleganya pun tak jera melakukan korupsi,” katanya lagi.

Menurut Boyamin, tindak pidana korupsi sama berbahayanya dengan terorisme. Jika pelaku terorisme ada yang dikenai hukuman mati, semestinya sejumlah pelaku korupsi pun diperlakukan sama. Apalagi, Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan pelaku korupsi dihukum mati.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, sebenarnya juga mempersilakan masyarakat mewacanakan hukuman mati untuk pelaku korupsi. Apalagi, Pasal 2 UU No 31/1999 menegaskan, pelaku korupsi bisa dijatuhi hukuman mati jika melakukan korupsi saat negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter (Kompas, 23/7/2008).

Namun, wacana itu tinggallah wacana belaka. Hingga kini belum pernah pelaku korupsi yang dituntut hukuman mati, apalagi dihukum mati. Padahal, sejumlah kasus korupsi memungkinkan pelakunya dihukum mati.

Boyamin menilai hampir tak mungkin mengharapkan pelaku korupsi dituntut dan dijatuhi hukuman mati. Karena, tak sedikit penegak hukum yang mencari kekayaan dari mereka yang terlibat perkara.

”Namun, yang paling penting budaya malu itu belum berkembang di kalangan pejabat,” ingat Boyamin. Dia menunjuk pengangkatan mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan jaksa M Salim sebagai pimpinan tim supervisi penanganan kasus korupsi di Kejaksaan Agung. Padahal, publik menilai keduanya ”tidak bersih”.

Advokat Kamal Firdaus juga menilai, pengangkatan keduanya kontraproduktif untuk penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negeri ini. Bahkan, seperti melemparkan noda pada pemerintah. Namun, masih adakah rasa malu itu? (tra)

Sumber: Kompas, 25 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan