Mereka Bicarakan Hukum, Lupakan Keadilan

Undang-Undang Dasar 1945, setelah perubahan keempat tahun 2001, menyatakan, sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3), negara Indonesia adalah negara hukum. Tak ada penjelasan yang dimaksudkan dengan negara hukum itu.

Namun, AM Fatwa dalam bukunya, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, menjelaskan, penegasan sebagai negara hukum itu berasal dari penjelasan UUD 1945, yang ”diangkat” ke dalam konstitusi. Rumusan ini bagian dari kesepakatan dalam mengamandemen UUD 1945, yaitu meniadakan penjelasan dan memasukkannya ke dalam konstitusi.

Fatwa, yang menjadi Wakil Ketua DPR ketika perubahan UUD 1945 digulirkan, tahun 1999-2001, menuliskan lagi, yang dimaksudkan dengan negara hukum adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Setiap negara yang menganut paham negara hukum harus memerhatikan supremasi hukum, kesetaraan di muka hukum, dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum.

Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, tahun 1989, merumuskan hukum sebagai (1) peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat (negara); (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; (4) ketentuan (pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); (5) vonis.

Pengertian hukum itu hampir tidak berubah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional dan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2008. Dari pengertian ini, jelaslah dalam kamus makna hukum sama sekali tidak mengaitkannya dengan hati nurani dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hukum adalah aturan yang mengikat siapa saja yang menjadi bagian dari masyarakat atau negara yang mengakui aturan itu.

Sejarah panjang
UUD 1945, walaupun sudah menegaskan posisi Indonesia sebagai negara hukum, sampai kini masih menyisakan berbagai persoalan, terutama terkait keadilan dan pemberantasan korupsi. Hak rakyat kebanyakan untuk mendapatkan keadilan sering kali terenggut karena ada korupsi di kalangan penegak hukum. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa tidak hanya merengut keadilan dalam masyarakat, juga mampu mengancam tujuan kita bernegara, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, sejarah kebencian bangsa ini pada korupsi sangat panjang. Pemerintahan pertama di negeri ini, Orde Lama, juga mencanangkan pemberantasan korupsi, antara lain dengan membentuk Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. UU ini semula adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 24 Tahun 1960. Presiden Soekarno, terutama di pengujung kekuasaannya, gencar menggelorakan pemberantasan korupsi. Namun, sebenarnya pemberantasan korupsi (suap) pertama kali, secara yuridis, justru disuarakan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957.

Setelah Orde Lama tumbang, kehendak pemberantasan korupsi pun tetap dilanjutkan. UU baru dilahirkan, yakni UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggantikan UU No 1/1961. Empat tahun sebelumnya, pemerintahan Orde Baru, yang dipimpin Presiden Soeharto, juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 228 Tahun 1967 tentang Tim Pemberantasan Korupsi, yang dipimpin Jaksa Agung. Namun, tim ini tak mampu mengurangi korupsi sehingga memaksa mahasiswa pada Januari 1970 turun ke jalan, meneriakkan antikorupsi.

Tuntutan itu direspons Soeharto dengan membentuk ”tim” baru yang dinamai Komisi Empat, dipimpin Wilopo. Presiden Soeharto juga menunjuk Penasihat Presiden Bidang Pemberantasan Korupsi, yakni mantan Wakil Presiden M Hatta, yang dikenal bersih. Soeharto pun menyatakan memimpin gerakan pemberantasan korupsi itu. Namun, ia tumbang karena gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa, dengan salah satu persoalan yang disoroti adalah korupsi yang merajalela pada masa itu.

Seperti tak ingin mengulang sejarah, pemerintahan lengser karena didera korupsi, wakil rakyat dan pemerintahan baru, yang muncul setelah gerakan reformasi, menetapkan semangat antikorupsi dalam aturan yang tinggi derajatnya. Memang bukan dalam UUD, melainkan dalam Ketetapan (Tap) MPR. Setidaknya, ada dua Tap MPR yang mengatur secara langsung tentang pemberantasan korupsi (lihat Tabel). Pemerintah dan DPR di era Reformasi pun melahirkan beragam aturan terkait pemberantasan korupsi serta membentuk berbagai institusi antikorupsi. Namun, setiap langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi itu terkesan justru dilemahkan sendiri oleh penegak hukum atau penyelenggara negara.

Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), misalnya, yang mampu membangun kesadaran antikorupsi dengan mengawasi kekayaan pejabat penyelenggara negara, harus bubar. DPR dan pemerintah menyepakati UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memasukkan KPKPN menjadi bagian dari KPK.

Sebelumnya, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk Presiden Abdurrahman Wahid juga ”dimatikan” Mahkamah Agung. Padahal, tim yang dipimpin mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto itu sempat menyeret tiga hakim agung karena disangka korupsi. Nasib yang mirip, sekalipun sampai kini belum mengakibatkan ”kematian”, kini dialami KPK. KPK berulang kali dicoba dilemahkan, antara lain dengan menjadikan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sebagai tersangka dalam dugaan penyalahgunaan wewenang dan upaya pemerasan. Aparat hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan, juga terkesan menolak KPK.

Dukungan politik kepada KPK pun dirasakan kurang. KPK dianggap melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Politisi akan mendukung KPK kalau yang ditindak bukan koleganya. Jika kadernya yang terkena dugaan korupsi, partai politik akan mempertanyakannya kepada KPK dan menganggap ada ”pilih bulu” dalam tindakan itu. Mereka beramai-ramai mempersoalkan KPK. Pada sisi lain, dukungan politik pemerintah kepada KPK pun terasa tanggung. KPK seperti kehilangan kepercayaan dirinya pula, terutama setelah didera berbagai persoalan. Paling tidak, dalam kasus dana talangan Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, langkah KPK yang masih menyatakan belum menemukan bukti kuat adanya penyimpangan, yang berbeda dengan kesimpulan politik DPR, mengundang tanya khalayak.

Mereka yang mempersoalkan langkah KPK memiliki pijakan hukum. Apa pun langkah KPK, dan penegak hukum lain, juga memiliki dasar hukum. Hampir semua orang berbicara tentang hukum dan penegakan hukum. Padahal, sesuai kodratnya, hukum memang tidak sempurna. Selalu menyisakan celah yang bisa dimanfaatkan, sesuai dengan kepentingan. Bahkan, hukum sering kali tertinggal dari perkembangan masyarakatnya.

Inilah nasib negara hukum. Penegakan hukum selalu didengungkan. Namun, hampir tidak ada yang menyuarakan penegakan keadilan. Kalaupun ada yang membicarakan keadilan, kembali terkait dengan kepentingan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa jelas mengartikan adil sebagai sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, atau tidak sewenang-wenang. Tentu tak mudah mewujudkan keadilan. Lebih mudah membicarakan menegakkan hukum atau memproduksi aturan. Pernyataan orator ternama Roma, Marcus Tullius Cicero, yang mengatakan the more laws, the less justice pun terasa benar.
Sumber: Kompas, 10 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan