Merdeka dari Para Koruptor

Pada hari kemerdekaan ke-64 Republik Indonesia, dengan jujur kita masih sulit membantah, negeri ini masih dikuasai para koruptor. Atau, setidaknya masyarakat dipaksa permisif dengan korupsi. Hingga, wajar jika dikatakan, kemerdekaan Indonesia dari korupsi belumlah utuh. Kita justru tidak pernah selesai melakukan sebuah evolusi pemberantasan korupsi.

Potret ini selayaknya ditempatkan sebagai otokritik terhadap konsepsi nasionalisme dan pemahaman kita tentang ritual Hari Kemerdekaan. Karena berbicara tentang konsepsi negara merdeka, sesungguhnya kita sedang mencoba menjawab satu pertanyaan sederhana. "Sudahkan penyelenggara negara secara mandiri mampu menjalankan fungsinya memenuhi kesejahteraan rakyat dan menjaga masyarakatnya dari segala ancaman dan benturan hak?"

Pada kenyataannya, saat ini fungsi negara untuk melayani masyarakatnya dibajak. Seperti  sebuah istilah, State Capture. Tepatnya, ketika kepentingan akumulasi mafia bisnis, politisi yang koruptif dan penegak hukum yang "dapat" dibayar menimbulkan efek yang sangat buruk dan menghilangkan kemampuan negara. Birokrasi pun membentuk wajah sendiri mulai dari puncak kekuasaan hingga level yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil. Tipilogi korupsi di Indonesia secara sederhana terjadi mulai dari korupsi politik hingga pemerasan birokrasi.

Revolusi Korupsi
Jika ingin lebih optimistis, sebenarnya Indonesia bisa mengklaim diri sebagai negara yang pertama kali membuat regulasi antikorupsi pasca kemerdekaan formalnya. Beberapa tahun sejak diproklamasikan, ketika Indonesia masih sangat muda, di tahun 1958, sebuah aturan pemberantasan korupsi sudah kita miliki. Melalui inisiatif Jenderal A.H. Nasution, Indonesia sudah menerbitkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Prt/Perperpu/ C.13/1958. Aturan ini bahkan lebih maju dari regulasi saat ini terkait realisasi konsep Illicit Enrichment. Disebutkan, pejabat wajib mendaftarkan semua kekayaannya, dan kepemilikan yang tidak seimbang dengan penghasilan resmi dapat dirampas untuk negara.

Konvensi PBB seperti United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) bahkan baru memperkenalkan konsep ini di tahun 2003 melalui kesepakatan Mer­rida, Mexico. Dan, saat ini Undang-undang 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001 yang menjadi dasar utama pemberantasan korupsi ternyata tidak mengatur persoalan penting tersebut. Artinya, dari aspek regulasi dan semangat awal pemberantasan korupsi, Indonesia muda saat itu dapat dilihat secara optimistis.

Namun sayangnya, upaya memberantas korupsi tidak semulus optimisme dari aspek regulasi semata. Tingkat persepsi korupsi di Indonesia berdasarkan sejumlah lembaga Internasional tetap di rangking yang sulit dibanggakan. Tahun ini posisi Indonesia masih dalam skor 2,6, dengan rentang nilai terendah 1 dan tertinggi 10. Kita masih jauh tertinggal dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sekalipun.

Demikian juga dengan Global Corruption Barometer (GCB) yang memotret lebih dalam pada masing-masing institusi negara. Selama empat tahun berturut-turut sektor seperti Parlemen, Partai Politik, Peradilan dan Penegak Hukum sebagai wilayah yang paling rentan korup.

Namun, mungkin pihak yang dinilai dapat saja membantah survey yang dikatakan versi "asing" tersebut. Dengan kampanye negatif, seolah-olah apa yang berbau asing adalah buruk. Karena itulah, meskipun ditengah rezim ketertutupan pengadilan, ICW mencoba menghitung angka persis kinerja pengadilan dalam memberantas korupsi.

Di Pengadilan Umum, ternyata berbagai citra kelam peradilan sulit dibantah. Dari 1643 terdakwa kasus korupsi yang terpantau selama tahun 2005-Juni 2009, ternyata 812 divonis bebas/lepas. Hukuman yang dijatuhkan untuk terdakwa lain pun tergolong rendah dan dinilai tidak memberikan efek penjeraan terhadap pelaku.

Agresi koruptor
Potret buram penegak hukum dan institusi politik tersebut tentu tidak boleh menyurutkan semangat Indonesia, khususnya dalam konteks Nasionalisme dan Kemerdekaan yang substansial. Karena di tengah sakit parahnya institusi penegak hukum konvensional, negeri ini sesungguhnya masih punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor. ICW mencatat rata-rata vonis yang dijatuhkan pada koruptor melalui lembaga ini, yakni 4,81 tahun selama lebih dari 57 bulan keberadaannya. Bahkan, tidak satu koruptor pun lolos hingga sekarang.

Kalau saja kita sepaham, bahwa upaya pemberantasan korupsi merupakan bagian dari ikhtiar merebut kemerdekaan hakiki, maka bisa dikatakan, KPK sudah memulainya. Akan tetapi, di tengah semangat yang kuat tersebut, agaknya pengalaman Indonesia di awal kemerdekaan terjadi kembali. Saat ini dalam bentuk dan aktor yang berbeda.

Jika saat Indonesia masih muda, para penjajah kembali melakukan penyera­ngan dan agresi militer, maka sekarang catatan awal dalam memerdekakan Indonesia dari korupsi juga bernasib sama. Para koruptor melakukan agresi besar-besaran, mengepung dan menyerang KPK dan Pengadilan Tipikor. Dalam bahasa berbeda kita bisa menyebutnya dengan coruptor fight back. ICW pernah melakukan kompilasi, dan menemukan setidaknya ada 11 jurus mematikan KPK yang sedang dimainkan elit politik, mafia bisnis dan penegak hukum.

Namun, tentu saja semua catatan dan raport merah pemberantasan korupsi di Indonesia tidak boleh menyurutkan langkah kita. Setidaknya semangat Indonesia muda mempertahankan negeri ini patut dimaknai ulang, khususnya soal membasmi para koruptor.

Tugas-tugas penting dalam jangka pendek yang harus diselesaikan legislatif dan eksekutif kita adalah pengesahan UU Pengadilan Tipikor dan penyelamatan institusi KPK dari segala upaya pembusukan. Kemudian melakukan reformasi total Kejaksaan dan Mahkamah Agung. (*)

Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan