Menyongsong Pergantian Pemimpin KPK; Dipuji, Dicaci, dan Ditakuti

Dulu saya sering mengritik Anda, tetapi setelah kini Anda akan berhenti, saya agak cemas, khawatir kalau pemimpin KPK yang baru nanti tidak dapat melanjutkan prestasi yang telah Anda capai, kata saya ketika bertemu dengan Taufiequrrahman Ruki usai mendengarkan pidato kenegaraan presiden di DPR pada 16 Agustus 2007 di gedung DPR.

Jangan cemas, Pak Mahfud harus optimis, pemimpin KPK yang baru nanti akan lebih baik, jawab Ruki.

Kritik Tebang Pilih
Seperti banyak orang lain yang gundah melihat mengguritanya korupsi, dulu saya sering mengkritik KPK karena kurang galak terhadap koruptor, tidak produktif, dan cenderung tebang pilih. Tetapi, kalau dihitung-hitung, sebenarnya banyak yang patut diapreasi dari pekerjaan KPK.

Karena itu, selain mengkritik melalui berbagai media, saya ikut membela KPK habis-habisan ketika lembaga ini diberondong dengan peluru untuk dibubarkan melalui berbagai cara. KPK sering dikritik karena bekerja secara tebang pilih dan tidak berani menyentuh empat area, yaitu Istana (termasuk menteri yang masih aktif), Cendana (keluarga mantan Presiden Soeharto), Mabes TNI, dan Mabes Polri. Terhadap menteri dari pemerintahan yang sedang berjalan, meski indikasi korupsinya kuat, KPK tak bergigi. Beraninya hanya menangkap dan memenjarakan mantan menteri pemerintahan sebelumnya.

Terhadap menteri yang masih aktif, meski berdasar gelar perkara di DPR diakui indikasi korupsinya cukup kuat, ternyata, KPK tidak memproses sebagaimana mestinya. Kasus pengadaan AFIS dan rekening aneh di Depkum HAM mandek karena, tampaknya, benar-benar diselesaikan secara adat. Yang dijadikan tumbal dalam kasus itu hanya mantan Dirjen AHU Depkum HAM Zulkarnain yang kini menjadi pesakitan di Pengadilan Tipikor. Ketika didesak Komisi III DPR untuk menersangkakan menteri karena sudah cukup alasan, KPK selalu menjawab, Kami independen, tak bisa didikte, oleh DPR sekalipun.

KPK dikritik juga karena anggaran kegiatannya, ternyata, lebih besar pasak daripada tiang. Artinya, uang negara yang diselamatkan jauh lebih kecil daripada biaya operasional yang diperlukan KPK.

Prestasi Tak Terbantahkan
Tetapi, menjelang berakhirnya masa tugas Ruki dan kawan-kawan, kita harus membuat neraca secara adil untuk menyimpulkan apakah kehadiran KPK selama ini positif bagi pemberantasan korupsi di Indonesia atau tidak. Bahwa KPK tidak berani menyentuh empat area, termasuk pejabat tinggi dalam pemerintahan yang berkuasa, mungkin sulit dibantah. Tetapi, bahwa KPK sudah mencatatkan prestasi yang sangat baik, itu pun tidak dapat dipandang dengan sebelah mata.

Awalnya, saat dibentuk pada 2003, KPK berjalan terseok-seok. Kantor menumpang. Gaji tidak jelas dan diterima hanya sebagai pinjaman. Upaya memeriksa pejabat yang diduga korupsi tidak lancar karena izin pemeriksaan tak mudah turun.

Bahkan, ada pejabat yang harus diperiksa KPK hanya diberi izin cuti beberapa jam sesuai dengan kebutuhan lamanya waktu pemeriksaan, satu model cuti yang hanya ada di Indonesia. Dengan begitu, KPK tak dapat menahan pejabat yang bersangkutan. Sebab, pejabat yang akan diperiksa hanya diberi cuti beberapa jam dan setelah itu harus berkantor kembali.

Namun, memasuki penghujung 2004, setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, KPK mulai menunjukkan taring. Sebab, SBY langsung memfasilitasi. Kantor dan gaji para awak KPK segera dibereskan. Izin pemeriksaan atas pejabat yang diduga korupsi segera diturunkan. Bahkan, kantor kepresidenan mengumumkan jaminan bahwa permintaan izin KPK untuk memeriksa pejabat akan turun paling lama satu minggu sejak permohonan disampaikan.

Sejak akhir 2004 itu, taring KPK benar-benar berfungsi. Tak ada satu kasus pun yang ditangani KPK bisa lolos dari hukuman. Begitu KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, tak mungkin yang bersangkutan lolos dari hukuman. Itulah yang terjadi hingga saat ini.

Karena itu pula, ada mantan orang penting yang diisukan korupsi lebih suka mendahului minta diperiksa kejaksaan atau kepolisian sebelum diperiksa KPK. Opini dan rumor yang berkembang menyebutkan, kasus-kasus korupsi yang ditangani kejaksaan atau kepolisian lebih mudah diurus untuk bisa lolos melaui cara-cara yang aneh dari sudut hukum.

Tudingan bahwa KPK melakukan tebang pilih tak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa KPK tampak menghindar dari empat area: Cendana, Istana, Mabes TNI, dan Mabes Polri. Saya mencatat adanya gelar perkara atas mantan pejabat KPU di Komisi III DPR yang kesimpulannya tidak dibantah KPK. Menurut kesimpulan DPR, pejabat tinggi tersebut sudah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai tersangka. Namun, hingga sekarang, KPK membiarkan bersama angin lalu.

Tetapi, tidaklah sepenuhnya benar jika tebang pilih KPK itu hanya tertuju pada pejabat yang pernah dipimpin Megawati, seperti Rokhmin Dahuri atau Said Agil Munawar (yang sebenarnya ditangani Timtas Tipikor). Lebih tidak benar jika dikatakan KPK hanya membidik pejabat dari partai yang sudah tidak berkuasa.

Banyak pejabat yang dijerat KPK justru berasal dari Partai Golkar. Sebutlah Bupati Kutai Kertanegara Syaukani H. R. yang hingga sekarang adalah ketua DPD Partai Golkar Kalimantan Timur. Begitu pula, mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang kini mendekam di penjara adalah kader senior Partai Golkar. (Bersambung)

Moh. Mahfud M. D., guru besar FH UII Jogjakarta dan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (FKB)

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 10 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan