Menyoal Usul Abolisi
OPSI penyelesaian elegan berupa pemberian abolisi kepada Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah yang digulirkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. menarik untuk dicermati. Menurut Mahfud, abolisi merupakan solusi kompromistis dalam penyelesaian kasus Bibit-Chandra dengan tetap menjaga kehormatan dan kewibawaan Polri serta Kejaksaan Agung. Dengan abolisi, kehormatan kepolisian tetap terjaga karena masih dapat melakukan penyidikan terhadap Bibit-Chandra. Hanya, pemeriksaan lebih lanjut atas kasus tersebut dengan segala akibat hukumnya dihentikan oleh presiden selaku kepala negara karena telah memberikan ''ampunan''.
Sebagai solusi kompromistis, tentu pemberian abolisi seharusnya tidak hanya mengakomodasi kepentingan Polri dan Kejaksaan Agung semata. Tetapi, juga kepentingan orang yang berkaitan secara langsung dengan kasus tersebut, yaitu Bibit-Chandra. Berkaitan dengan hal itu, pertanyaan yang relevan adalah untungkah Bibit-Chandra dengan pemberian abolisi sebagai upaya penyelesaian kasus mereka?
Rugikan Bibit-Chandra
Abolisi adalah suatu tindakan yang meniadakan atau menghapus. Bukan saja hal yang bertalian dengan pidana atau hukuman, tetapi juga yang menyangkut akibat-akibat hukum pidana yang ditiadakan seperti putusan hakim atau vonis. Abolisi berkaitan dengan semboyan Romawi ''Deletio, oblivio vel extinctio accusationis" yang berarti meniadakan, melupakan, dan menghapuskan soal tuduhan. Sehingga termasuk proses ante sententiam, yaitu sebelum putusan hakim dibacakan.
Berdasar Pasal 14 UUD 1945, pihak yang berhak memberikan abolisi adalah presiden RI dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasan yang menjadi pertimbangan utama adalah demi kepentingan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh putusan pengadilan.
Sekalipun pemberian abolisi kepada Bibit-Chandra didasarkan kepada Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, itu tidak berarti abolisi merupakan penyelesaian hukum. Abolisi merupakan penyelesaian politis dalam penyelesaian perkara yang dibenarkan oleh hukum (konstitusi) RI, selain grasi, amnesti, dan rehabilitasi. Penyelesaian suatu perkara dikatakan sebagai penyelesaian hukum bila perkara tersebut telah diperiksa dan diputus lembaga peradilan sebagai cermin organ yudisial.
Selintas, pemberian abolisi juga memberikan keuntungan bagi Bibit-Chandra. Tanpa adanya pemeriksaan dan putusan pengadilan, perkara yang dihadapi ditiadakan oleh presiden dengan segala akibat hukumnya. Bibit-Chandra tanpa bersusah-payah untuk membuktikan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang disangkakan oleh penyidik (Polri) kepadanya, perkara sudah dianggap selesai.
Namun, kalau dicermati secara dalam, pemberian abolisi itu sebenarnya kurang menguntungkan bagi Bibit-Chandra, khususnya menyangkut citra diri. Stigma bahwa orang yang diberi abolisi oleh presiden RI (termasuk grasi dan amnesti) adalah orang yang memang telah melakukan perbuatan hukum yang disangkakan.
Keuntungan atas pemberian abolisi kepada Bibit-Chandra tersebut jelas sangat dirasakan oleh Polri dan Kejaksaan Agung yang memang selama ini getol memeriksa Bibit-Chandra. Kehormatan dan kewibawaan kedua lembaga itu akan tetap terjaga karena pemeriksaan atas perkara tersebut tetap dilanjutkan. Mereka terpaksa tidak meneruskan pemeriksaan karena perkara telah dianulir oleh presiden sebagai kepala negara melalui pemberian abolisi.
Penyelesaian Hukum
Sebagai negara yang ingin menegakkan supremasi hukum, penyelesaian kasus Bibit-Chandra hendaknya tetap dilakukan dalam koridor hukum (legal frame). Sekalipun tidak bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku, pemberian abolisi bukan merupakan penyelesaian hukum karena tidak diputus lembaga peradilan.
Opsi lain yang lebih rasional untuk dilakukan presiden adalah memberikan stimulasi kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk melaksanakan rekomendasi Tim 8. Kalau kenyataannya Tim 8 merekomendasikan bahwa kasus Bibit-Chandra tidak layak diteruskan karena tidak cukup bukti, maka kepolisian harus punya keberanian menghentikan pemeriksaan perkara melalui penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).
Opsi penyelesaian hukum berikutnya adalah penerbitan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2). Merujuk Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP, jaksa agung berwenang menghentikan penuntutan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana karena tidak cukup bukti. Prosedur itu pernah diterapkan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh yang menghentikan penuntutan terhadap Soeharto, tapi dengan alasan faktor kesehatan.
Opsi tersebut, tampaknya, lebih memungkinkan untuk dilakukan daripada penerbitan SP3 oleh kepolisian. Dari proses komunikasi antara Polri dan Kejaksaan Agung selama ini, yang antara lain mengembalikan berkas BAP kepada penyidik untuk disempurnakan, menyiratkan bahwa Kejaksaan Agung tidak begitu saja menerima pemberkasan oleh penyidik. Ini berarti bahwa ganjalan psikologis institusional yang dihadapi Kejaksaan Agung untuk menghentikan pemeriksaan kasus Bibit-Chandra lebih ringan daripada Polri.
Selain penerbitan SKP2, Kejaksaan Agung sebenarnya masih punya kewenangan lain yang bisa ditempuh, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 35 huruf C UU No.2004 tentang Kejaksaan RI tersebut merupakan aktualisasi asas oportunitas.
Kalaupun kedua opsi penyelesaian hukum tersebut tidak ditempuh, baik oleh Polri maupun Kejaksaan Agung, maka opsi terakhir adalah pemeriksaan di pengadilan. Ada sisi baiknya kalau kasus Bibit-Chandra diperiksa di sidang pengadilan. Transparansi atas penyelesaian kasus itu lebih tampak. Masyarakat luas bisa mengikuti jalannya persidangan. Selain itu, kepastian hukum lebih dijamin daripada opsi lainnya, terlebih pemberian abolisi. (*)
Dr Taufiqurrahman SH , MHum, Pjs Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 18 November 2009