Menyoal Kasus Soeharto

Pasca-Perang Dunia II, Gustaf Radbruch mengenalkan Radbruch Formula.

Inti formula itu mengatakan, hukum positif dianggap lawan keadilan dan tidak dapat diterapkan. Jika ada ketidakkonsistenan antara undang-undang dan keadilan, yang lebih didahulukan adalah keadilan.

Masih menurut Radbruch, hukum yang baik tidak hanya menjamin kepastian hukum semata, tetapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan. Padahal, acap kali antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan saling bertolak belakang.

Manusiawi
Terkait kasus Soeharto yang kembali mengemuka akhir-akhir ini, adalah suatu masalah yang pelik. Dengan alasan kepastian hukum, kasus Soeharto harus diproses hingga menjadi jelas, benarkah Soeharto melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan terhadapnya.

Meneruskan pengadilan atas Soeharto bukanlah balas dendam politik, tetapi untuk kepentingan yang bersangkutan sendiri. Sebab kita tentu tidak ingin sejarah pahit yang pernah menimpa mantan Presiden Soekarno kembali berulang.

Sampai akhir hayatnya, Soekarno tetap berstatus sebagai tahanan politik terkait isu keterlibatannya dalam Gerakan 30 September 1965 dan masih tetap merupakan pertanyaan publik hingga kini. Rezim Orde Baru yang saat itu berkuasa tidak mau mengadili Soekarno dengan alasan mikul dhuwur mendhem jero.

Namun, dengan kondisi Soeharto yang demikian, tidaklah mungkin ia dapat didudukkan di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Sebab, bagaimanapun kejamnya hukum pidana, ia masih bersifat manusiawi. Selain itu, dalam standar universal peradilan pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, seseorang yang sedang sakit berat tidak mungkin dihadapkan di persidangan.

Atas rencana deponir kasus Soeharto sebagaimana diusulkan sebagian orang, sulit menemukan alasan tepat untuk mengesampingkan penuntutan terhadap Soeharto. Secara garis besar deponir hanya dapat dilakukan dengan tiga kemungkinan. Apakah dengan menghentikan penuntutan, menutup perkara demi kepentingan hukum, atau dengan menggunakan asas oportunitas.

Pertama, penghentian penuntutan hanya dapat dilakukan jika perkara itu kurang bukti atau bukan perkara pidana. Dalam kasus Soeharto, perkara telah dilimpahkan ke pengadilan. Artinya dari sudut pandang jaksa penuntut umum, perkara memiliki bukti memadai untuk membuktikan dakwaan terhadap Soeharto.

Kedua, menutup perkara demi hukum hanya jika terjadi nebis in idem, perkara itu kedaluwarsa atau terdakwa meninggal dunia. Semua kondisi pada kemungkinan kedua ini tidak ada satu pun yang dapat diterapkan untuk kasus Soeharto.

Kemungkinan ketiga adalah menggunakan asas oportunitas, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam konteks hukum acara pidana, asas oportunitas ini merupakan pengecualian dari asas legalitas yang berarti, tiap perbuatan pidana harus dituntut (nullum crimen sine poena legali).

Jika kasus Soeharto dideponir dengan menggunakan kemungkinan ketiga, orang akan mempertanyakan kepentingan umum apakah yang akan dirugikan jika penuntutan atas Soeharto dilanjutkan. Sebaliknya, jika kasus Soeharto dideponir, tidak hanya masalah kepastian hukum yang diombang-ambingkan, tetapi keadilan masyarakat dikorbankan dan kesungguhan pemerintah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme seperti tertuang dalam Tap MPR XI/MPR/1998 patut dipertanyakan.

Solusi
Selanjutnya solusi nyata atas penyelesaian kasus Soeharto dapat ditempuh secara perdata maupun pidana. Dalam konteks penyelesaian perdata, langkah Kejaksaan Agung melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto adalah tepat meski ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan gugatan perdata hanya dapat dilakukan jika tersangka atau terdakwa telah meninggal dunia. Di sini, kejaksaan menginterpretasikan secara ekstensif, sakit permanen Soeharto sebagai telah meninggal dunia.

Sedangkan dalam penyelesaian pidana, satu-satunya jalan untuk mengadili Soeharto adalah secara in absentia dengan lebih dulu meminta fatwa Mahkamah Agung. Kedua proses itu dapat dilaksanakan secara simultan.

Eddy OS Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan