Menyoal Harta Kekayaan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden [16/06/04]

Proses demokratisasi sedang berlangsung di Indonesia. Setelah pemilihan anggota legislatif, sekarang berlangsung pemilihan presiden dan wakil presiden. Partai politik yang bertempur sebagai oposisi dalam pemilihan anggota legislatif justru berteman sebagai disposisi pada pemilihan capres dan cawapres.

Bagi masyarakat menengah, janji elite politik yang memiliki keterkaitan dengan capres-cawapres kepada rakyat dianggap sebagai justifikasi terhadap kekuasaan yang akan diperolehnya. Sebaliknya, janji kepada masyarakat bawah akan menjadi determinan kelak terhadap kekuasaan dari capres-cawapres itu. Kedua makna inilah yang membawa ikatan apresiasi capres-cawapres terhadap segala visi dan misi menyelamatkan bangsa dan negara dari keterpurukan.

Para capres-cawapres adalah pemimpin bangsa dan negara masa depan yang memiliki kapabilitas, integritas, kejujuran hidup dan etika, serta moral yang tinggi. Karena itu, pengumuman harta kekayaan capres- cawapres oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas merupakan langkah awal baik yang harus ditindaklanjuti. Artinya, tidak sekadar berhenti pada pengumuman harta kekayaan, tetapi melacak asal muasal harta kekayaan tersebut.

Memang persoalan terkaya (cawapres M Jusuf Kalla dengan nilai Rp 122 miliar) dan termiskin (capres Amien Rais dengan nilai Rp 800 juta) merupakan area privat yang tak menjadi primary goal KPK, tetapi jabatan publik, seperti capres dan cawapres, menghendaki adanya kejujuran sebagai bentuk public accountability, yaitu dengan pelacakan harta kekayaan tersebut. Adanya pelacakan harta kekayaan adalah untuk memenuhi amanat public accountability dari (calon) pemimpin negara dan bangsa ini yang seharusnya bebas dari KKN.

Kehendak publik untuk menilai integritas capres-cawapres dengan menerapkan prinsip transparansi ekstensif terhadap harta kekayaan merupakan bentuk konsekuensi negara yang memahami prinsip demokrasi.

Kecenderungan publik membuka akses asal muasal harta kekayaan capres-cawapres dapat dibenarkan mengingat Perubahan IV UUD 1945 memberikan legalitas terhadap impeachment atas presiden yang diduga korupsi. Karena itu, tuntutan publik terhadap pelacakan asal muasal harta kekayaan capres-cawapres merupakan norma konsekuensi yang dapat dibenarkan saja.

Mewujudkan good governance pada era transisi tidaklah mudah. Di hampir setiap negara berkembang, termasuk Indonesia, korupsi sudah merupakan bagian yang membutuhkan reevaluasi ekstrem terhadap sistem yang terkontaminasi dengan kekuasaan. Kekuasaan menyebabkan korupsi birokratis yang berkepanjangan, sebaliknya kontaminasi korupsi mengakibatkan lumpuhnya kekuasaan absolut, pendek kata power absolut tends corruption, but corruption downs the power absolutely.

Artikulasi kedua makna itu jelas memperlihatkan keterkaitan korupsi dengan kekuasaan yang mengakibatkan kerugian masyarakat dan negara dalam skala besar. Kritik tepat Prof Stephen Rosoff dari University of Houston-Clear Lake dalam bukunya Profit Without Honour tentang Political Corruption bahwa all illegal acts are not necessarily corrupt and all corrupt acts are not necessarily illegal. Akibatnya, korupsi sering dijadikan justifikasi perbuatan ilegal, bahkan sejak Konvensi ke-8 di Havana 1988, PBB telah menyoroti crime-trend pejabat publik dalam bentuk crimes by government yang dapat mengganggu stabilitas politik. Sebab, tegas dikatakan corrupt activities of public official can destroy a stability of the state and the potential effectivities of all types of governmental programmes, hinder development and victimize individuals and groups.

Trace asal muasal harta kekayaan capres-cawapres merupakan bentuk baru arah transparansi etika dan moral (calon) pemimpin negara yang berintegritas sebab landas berlangsungnya prosesualisasi ketatanegaraan adalah komitmen pimpinan negara terhadap pemberantasan korupsi.

Untuk menghindari pemimpin negara yang KKN dan untuk mengurangi sikap skeptis publik terhadap pengumuman harta kekayaan tersebut, KPK bisa melacak, dengan memanfaatkan Pasal 17 Ayat (2) huruf c UU No 28/1999 tentang Anti-KKN. KPK atas inisiatif sendiri bisa menyelidiki harta kekayaan para capres-cawapres dengan metode contoh legalitas dari Penjelasan Pasal 18 UU No 3/1971 bahwa capres-cawapres yang tidak dapat memberi keterangan memuaskan tentang sumber kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber kekayaannya, maka dapat diduga dia melakukan korupsi.

Sebagai amanat Pasal 12B UU No 20/2001, terhadap gratifikasi (pemberian) dalam bentuk apa pun, para capres-cawapres wajib melaporkan ke KPK, mekanisme ini merupakan salah satu trace asal muasal harta kekayaan yang tidak seimbang dibandingkan dengan sumber penghasilannya.

Sebelum 5 Juli 2004, KPK dapat segera mengumumkan pada publik asal muasal harta kekayaan para capres-cawapres sehingga publik dapat menilai dan memilih para capres-cawapres yang layak dan benar- benar memiliki kejujuran dan integritas yang tinggi.

Andaikata pun, berdasarkan pelacakan capres-cawapres bermasalah terpilih, maka berdasarkan Amandemen ke-IV Pasal 7A & Pasal 7B UUD 1945, melalui impeachment presiden-wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi yang akan memutus bahwa presiden-wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

Bentuk representasi publik terhadap capres-cawapres hanya dapat terwujud apabila ada public accountability terhadap harta kekayaannya, yaitu dengan trace asal muasal harta kekayaan. Ini tentu merupakan upaya menghindari capres-cawapres yang bernuansa KKN!(Indriyanto Seno Aji, Dosen FH UI)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 16 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan