Menyita Aset Koruptor

Sejalan dengan tuntutan masyarakat untuk menyita dan merampas aset atau harta kekayaan koruptor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 Desember lalu dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 memerintahkan aparat penegak hukum untuk memulihkan kerugian negara (asset recovery).

Dalam prakteknya tidaklah mudah menyita aset koruptor, karena korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang tergolong kerah putih, yaitu orang yang mempunyai otoritas dan/atau keahlian di bidangnya, sehingga terbongkarnya korupsi itu lama setelah perbuatan dilakukan dan ketika itu hasil korupsi sudah bisa diamankan oleh pelaku. Pengamanan aset korupsi itu pun dilakukan dengan rekayasa yang canggih dan rapi serta menggunakan celah-celah hukum sehingga terlindung dengan baik.

Undang-undang korupsi yang berlaku, yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyediakan dua instrumen untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan korupsi, yaitu instrumen pidana dan perdata. Proses atau tata cara instrumen pidana secara khusus dimuat dalam kedua undang-undang itu, sedangkan untuk instrumen perdata menggunakan ketentuan biasa atau umum yang berlaku, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan acaranya.

Kekhususan bagi instrumen pidana tersebut, antara lain, bahwa dalam sidang pengadilan, pertama, terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh hartanya, harta istrinya (suaminya, harta anaknya, dan harta pihak lain yang diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan korupsi yang didakwakan kepadanya).

Kedua, apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya (yang tidak seimbang dengan penghasilannya) bukan berasal dari korupsi, hartanya dianggap diperoleh dari perbuatan korupsi (illicit enrichment) dan hakim berwenang merampasnya.

Ketiga, dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum vonis hakim dijatuhkan dan terdapat bukti kuat bahwa terdakwa melakukan perbuatan korupsi, maka harta terdakwa dapat dirampas oleh hakim.

Sudah barang tentu, untuk dapat membawa harta atau aset koruptor ke dalam sidang pengadilan, harus didahului dengan tindakan penyitaan oleh penyidik dalam tahap penyidikan. Aset koruptor yang disita penyidik itu oleh jaksa penuntut umum akan diajukan sebagai barang bukti ke hadapan hakim dalam tahap penuntutan.

Proses penyitaan ini adalah proses yang paling sulit dalam upaya pengembalian kerugian negara sebagaimana dikemukakan di atas. Banyak cara dan jalan yang bisa dipilih oleh koruptor untuk mengamankan hasil korupsi, dari yang paling sederhana sampai yang canggih dengan menggunakan rekayasa finansial (financial engineering) yang tersedia dalam praktek bisnis di dalam negeri maupun di luar negeri.

Dalam hubungan ini, pada tahap penyidikan perkara korupsi perlu ada kegiatan khusus, yaitu mengidentifikasi atau menelusuri aset yang diduga terkait langsung atau tidak langsung dengan perkara korupsi. Perlu dibentuk unit khusus untuk menelusuri ke mana hasil korupsi itu dikaburkan oleh koruptor dengan membina jaringan di dalam negeri maupun luar negeri, bekerja sama dengan semacam financial intelligence unit yang sudah ada di berbagai negara.

Unit khusus ini perlu diberi wewenang ekstra untuk menembus dinding hukum yang bisa dimanfaatkan oleh koruptor untuk mengaburkan asetnya, misalnya ketentuan tentang kerahasiaan bank. Tanpa adanya unit khusus yang bertugas menelusuri aset koruptor pada tahap penyidikan, upaya pengembalian kerugian negara rasanya tidak akan berhasil optimal. Di dalam negeri, penyidik bisa bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mempunyai kewenangan menelusuri uang hasil kejahatan yang dicuci (money laundering).

Penggunaan instrumen perdata hampir tidak ada manfaatnya, karena undang-undang korupsi tidak memberikan kekhususan. Bila upaya pengembalian kerugian negara dilakukan melalui proses perdata biasa, gugatan perdata terhadap koruptor (tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya) harus menempuh proses beracara biasa yang penuh formalitas. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa untuk sampai pada putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap bisa memakan waktu bertahun-tahun dan belum tentu menang.

Undang-undang mewajibkan pemeriksaan perkara pidana korupsi diberi prioritas, sedangkan gugatan perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi tidak wajib diprioritaskan. Di samping itu, koruptor (tergugat) bisa menggugat balik dan ada kemungkinan malah dia yang menang dan justru pemerintah yang harus membayar tuntutan koruptor. Sudah menjadi rahasia umum, putusan pengadilan dalam perkara perdata di negara kita ini susah diperkirakan (unpredictable).

Terhadap terpidana perkara korupsi, selain pidana badan (penjara) dan/atau denda, juga dijatuhi pidana tambahan, antara lain, pembayaran uang pengganti yang besarnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi. Dalam prakteknya hampir tidak ada terpidana yang membayar uang pengganti dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset.

Sikap terpidana yang tidak mau atau tidak mampu membayar uang pengganti itu sebenarnya sudah bisa diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Menghadapi terpidana seperti ini, seyogianya penuntut umum menuntut hukuman badan (penjara) maksimum sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang.

Dari gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa menyita dan merampas aset koruptor bukan ihwal yang mudah sebagaimana dibayangkan banyak orang, karena segala sesuatunya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kesulitan itu menjadi bertambah, karena adanya tersangka, terdakwa, atau terpidana yang melarikan diri ke luar negeri dan sudah tentu dengan membawa asetnya. Oleh karena itu, kerja sama dengan pemerintah negara lain perlu dijalin dan hal ini akan lebih terbuka dengan meratifikasi United Nations Conventions Against Corruption yang Indonesia sudah menandatanganinya pada 18 Desember 2003.

Untuk mengejar aset koruptor itu presiden tidak cukup hanya menerbitkan instruksi presiden yang terbatas pada perintah kepada Jaksa Agung dan Kepala Polri, tetapi juga perlu menerbitkan produk hukum yang menjangkau masyarakat luas, misalnya dengan peraturan pemerintah. Masyarakat perlu de jure dan de facto dijadikan agen dalam pemberantasan korupsi, khususnya dalam menelusuri aset koruptor.

Perlindungan hukum dan premi (ganjaran uang) bagi orang yang berjasa dalam membongkar kasus korupsi, sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang korupsi, perlu segera direalisasi oleh pemerintah. Terkait dengan peran masyarakat ini DPR perlu segera membahas RUU yang sudah ada, yaitu RUU Perlindungan Saksi (Whistler Blower Act) dan RUU Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act) yang keduanya sudah ada di badan legislatif, karena kedua undang-undang ini sangat berarti bagi partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. (Suhadibroto, Anggota Komisi Hukum Nasional)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 22 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan