Menyingkap Tradisi Suap Parlemen

Dana lobi bisa memakan 60 persen dari anggaran yang dialokasikan.

Rokhmin Dahuri tak juga habis pikir kenapa hanya dirinya yang mendekam di balik jeruji penjara. Ditemui Tempo dan Liputan-6 SCTV belum lama ini, mantan Menteri Kelautan itu hakulyakin apa yang dilakukannya terjadi di semua departemen. Setiap urusan di DPR kan harus pakai uang, katanya, Bedanya, hanya saya yang membuat catatan.

Lebih dari sekadar catatan, indikasi teranyar kini meruap dari sebuah dokumen laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Bank Indonesia yang diperoleh Tempo. Dikonfirmasikan oleh Ketua BPK Anwar Nasution, laporan itu mengungkap kucuran dana Rp 31,5 miliar dari bank sentral pada 2003 untuk mengegolkan rencana amendemen Undang-Undang BI.

Mewabahnya suap dan pemerasan di parlemen memang sudah menjadi rahasia umum. It's huge (ini luar biasa besar-Red.). Skalanya jauh melebihi di masa Orde Baru, pengusaha Sofjan Wanandi mengeluhkannya, Apalagi kalau menyangkut kepentingan bisnis besar. Sofjan mestinya tak asal bicara. Ia baru-baru ini ikut memimpin tim lobi Kadin soal Undang-Undang Pajak.

Seorang tokoh yang berpengalaman dalam urusan ini dan meminta identitasnya disembunyikan memastikan praktek tersebut berlaku di semua partai tanpa terkecuali. Ia membeberkan, sepak-terjang anggota parlemen dari sebuah partai keagamaan yang mencitrakan dirinya sebagai partai bersih pun setali tiga uang, Mereka datang sendiri dan terang-terangan minta uang.

Mantan Menteri Dalam Negeri Ryaas Rasyid pun mengkonfirmasikan gejala memprihatinkan ini. Salah satu sumbernya adalah di panitia anggaran, ia memastikan. Sayang, ia tak bersedia menjelaskan lebih gamblang dengan alasan ia kini hanya duduk di komisi air mata. Ryaas merupakan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang antara lain membidangi pemerintahan dalam negeri.

Fenomena ini jelas bukan gejala baru. Telah berkali-kali kasusnya diungkap oleh pers.

Pada pertengahan 2002, anggota parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Meilono Soewondo, menjadi pucuk berita di mana-mana setelah membongkar upaya penyuapan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang terkait dengan rencana divestasi sebuah bank. Bersama koleganya di PDIP, Indira Damayanti Sugondo, Meilono menolak pemberian uang senilai $ 1.000 per kepala. Itu diberikan sehari sebelum rapat kerja yang membahas hal yang sama di DPR, kata Indira.

Pertengahan 2006 lalu, tersingkap kasus amplop Departemen Dalam Negeri yang dikirimkan atas permintaan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh Ferry Mursyidan Baldan. Gara-gara urusan ini, Ferry sempat diperiksa Badan Kehormatan DPR. Benny K. Harman dari Partai Demokrat, yang melaporkan kasus ini ke Badan Kehormatan, mengatakan praktek ini, memang jadi tradisi di Senayan.

Tradisi tercela itu, sebagaimana diakui anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fachri Hamzah, sudah sedemikian berurat-berakar. Segala urusan di parlemen selalu diwarnai uang suap, ibarat, hujan amplop yang berjatuhan dari atas genting.

Modusnya pun sangat beragam. Ia mencatat setidaknya ada lima saluran yang biasa dieksploitasi untuk memeras dana terlarang, yakni rapat kerja di komisi, panitia anggaran, kunjungan kerja, panitia khusus RUU, dan panitia khusus kasus. Modusnya terentang mulai sekadar pemberian amplop di setiap rapat rutin, percaloan dalam penyusunan anggaran, sampai suap bernilai miliaran rupiah berkait dengan pembahasan kasus-kasus kakap (lihat, Semua Bermuara di Senayan).

Lalu, berapa anggaran negara yang lenyap akibat praktek ini? Kita bicara triliunan rupiah, karena ukurannya adalah APBN itu sendiri, Fachri menaksir.

Bila dihitung-hitung, katanya lagi, dana lobi yang dibutuhkan untuk mengegolkan sebuah proyek bisa memakan 60 persen dari dana yang dianggarkan. Jadi, jika alokasi belanja ke daerah saat ini sekitar Rp 252 triliun, Artinya, yang jadi barang paling-paling cuma 40 persen.

Benar-tidaknya taksiran fantastis ini tentu masih harus diteliti. Tapi, satu hal sudahlah pasti, nilai uang yang terlibat dalam permainan ini memang berskala besar.

Terhadap berbagai persoalan itu, Ketua DPR Agung Laksono menyatakan telah mengambil langkah pencegahan dan tak mentoleransinya. Pemimpin DPR, katanya, telah melarang lembaga pemerintah mana pun mengucurkan dana buat segala urusan di DPR. Saya sudah membuat surat kepada menteri, bahkan presiden (mengenai larangan ini). Sudah dua kali kami sampaikan, Agung menegaskan.

Pertanyaannya: bisakah sekadar surat dan larangan resmi memberantas tradisi yang telah lama berurat-berakar di Senayan ini? Tim Tempo dan Liputan-6 SCTV (Liputan ini bisa diakses di www.tempointeraktif.com dan www.liputan6.com)

Sumber: Koran Tempo, 27 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan