Menyikapi Rendahnya Kinerja Pegawai

Ungkapan pintar-goblok penghasilan sama diyakini sebagai biang rendahnya motivasi kerja dan tingginya semangat korupsi.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki pernah melontarkan pemikiran tentang pentingnya pembenahan sistem penggajian birokrat sebagai bagian dalam memerangi korupsi di Indonesia. Ungkapan pintar-goblok penghasilan sama diyakini sebagai biang rendahnya motivasi kerja dan tingginya semangat korupsi.

Melalui penerapan sistem penggajian berbasis kinerja (SPBK) atau performance-related pay di lingkungan pegawai negeri sipil, besaran gaji bergeser dari sesuatu yang tetap (seperti yang dipraktekkan selama ini) ke sesuatu yang bervariasi berdasarkan produktivitas karyawan. Secara umum, sistem penggajian semacam ini dipandang sebagai komponen kunci untuk meningkatkan dan mempertahankan motivasi, kinerja, dan integritas pelayan publik. Semakin tinggi kontribusi karyawan terhadap organisasi, semakin tinggi pula insentif yang diterimanya. Akibatnya, kinerja instansi membaik. Kemampuan si karyawan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga akan meningkat.

Pada tataran internasional, Department of Economic and Social Affairs of the United Nations mencantumkan SPBK sebagai salah satu rekomendasinya untuk pemerintah di negara sedang berkembang yang tengah menjalani transisi perekonomian. Rekomendasi ini tercantum pada World Public Sector Report 2005. Menurut UNISON (1991), dalam prakteknya, SPBK berkembang ke dalam tujuh variasi. Yang paling populer diterapkan di lingkup pegawai negeri di banyak negara adalah pemberian bonus dan penentuan besaran gaji berdasarkan assessment yang membandingkan kinerja karyawan (baik secara individual maupun kelompok) dengan target yang telah ditetapkan organisasi. Cara ini tumbuh pesat sejak 1980-an.

Walaupun kian banyak diterapkan, SPBK bukanlah sistem penggajian tanpa kelemahan. Efektivitas SPBK terhadap kinerja pegawai negeri tak jarang terhalang oleh sejumlah kendala. Sebagai contoh, dari segi motivasi dan moralitas karyawan (Marsden dan French, 1998), keterbatasan kemampuan atasan dalam menilai kinerja para bawahannya telah berpengaruh buruk terhadap moral kerja karyawan.

SPBK juga menuntut adanya pemahaman dan penerimaan para karyawan akan aturan mainnya yang kompleks. Tragisnya, buruknya kemampuan komunikasi yang tipikal ada pada manajemen Asia (Zehnder, 2005) justru mengembangkan kebiasaan kasak-kusuk yang berujung pada munculnya syak wasangka antarkaryawan sebagai salah satu ciri bureaucracy politics. Meskipun pada awalnya karyawan merasakan adanya kontrol atasan (control system) yang lebih ketat menyusul dilakukannya penilaian terhadap kerja mereka, iklim komunikasi yang suram malah mendorong karyawan untuk kemudian tidak lagi melihat korelasi antara insentif dan performa yang mereka tampilkan, tapi lebih melihatnya sebagai hasil hubungan personal yang kolutif dengan pihak penilai kinerja.

Sistem penggajian berbasis kinerja individual ini juga berpotensi menurunkan arti penting kerja kelompok, sekaligus menyimpangkan perhatian karyawan untuk lebih terfokus pada pengembangan diri pribadi dan pencapaian-pencapaian jangka pendek ketimbang pemberdayaan kolektif dan realisasi tujuan jangka panjang organisasi (Pfeffer, 1998).

Penekanan SPBK pada keahlian dan keterampilan kerja, secara sosiokultural, juga bisa jadi tidak menguntungkan perempuan (Strebler, Thompson, Heron, 1997). Diskriminasi terhadap perempuan tidak dilakukan oleh pihak atasan semata, tapi juga oleh sesama rekan kerja yang berjenis kelamin sama. Kaum Hawa memiliki kesempatan lebih kecil untuk menjalani program pelatihan peningkatan kerja. Atasan pun cenderung memberikan penilaian setengah hati terhadap karyawan perempuan karena bekerja bagi perempuan hanya dianggap sebagai aktivitas sampingan selain menjalankan tugas domestik yang sifatnya primer dan kodrati.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan SPBK bukan perkara sederhana. Kompleksitas yang ada, termasuk ekses-ekses yang muncul belakangan, pada gilirannya justru berisiko merusak performance level para karyawan. Kegagalan penerapan SPBK di sektor pelayanan publik di 30 negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development menjadi salah satu bukti betapa rumitnya hal-ihwal seputar SPBK (Cardona, 2002). Menjadikan hal itu sebagai pelajaran, jika negara-negara yang manajemen pegawai negerinya sudah lebih maju dan relatif lebih rasional masih tetap menemui jalan buntu, logikanya peluang gagalnya penegakan sistem SPBK akan lebih besar di negara semacam Indonesia.

Karena perubahan manajemen yang dilakukan secara ekstrem berpotensi merusak stabilitas organisasi, jika tetap harus diselenggarakan, SPBK bagi para pegawai negeri sipil di Indonesia membutuhkan uji coba sektoral internal sebelum diterapkan secara menyeluruh di level institusi. Terlepas dari segala efek SPBK terhadap kinerja pegawai negeri, banyak peneliti yang menemukan bahwa titik utama kepedulian karyawan sesungguhnya bukan terletak pada besaran gaji yang sesuai dengan kinerja mereka (objective pay), melainkan pada kesetaraan proporsi gaji yang ada di dalam sebuah perusahaan (internal equity) dan kesetaraan gaji untuk posisi yang sama pada perusahaan yang berbeda (external equity).

Setelah persepsi akan kesetaraan seperti itu terbentuk, semangat kelompok (organizational citizenship, camaraderie) akan terbangun, yang menjadi sumber energi bagi organisasi untuk meraih pencapaian-pencapaian signifikan. Kiranya dari situ langkah revitalisasi aparat birokrasi di Indonesia patut dimulai. Konkretnya, penataan ulang sistem penggajian dapat diletakkan pada prioritas kedua. Yang pertama, sekaligus yang paling mendesak, adalah melakukan pembersihan besar-besaran terhadap unsur-unsur yang koruptif dan kolutif dalam jajaran birokrasi. Apabila hal ini dapat direalisasi, diharapkan setiap pegawai negeri sipil yang tersisa akan menemukan kebanggaan dan kebersamaan menjadi bagian dari instansi tempatnya bekerja. Etos kerja yang membaik adalah hasilnya. Lewat filter ulang seperti itu pula citra para pegawai negeri sipil di mata publik akan terpelihara. Institusi-institusi birokrasi yang profesional dan bermoral kelak menjadi aset utama penerapan e-government sebagai sebuah tata pelayanan publik yang efisien, rapi, dan andal meminimalisasi berbagai penyimpangan.

Reza Indragiri Amriel, konsultan sumber daya manusia, tinggal di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 13 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan