Menyertakan Perempuan Berantas Korupsi

Ketika mendengar kata korupsi, jangan selalu mengartikan sebagai pencurian uang. Ada bentuk-bentuk korupsi lain, yang paling perlu diwaspadai adalah di dalam penyusunan anggaran publik.

Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Teten Masduki menyebutkan, korupsi tidak selalu berarti mencuri uang secara langsung. Korupsi juga dapat dilakukan melalui desain anggaran publik yang tidak memihak pada kepentingan publik, melainkan lebih menguntungkan para penyusun anggaran.

Teten menyebutkan, salah satu temuan ICW yang sedang mendokumentasikan praktik penyusunan anggaran di daerah adalah rendahnya anggaran kesehatan di Kotamadya Bandung dan Kotamadya Surabaya, yaitu sekitar 4 persen, sementara anggaran untuk ormas 16 persen.

Anggaran untuk ormas besar sebab penting dalam pemenangan pemilu, kata Teten.

Contoh terhangat, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Peraturan ini menambahkan dua sumber keuangan anggota DPRD, yaitu pos untuk komunikasi intensif dan dana operasional. Dampaknya, anggaran belanja pembangunan dapat menyusut drastis.

Hal mencengangkan Teten yang mengakui lembaganya jarang bersinggungan langsung dengan isu jender adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik.

Padahal, perempuan berkepentingan langsung dengan penyusunan anggaran belanja, terutama untuk bidang kesehatan dan pendidikan, yang sering disebut lekat dengan perempuan, kata Teten.

Dalam menyoroti korupsi, ICW menurut Teten menggunakan pendekatan yang dilakukan Michael Johnston, yaitu penyebab korupsi bukanlah karena kegagalan pemerintah dalam membuat peraturan, melainkan karena ada ketidakseimbangan hubungan antara masyarakat, pemerintah, dan bisnis.

Johnston dalam tulisan mengenai proyek yang sedang dikerjakannya, Assessing the Progress of Anti-Corruption Efforts: Actionable Indicators of Reform (http://people.colgate.edu/mjohnston/personal.htm) antara lain menyebut, tata kelola pemerintahan yang baik tidak dapat menghilangkan atau membuat hampir hilang korupsi. Untuk menghapus korupsi diperlukan perubahan perilaku dan menginstitusionalkan kekuatan untuk melawan korupsi dan dukungan pada akuntabilitas.

Perempuan sebagai warga negara, menurut Teten, seharusnya ikut mengontrol dan mengakses alokasi anggaran.

Kepentingan strategis
Dalam diskusi di Jakarta pada Kamis (25/1) yang diadakan ICW dengan beberapa kelompok perempuan yang bekerja mendorong partisipasi politik perempuan di desa hingga ke politik di tingkat nasional, budaya patriarkhi diidentifikasi sebagai akar persoalan yang menghambat partisipasi perempuan di ruang publik.

Ani Soetjipto dari The Asia Foundation memaparkan hasil kerja sama dengan kelompok perempuan di berbagai kabupaten, kota, dan desa, menemukan manifestasi budaya patriarkhi itu dalam berbagai bentuk, tergantung situasi lokal.

Kelompok Limpapeh di Padang dan WCC Balqis di Cirebon, misalnya, menghadapi masalah budaya dan interpretasi teks keagamaan sebagai penghambat partisipasi perempuan.

Masalah pengorganisasian perempuan dialami Federasi Serikat Perempuan Merdeka Sumatera Utara yang lebih dikenal sebagai Hapsari. Pendiri Hapsari, Leily Zailani, menuturkan, Hapsari berangkat dari pengalaman sehari-hari perempuan biasa.

Pada tahap awal, upaya yang dilakukan adalah membuat perempuan diundang hadir dan didengar pendapatnya pada rapat desa serta mengenali sistem pemerintahan desa. Misalnya, bila membuat KTP siapa yang harus ditemui, papar Leily.

Setelah itu memastikan ada pengakuan ada masalah dengan posisi perempuan di ruang publik dan domestik baru kemudian memilih di mana arena perjuangan akan dilakukan. Hapsari memilih berjuang di tingkat desa pada perempuan biasa, ibu rumah tangga, nelayan, petani, dan kelompok perempuan lain.

Bahwa perempuan tidak satu terlihat juga dari penuturan Vivi dari Perempuan Mahardhika. Pengalaman memperlihatkan, hambatan dalam partisipasi politik perempuan adalah tingkat melek huruf yang sangat rendah serta kemiskinan.

Budaya patriarkhi itu tercermin juga di dalam perilaku wakil rakyat di lembaga legislatif maupun eksekutif. Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara yang sedang digodok di DPR misalnya, dalam Pasal 14 Ayat (2) menyebut kementerian pemberdayaan perempuan sebagai kementerian yang dapat diadakan bila diperlukan. Kementerian tersebut tidak berada di dalam kelompok kementerian yang harus ada.

Berbagai pengalaman tersebut semakin menegaskan apa yang diyakini para feminis bahwa apa yang bersifat pribadi adalah politis (personal is political). Dalam mendorong dan membangun partisipasi politik perempuan kepentingan praktis dan kepentingan strategis sampai saat ini harus berjalan bersama-sama.

Pengalaman organisasi nonpemerintah Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) yang beranggotakan para janda miskin misalnya, memperlihatkan partisipasi politik di tingkat desa berhasil dibangun dengan juga menguatkan ekonomi mereka. Suara Ibu Peduli berhasil membangun legitimasi politiknya ketika mempertanyakan mahalnya harga susu menjelang pergantian rezim politik tahun 1998.

Partisipasi dan representasi
Persoalan yang juga muncul dalam diskusi adalah partisipasi dan keterwakilan perempuan.

Meskipun ada yang menolak anggapan perempuan di lembaga legislatif dan pemerintahan tidak selalu mewakili serta memahami kepentingan dan pengalaman perempuan, tetapi diskusi banyak mempertanyakan kepekaan perempuan di legislatif dan eksekutif dalam mewakili kepentingan perempuan sebagai warga negara.

Masalahnya, partisipasi perempuan ternyata tidak selalu berarti representasi kepentingan perempuan, tetapi masih representasi jenis kelamin. Apakah bila perempuan duduk di DPR atau DPD dia akan mewakili kepentingan perempuan? tanya Leily.

Dalam pelaksanaan, ternyata tidak mudah menerjemahkan representasi dan partisipasi perempuan. Penelitian Women Research Institute di sejumlah kotamadya/kota misalnya, memperlihatkan tidak berarti kehadiran 30 persen perempuan di dalam setiap pertemuan publik akan menghasilkan keputusan yang mendengarkan suara perempuan.

Pembungkaman partisipasi politik perempuan dari akar rumput sejak 1965 hingga 1998 meninggalkan bekas mendalam. Meskipun demikian, bukannya perjuangan politik perempuan tidak membawa hasil. Pengalaman Hapsari dan Pekka membuktikan perempuan dapat mengorganisasi diri dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di ruang publik. [Ninuk Mardiana Pambudy]

Sumber: Rubrik Swara-Kompas, 29 Januari 2007
-----------------
Berita terkait:
ICW Seharusnya Bisa Engendering Pemberantasan Korupsi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan