Menyelesaikan Korupsi Pajak

Senin, 21 April 2014, barangkali adalah hari ”istimewa” bagi Hadi Poernomo. Ada tiga peristiwa penting yang terjadi pada hari itu, yaitu perayaan hari ulang tahun ke-67, perpisahan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, dan penetapan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tentu saja penetapan sebagai tersangka perkara korupsi bukanlah kado ulang tahun yang diharapkan oleh siapa pun, termasuk Hadi Poernomo.

KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dugaan korupsi terkait dengan keberatan pajak yang diajukan oleh Bank Central Asia (BCA) pada 2004.

Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2002-2004. Akibat besaran pajak yang tidak jadi dibayarkan BCA, negara menderita kerugian senilai Rp 375 miliar.  

Sebelum  ditetapkan sebagai tersangka, Hadi Poernomo pada 2010 juga pernah membuat heboh karena memiliki kekayaan yang luar biasa dan tidak wajar. Berdasarkan data KPK, dari total kekayaan senilai Rp 38 miliar, sekitar 97,6 persen kekayaannya tercatat berasal dari pemberian atau hibah.

Lepas dari segala tudingan atau spekulasi yang muncul, langkah berani KPK menetapkan Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK dan Dirjen Pajak, sebagai tersangka layak diberikan apresiasi. Di tengah upaya pelemahan terhadap KPK, lembaga antikorupsi ini mampu menjerat aktor kakap dengan kerugian negara yang luar biasa.

Pada sisi lain, penetapan Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak 2002-2004 sebagai tersangka pada akhirnya menambah panjang daftar hitam dan mencoreng institusi perpajakan yang berada di bawah Kementerian Keuangan.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama 2004-2014 tercatat sedikitnya 12 petugas atau pejabat di lingkungan institusi pajak yang tersangkut dalam perkara korupsi. Sebagian di antaranya sudah dinyatakan terbukti bersalah dan dipenjara serta sejumlah hartanya disita untuk negara. Sebut saja beberapa nama yang sempat mencuat ke publik, seperti Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan Dhana Widyatmika.

Korupsi di sektor perpajakan identik dengan praktik suap-menyuap, perbuatan melawan hukum, dan penyalahgunaan wewenang. Mereka yang berperan sebagai aktor korupsi di sektor perpajakan adalah pegawai atau pejabat direktorat perpajakan, konsultan pajak, hakim dan pegawai pengadilan pajak, advokat, konsultan pajak, perantara, serta wajib pajak.
Pola korupsi

Praktik korupsi di sektor perpajakan terjadi di dua wilayah, yaitu internal dan eksternal. Korupsi yang terjadi di internal terkait dengan praktik suap, kolusi, atau nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa ataupun penempatan pegawai dan pejabat di lingkungan pajak.

Sementara korupsi eksternal terkait dengan praktik korupsi dalam pembayaran pajak kepada negara.  Dalam wilayah ini muncul banyak pola atau modus korupsi yang muncul di sektor perpajakan, tetapi setidaknya terdapat tiga pola yang biasanya sering ditemukan.

Pola pertama adalah negosiasi pembayaran pajak. Jika terjadi proses negosiasi, wajib pajak yang umumnya pengusaha atau perusahaan besar hanya perlu membayar pajak kurang dari
setengah atau lebih kecil dari yang semestinya dibayar kepada negara. Adapun oknum pegawai pajak selaku pemeriksa pajak mendapatkan imbalan yang besar dari wajib pajak yang dibantunya.

Pola kedua, petugas pajak menjadi ”konsultan pajak” bayangan atau bekerja sama dengan konsultan pajak. Dengan model ini, oknum petugas pajak akan menerima imbalan atau bahkan gaji bulanan dari wajib pajak atau konsultan pajak yang merasa
dibantu pekerjaannya. Pegawai pajak akan memanipulasi laporan keuangan perusahaan atau wajib pajak sehingga beban kewajiban pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin.

Pola ketiga adalah kolusi dengan hakim pengadilan pajak atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak agar perkara keberatan pajaknya dimenangkan. Praktik ini memperbesar peluang bagi wajib pajak untuk memenangi sengketa pajak.

Belum steril
Pejabat di lingkungan pajak sangat mungkin untuk mengabulkan keberatan pajak atau mengurangi beban wajib pajak dengan atau tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pola inilah yang diduga dilakukan oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak untuk mengabulkan keberatan pajak yang dilakukan oleh BCA.

Pada sisi lain, Pengadilan Pajak juga belum steril dari praktik korupsi. Data ICW menunjukkan, selama 2002 hingga 2009, dari 16.953 perkara keberatan pajak yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Pajak, sebanyak 13.672 berkas perkara atau sekitar 81 persen dimenangi oleh wajib pajak. Kekalahan negara di Pengadilan Pajak memberikan konsekuensi pada hilangnya potensi penerimaan pajak yang harus diterima oleh negara.

Sesungguhnya sejak mencuatnya skandal pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, Kementerian Keuangan sudah berupaya melakukan sejumlah pembenahan dan percepatan reformasi birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Gaji atau remunerasi untuk pegawai pajak bahkan sudah dinaikkan untuk mendorong perbaikan kinerja dan mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Meski demikian, setelah pembenahan dilakukan, toh masih saja ditemukan pegawai pajak yang nekat melakukan penyimpangan.

Pada akhirnya, selain berharap perkara korupsi sektor perpajakan—termasuk yang menimpa Hadi Poernomo—dapat dituntaskan oleh penegak hukum dan KPK, ada baiknya pemerintah menjadikan peristiwa ini sebagai momentum melakukan evaluasi secara menyeluruh program antikorupsi dan reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini penting agar institusi pajak tidak lagi terjebak dalam lingkaran korupsi dan sekaligus mengembalikan citranya di mata masyarakat.  

Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Kompas, Senin, 28 April 2014

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan