Menyelamatkan DPRD, Bumerang bagi DPR
Upaya Dewan Perwakilan Rakyat menyelamatkan muka ratusan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang terjerat dugaan kasus korupsi justru menjadi bumerang bagi lembaga legislatif tersebut. Di mata publik, upaya tersebut tak lain dilihat sebagai bukti inkonsistensi DPR dalam upaya pemberantasan korupsi.
Seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berperan mengawasi kinerja pemerintah dan mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun kini yang dilihat publik justru sebaliknya, DPR malah lebih sibuk melindungi rekan-rekannya di daerah yang tersangkut korupsi. Dua dari tiga (66,4 persen) responden jajak pendapat yang menyoroti masalah ini akhirnya meragukan keseriusan komitmen DPR dalam pemberantasan korupsi.
Awalnya, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000 sebagai acuan dalam menyusun keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, setelah dilakukan uji materi oleh Mahkamah Agung (MA), akhirnya pada 9 September 2002 MA menyatakan PP No 110/2000 batal dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Untuk itu, MA memerintahkan presiden untuk mencabut PP tersebut.
Sayangnya, pembatalan PP No 110/2000 itu tidak cepat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah pun tidak segera mengganti aturan keuangan DPRD sehingga sempat terjadi kekosongan peraturan hingga tahun 2004. Selama itu, kerancuan peraturan pun terjadi.
Kerancuan peraturan yang berlaku inilah yang memberi peluang banyaknya tindak korupsi yang melibatkan anggota DPRD. Akan tetapi, anggota DPRD yang diproses dalam kasus korupsi APBD menolak proses hukum yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Bagi mereka, dengan dibatalkannya PP No 110/2000 itu, tidak ada lagi alasan hukum untuk mempersoalkan pelanggaran PP tersebut.
Dalam rapat Badan Musyawarah DPR awal bulan ini, Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah bahkan meminta presiden menghentikan penanganan kasus korupsi APBD karena dasar hukumnya tidak tepat. DPR juga meminta presiden merehabilitasi dan memulihkan nama baik dan hak anggota DPRD yang dirugikan akibat penggunaan PP itu.
Terlepas dari soal tarik-menarik argumentasi hukum ini, sikap masyarakat terhadap kasus ini justru terlihat konsisten. Publik ingin agar hukum betul- betul ditegakkan tanpa pandang bulu, termasuk jika itu menyangkut para elite politik di pusat maupun di daerah. Tak pelak, bayangan kelam akan elite politik yang menari di atas penderitaan rakyat masih kuat membenam dalam persepsi publik. Maka, wajar jika penegakan hukum atas dugaan korupsi dengan sasaran para wakil rakyat ini segera mendapat antusiasme positif publik. Terhadap kasus ini, sikap publik jelas. Biarkan hukum berjalan, jangan diintervensi, apalagi sampai dihentikan.
Jika pemerintah melalui aparat penegak hukumnya ini memenuhi permintaan DPR agar penanganan kasus korupsi APBD ini dihentikan, maka hal ini bisa menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Di mata lebih dari separuh (54,8 persen) responden, upaya DPR ini dipandang hanya menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan, 46,5 persen responden juga mengatakan, upaya Panja DPR mengusulkan rehabilitasi dan pemulihan nama baik anggota DPRD ini sebagai tindakan yang berlebihan. Sejumlah kalangan pengamat pun menilai permintaan DPR ini sudah kelewat batas sebagai suatu bentuk intervensi proses hukum.
Sikap DPR mengintervensi jalannya penegakan hukum yang berani menantang supremasi hukum ini tak pelak mengundang dugaan-dugaan. Motivasi politis segera menjadi kecurigaan utama. Lebih dari separuh (53,5 persen) responden berpandangan ini semua hanya upaya DPR untuk melindungi kader- kader partai politik (parpol) mereka di daerah. Lebih dari separuh responden juga yakin di balik semua ini tersimpan strategi politik jangka panjang untuk menghadapi Pemilihan Umum 2009. Menampilkan citra DPRD sebagai korban kesewenang-wenangan aparat penegak hukum agaknya merupakan upaya untuk mengangkat citra parpol dan elite-elite politik daerah.
Di sisi yang berlawanan, warna politis pun turut melatari giatnya aparat penegak hukum membawa ratusan wakil rakyat di daerah ini ke ruang penyidikan. Dugaan ini merebak karena sikap tebang pilih yang diperlihatkan para aparat penegak hukum tersebut. Anggota DPR mengeluhkan adanya perlakuan diskriminatif terhadap anggota DPRD. Gerakan penyidikan dugaan korupsi ini mayoritas menjerat anggota DPRD, sementara pihak eksekutif lolos. Selain itu, anggota DPRD dari unsur TNI/ Polri pun amat sedikit yang dijaring.
Sikap aparat yang tebang pilih ini seakan mendapat konfirmasi publik. Mayoritas (81,1 persen) responden menilai penanganan korupsi di daerah selama ini masih pilih kasih. Kinerja aparat penegak hukum ini memang belum memuaskan.
Dalam perkara korupsi APBD ini, tidak kurang dari 71,1 persen responden mengatakan aparat keamanan tidak tegas dalam mengusut anggota DPRD. Sikap pilih kasih dan ketidaktegasan aparat ini mengundang kecurigaan publik bahwa ada upaya politis di balik upaya aparat penegak hukum ini. Separuh (51,2 persen) responden turut merasakan bahwa gencarnya upaya aparat menyidik elite politik daerah ini adalah upaya untuk melemahkan parpol.
Manuver politik berbungkus pemberantasan korupsi yang melibatkan politisi parpol di tingkat daerah ini bagai pertandingan menyerang dan menangkis yang akhirnya membuat publik sebagai penonton ambigu menentukan keberpihakan mereka. Separuh responden (42,5 persen) yang menaruh simpati setuju dengan upaya rehabilitasi politisi daerah yang tersangkut kasus korupsi APBD ini. Sementara lebih dari separuh lainnya (55,2 persen) lebih berpihak pada penegakan hukum dan menginginkan agar pemeriksaan anggota DPRD dilanjutkan tanpa rehabilitasi kepada mereka yang bersalah.
Meskipun demikian, merebaknya kasus dugaan korupsi di berbagai daerah yang mencapai melibatkan ratusan anggota DPRD ini membuat citra lembaga wakil rakyat ini buruk. Kini makin sulit menemukan responden yang masih beranggapan lembaga wakil rakyat itu adalah lembaga yang betul-betul bersih dari korupsi.
Dalam persepsi mayoritas publik jajak pendapat (91,7 persen), anggota DPR saat ini belum bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bahkan, hampir separuh responden (43,5 persen) menilai praktik KKN anggota DPRD saat ini semakin parah. Hanya satu dari empat responden (23,7 persen) yang mengatakan saat ini praktik KKN yang dilakukan anggota DPRD semakin berkurang, sementara menurut seperempat bagian yang lain (27,6 persen) tidak ada perbaikan sama sekali.
Terkuaknya demikian banyak kasus korupsi APBD yang melibatkan anggaran DPRD ini kian menegaskan citra wakil rakyat yang sibuk dengan kepentingan dan kesejahteraan mereka sendiri. Di mata publik, para wakil rakyat saat ini hanya memerhatikan kepentingan individu, kelompok, atau partainya ketimbang memikirkan kepentingan rakyat. Tak heran jika ini melunturkan kepercayaan publik terhadap para wakil rakyat. (Litbang Kompas- BE Satrio)
Sumber: Kompas, 16 Oktober 2006