Menyelamatkan Demokrasi di Tingkat Lokal

Sejak disetujui oleh DPR pada 29 September lalu, UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang baru telah mengundang polemik. Centre for Electoral Reform (Cetro), misalnya, mengkritik keras substansi aturan mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang merupakan bagian dari materi UU Pemda tersebut.

Substansi yang dikritik, antara lain, tidak diadopsinya calon independen dalam pencalonan kepala daerah dan tidak dilibatkannya KPU dalam membuat aturan pilkada. Kritik lainnya terkait dengan aturan threshold bagi partai untuk dapat mengajukan calon kepala daerah, yaitu harus memperoleh 15 persen kursi di DPRD atau 15 persen suara pemilu di daerah yang bersangkutan. Aturan terakhir ini ditengarai hanya menguntungkan dua partai besar, Golkar dan PDIP, yang memang menguasai sebagian besar kursi parlemen di tingkat lokal.

Sejak awal, rencana revisi UU Pemda telah menimbulkan tanda tanya besar. Sebagian mengkhawatirkan revisi akan mengerem laju otonomi daerah yang sudah terwadahi dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 ke dalam jebakan resentralisasi. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat pemerintah Megawati yang notabene berideologi persatuan dan kesatuan terlihat kurang begitu gembira dengan fenomena otonomi daerah. Munculnya korupsi di tingkat lokal yang marak seantero Nusantara hanyalah pintu masuk (entry point) dari maksud sesungguhnya untuk mengembalikan supremasi pusat atas daerah.

Pintu resentralisasi tersebut bertemu dengan kampanye sejumlah pihak agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung seperti halnya pemilihan presiden. Isu ini menjadi jualan yang paling seksi bagi upaya revisi UU Pemda yang lama. Yang terjadi kemudian, ketika DPR masuk dengan usulan revisi terbatas khusus mengenai pilkada, pemerintah lewat Departemen Dalam Negeri masuk dengan revisi lengkap alias penggantian undang-undang.

Ada disinformasi di masyarakat, seolah-olah yang diubah hanyalah aturan mengenai pilkada. Komponen-komponen masyarakat yang selama ini peduli dengan otonomi daerah hanya fokus pada soal pilkada langsung. Pemberitaan-pemberitaan di media juga hanya mengulas perdebatan antara fraksi-fraksi di DPR menyangkut materi pilkada langsung. Kenyataannya, yang disetujui adalah penggantian UU Pemda yang lama.

Ada aroma win-win solution antara DPR dan pihak pemerintah. Di satu sisi, fraksi-fraksi di DPR, terutama fraksi-fraksi besar, sudah sangat senang dengan aturan tentang pilkada langsung di UU Pemda yang menutup pintu calon-calon independen (nonparpol). Sementara itu, pemerintah bergembira karena UU Pemda yang baru memberikan peran lebih besar ke pusat dibandingkan undang-undang sebelumnya. Instrumen tentang pilkada langsung sendiri, umpamanya, telah membuka pintu bagi pusat untuk ikut campur dalam urusan pilkada, paling tidak melalui instrumen peraturan pemerintah.

Beberapa komponen masyarakat kini tampaknya sedang menyiapkan kajian komprehensif mengenai UU Pemda, sembari menyiapkan langkah-langkah alternatif perbaikan. Terkait dengan instrumen pilkada, beberapa KPU di daerah sempat diberitakan tengah mempersiapkan sebuah upaya judicial review. Sayang, sejauh ini KPU sendiri tampaknya hanya berpangku tangan terhadap upaya tersebut. Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin menyilakan KPU daerah melakukan hal tersebut, tetapi KPU sendiri tidak ingin ikut-ikutan (Kompas, 9/12).

Dengan berbagai keberatan dan kelemahan yang ada, dan demi menyelamatkan demokrasi di tingkat lokal, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki instrumen pilkada langsung? Pertama-tama, harus disepakati terlebih dulu jadwal penyelenggaraannya. UU Pemda yang baru menyebutkan bahwa pilkada akan mulai dilaksanakan pada Juni 2005. Bila kesepakatan tersebut dipegang berarti tersisa waktu enam bulan saja untuk memperbaiki instrumen pilkada. Waktu itu terlalu singkat untuk sebuah langkah revisi komprehensif, tetapi pasti akan cukup untuk sebuah langkah parsial.

Saya merekomendasikan tujuh langkah perbaikan instrumen pilkada, dari yang paling mudah dan mungkin dilakukan hingga yang paling berat dan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Tujuh langkah tersebut dapat dilakukan sendiri-sendiri, dapat juga secara serentak. Pertama, mengupayakan revisi terbatas terhadap pasal-pasal yang terkait dengan pilkada. Prinsipnya, pilkada tetap dilaksanakan mulai Juni 2005, tetapi beberapa pasal dalam UU Pemda yang dinilai mengandung berbagai kelemahan direvisi di DPR. Misalnya, revisi yang memungkinkan masuknya calon independen, memulihkan kembali peran KPU, dan aturan threshold yang lebih adil bagi partai-partai kecil.

Tetap dengan komitmen pilkada dilaksanakan mulai Juni 2005, langkah kedua adalah DPD, DPR, atau pemerintah mengajukan RUU pemilihan langsung kepala daerah. RUU ini sekaligus mencabut ketentuan tentang pilkada yang terdapat dalam UU Pemda yang baru.

Sembari melaksanakan langkah pertama atau kedua, sudah pula harus dipikirkan langkah ketiga, yaitu membuat sebuah undang-undang tentang pemilihan umum yang lebih komprehensif yang menyatukan pemilihan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dan pemilihan pejabat eksekutif (presiden/wakil presiden, gubernur, bupati, dan wali kota) ke dalam sebuah undang-undang.

Tiga langkah pertama ini memerlukan niat baik dari DPR, DPD, atau pemerintah. Prinsipnya, salah satu dari ketiga lembaga negara tersebut mau mengajukan inisiatif perubahan. Perubahan kepemimpinan dan personel di ketiga lembaga negara tersebut diharapkan mampu memunculkan angin segar bagi inisiatif-inisiatif perbaikan.

Langkah keempat adalah memohonkan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas sejumlah pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Salah satunya, aturan mengenai KPUD sebagai penyelenggara pilkada yang harus bertanggung jawab kepada DPRD. Aturan ini potensial berseberangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Kelemahan judicial review yang mencolok adalah kemungkinan terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) mengingat MK hanya dapat membatalkan suatu norma atau aturan, tetapi tidak dapat menambahkan norma atau aturan yang baru. UU Pemda, umpamanya, sama sekali tidak menyebut tentang KPU. Untuk mengatasi kelemahan ini, KPU bisa mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara ke MK, apakah mereka berwenang menyelenggarakan pilkada. KPU memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan sengketa tersebut karena KPU (walaupun dalam huruf kecil) dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945.

Langkah selanjutnya, atau langkah keenam, adalah mengupayakan amendemen konstitusi (lagi). Dalam konteks pilkada langsung, ada kebutuhan nyata untuk mengubah Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 agar pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu. Bila enam langkah tersebut menemui jalan buntu, langkah terakhir adalah bermain di tingkat peraturan pemerintah (PP), yaitu menjamin agar PP tersebut sedapat mungkin meminimalisasi keterlibatan pusat dan dapat mengikutkan KPU dalam pembuatan aturan teknis pilkada.

Munculnya instrumen tentang pilkada bagaimanapun harus kita syukuri. Dengan pilkada langsung diharapkan dapat diminimalisasi pengaruh praktek politik uang (money politics) dalam pemilihan kepala daerah yang selama ini kerap terjadi. Sudah bukan rahasia lagi bila dalam setiap pilkada sang calon diperas habis-habisan oleh para anggota DPRD, mulai yang hanya kelas jutaan hingga miliaran rupiah. Kini, dengan pemilihan langsung, praktek itu bisa disudahi. Kalaupun terjadi politik uang, hal itu harus dilakukan kepada para pemilih yang jumlahnya tentu tidak sedikit dan tidak menjamin sang pemilih akan memilih sang calon.

Sayangnya, instrumen pilkada tersebut masih menyisakan persoalan yang bukan tidak mungkin menciptakan jebakan yang sama. Terjadi perpindahan praktek politik uang dari anggota DPRD ke pengurus teras partai lantaran, misalnya, tidak diakomodasinya calon independen. Mereka yang ingin dicalonkan oleh partai harus menyetor sejumlah uang kepada pengurus partai agar lulus saringan partai. Karena itu, dalam era good governance saat ini, harus ada inisiatif untuk memperbaiki aturan yang berpotensi menciptakan lubang korupsi, kolusi, dan nepotisme.(Refly Harun, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 22 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan