Menuntaskan Status Hukum Soeharto
Mencuatnya kembali kasus mantan penguasa Orde Baru, Soeharto, yang lagi-lagi menimbulkan pro-kontra, sebetulnya menggambarkan betapa publik sangat berharap agar ada kepastian hukum bagi mantan pemimpinnya.
Bermula saat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh berkeinginan untuk menangani sekali lagi kasus ini. Keinginan ini tidak terlepas dari kemunculan Soeharto yang begitu sehat secara fisik saat menghadiri acara pernikahan salah seorang cucunya beberapa waktu lalu. Namun, lagi-lagi Soeharto kembali dibawa ke rumah sakit dan dioperasi karena terjadi pendarahan di bagian usus.
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang membesuk di rumah sakit, Senin (8/5), menyatakan pemerintah memahami situasi Soeharto sehingga tidak perlu dipikirkan kelanjutan proses hukumnya. Begitu pula Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqqie meminta agar Kejaksaan Agung menutup kasus mantan penguasa Orde Baru itu (Kompas, 9/5).
Seperti diketahui, Soeharto diduga telah melakukan penyelewengan (korupsi) dalam mengelola tujuh yayasan, yang dananya bersumber dari sumbangan dan uang negara, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,3 triliun. PN Jakarta Selatan sempat memeriksa berkas perkaranya, tetapi tim dokter Kejaksaan Agung pada tahun 2003 menetapkan Soeharto mengidap kerusakan otak secara permanen (sakit permanen) sehingga tidak mungkin lagi memberikan keterangan yang benar di sidang pengadilan. Hal itu dikuatkan putusan Mahkamah Agung (MA) agar peradilan dihentikan sampai Soeharto sembuh dan berkas perkara dikembalikan kepada Kejaksaan Agung.
Pengadilan sinetron
Akibatnya, Kejaksaan Agung berpegang pada putusan MA sehingga kelanjutan proses peradilan Soeharto bergantung pada tim dokter yang sampai saat ini terkesan takut dan tidak jujur. Timbul pertanyaan, apakah betul ada niat menuntaskan kasus Soeharto? Pertanyaan ini amat mendasar karena setiap keinginan publik yang menuntut agar peradilan Soeharto dilanjutkan selalu dimentahkan oleh hasil pemeriksaan tim dokter tadi.
Proses hukum bagi Soeharto ibarat sebuah sinetron yang sudah diskenario sedemikian rupa sebagai tontonan karena kasusnya terus diambangkan. Padahal masyarakat menghendaki Soeharto diproses sampai tuntas dalam peradilan yang fair.
Almarhum Bung Karno juga sempat diambangkan statusnya, tetapi tidak pernah diadili sampai akhir hayatnya. Bung Karno dipasung oleh keputusan politik MPR melalui Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaannya karena dianggap terlibat dalam peristiwa berdarah 30 September 1965.
Fenomena ini memperlihatkan betapa pemerintah ambivalen dalam menyikapi mantan presiden yang diduga telah menyalahgunakan kekuasaan. Pemerintah membelenggu mantan presiden dalam prasangka yang tidak berujung dengan mengambangkan proses hukumnya.
Jalan keluar
Paling tidak ada dua solusi yang dapat dipilih untuk menuntaskan status hukum Soeharto. Pertama, jika memang betul-betul proses peradilan pidana tidak mungkin lagi dilanjutkan karena gangguan kesehatan secara permanen, pemerintah dapat membuat keputusan politik. Misalnya, Presiden selaku Kepala Negara memberikan pengampunan tuntutan hukum (abolisi) dengan memerhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945).
Namun, cara ini sudah pasti akan menuai kecaman dan kemungkinan aksi demonstrasi jika tidak ada proses hukum lain untuk mengembalikan kerugian negara. Apalagi Soeharto selain telah disimbolkan sebagai penguasa otoriter, juga memelihara perilaku korupsi dalam pemerintahannya, membuat kehidupan rakyat terpuruk. Perlu disimak kata-kata bijak Hannah Arenth (1958) bahwa kita tidak bisa mengampuni apa yang tidak bisa dihukum.
Kedua, melakukan gebrakan seperti dimaksud Ruti G Teitel (2000) dengan teori keadilan progresif-nya, yang salah satu cirinya mengedepankan penghukuman pada kejahatan (keadilan kriminal). Kejaksaan Agung dapat menafsirkan secara progresif Pasal 34 UU Nomor 31/1999 (diubah dengan UU Nomor 20/2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut menegaskan bahwa Dalam hal terdakwa meninggal dunia saat dilakukan pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal tersebut perlu ditafsirkan dengan memperluas makna meninggal dunia dan sakit permanen. Keduanya dianalogikan (dipersamakan) karena mempunyai akibat sama, yaitu Soeharto tidak dapat diperiksa di pengadilan sehingga tidak ada kepastian hukum. Meninggal dunia dan sakit permanen, sekalipun maknanya berbeda, tetapi mempunyai akibat hukum yang sama: tidak dapat diperiksa di depan sidang pengadilan. Untuk itu, ahli waris Soeharto dapat digugat perdata dengan tuntutan mengembalikan uang negara yang diselewengkan karena secara nyata telah ada kerugian negara seperti didakwakan penuntut umum.
Dengan kondisi kesehatan Soeharto yang terus memburuk, pertimbangan kemanusiaan layak dikedepankan. Solusi kedua dapat ditempuh, tidak perlu lagi diproses secara hukum pidana, kemudian memikirkan untuk memberikan abolisi. Akan lebih baik lagi kalau secara sadar mengembalikan uang negara dari yayasan yang dikelolanya. Itulah dua solusi yang dapat dikenakan untuk memberikan kepastian hukum bagi Pak Harto.
Marwan Mas Dosen Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSKon) Universitas 45, Makassar
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Mei 2006