Menuntaskan Reformasi TNI

Jakarta, antikorupsi.org (11/09/2015) – Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor pertahanan mendatangi Kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) di Sekretariat Negara, Kamis (10/09/2015). Kedatangan tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan kecenderungan menguatnya keterlibatan Tentara Republik Indonesia (TNI) dalam ranah urusan sipil yang melanggar hukum selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Koalisi yang dipimpin oleh Al Araf dari Imparsial beranggotakan Setara Institute, HRWG, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, dan ELSAM bertemu dengan Ketua Watimpres, Sri Adiningsih dan Anggota Watimpres, Sidarto Danusubroto untuk menyampaikan perkembangan terakhir mengenai capaian reformasi TNI. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Ketua Watimpres, Sri Adiningsih dan anggota Watimpres, Sidarto Danusubroto.

Al Araf sebagai juru bicara koalisi, menyatakan terdapat 331 memorandum of understanding (MoU) antara TNI dengan kementerian, lembaga, universitas, perusahaan, dan pemerintah daerah (pemda). Semua kesepakatan tersebut telah melanggar UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Menurutnya, kerjasama tersebut jelas telah melanggar ketentuan pasal 7 ayat 2 yang mensyaratkan adanya keputusan dan kebijakan politik negara, sebelum pengerahan TNI guna menjalankan tugas operasi militer non perang. Dikhawatirkan, menjamurnya kerjasama antara TNI dengan pemerintah sipil dalam tugas sipil, dapat menjadi celah bagi TNI untuk ‘bermain’ di ranah sipil-politik.

“Karena itu koalisi meminta agar Watimpres mengingatkan presiden agar banyaknya kerjasama yang terjalin ditinjau kembali,” ujar Al Araf.


Reformasi Peradilan Militer

Salah satu anggota koalisi Adnan Topan Husodo dari ICW mengatakan, sangat pentingnya negara mengambil kebijakan untuk mempercepat reformasi peradilan militer. Pasalnya, indikasi korupsi yang terjadi di tubuh TNI tidak dapat diproses oleh lembaga peradilan umum. Hal ini disebabkan, karena ketentuan peradilan militer yang masih memegang kendali penegakan hukum atas pelanggaran anggota militer dalam ranah sipil, termasuk praktek korupsi.

Adnan mencontohkan, misalnya dalam pengadaan alutsista sering kali melibatkan anggaran negara yang besar. Pada saat yang sama, pemerintah terus mendorong upaya perbaikan sistem pertahanan Indonesia dimoderrnisasi, agar dapat diperhitungkan kekuatan militernya di kawasan Asia.

“Korupsi dalam pengadaan alutsista dapat menjadi ancaman besar terhadap upaya mencapai modernisasi sistem pertahanan Indonesia,” kata Adnan.

Adnan menegaskan, diharapkan Watimpres dapat mewujudkan reformasi peradilan militer sebagai kebijakan politik negara. Hal ini dapat diwujudkan dengan tetap memproses pidana umum yang dilakukan anggota TNI untuk tetap diproses oleh penegak hukum sipil.

“Kedepan KPK, kepolisian, dan kejaksaan dapat ikut menangani. Karena selama ini kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI tidak berjalan transparan dan akuntabel,” tegasnya. (Ayu-Abid)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan