Menuju Pemerintahan yang Bersih
Sudah menjadi seni dan bagian dari kebudayaan, begitulah Moh. Hatta dalam Indonesian Observer, 2 Juli 1970, menggambarkan korupsi di negeri ini. Meski reformasi bergulir, penegakan hukum terhadap pelaku korupsi belum maksimal karena tingginya konflik kepentingan. Salah satu lembaga yang banyak mendapat sorotan adalah Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana laporan Koran Tempo, 27 Agustus 2007, berjudul Menyingkap Tradisi Suap di Parlemen.
Dalam konteks DPR, ada Badan Kehormatan (BK), yang antara lain bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena melanggar sumpah/janji dan kode etik, termasuk di antaranya terhadap tindakan yang mengarah pada korupsi. Sebagai sebuah badan di Dewan, keputusan BK tentu dipengaruhi pemimpin DPR. Secara intern, anggota BK dituntut profesional, tidak terpengaruh oleh komposisi BK yang ditentukan secara proporsional. Dan secara personal, anggota BK adalah anggota fraksi, yang tentu juga harus loyal.
Kondisi ini menunjukkan bahwa prasyarat utama berjalannya fungsi BK adalah pemimpin Dewan dan fraksi harus memiliki komitmen pada penegakan kode etik/pemberantasan korupsi. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan ruang yang relatif independen bagi BK serta menghormati dan menindaklanjuti hasil kerjanya, jika perlu hal ini diatur lebih tegas. Selain itu, untuk menjamin integritas dan kapasitas anggota BK, perlu ada aturan dan mekanisme seleksi yang jelas di tingkat fraksi/DPR. Inisiatif melakukan keterbukaan hasil-hasil kerja mutlak diperlukan karena ada beberapa kasus yang masyarakat tidak mengetahui kebenaran informasi dan penyelesaiannya. Misalnya isu perjudian oknum anggota DPR di London sebagaimana dilansir media.
Yang tidak boleh dilupakan bahwa persoalan anggaran di DPR bukan hanya menyangkut masalah korupsi, melainkan juga praktek pemborosan. Karena itu, sebuah gagasan menarik untuk memfungsikan BK sebagai internal audit system. Persoalan studi banding, misalnya, tentu menggunakan anggaran yang tidak sedikit. Padahal, untuk mengetahui undang-undang atau realitas sebuah negara, apakah harus dengan berkunjung langsung. Hal ini perlu diatur dan diawasi bersama dalam sebuah mekanisme yang jelas. Pada periode ini, DPR ditargetkan menyelesaikan 284 undang-undang. Di Australia, dengan ketersediaan staf ahli yang memadai, dalam satu tahun saja, parlemen dapat menyelesaikan sekitar 300 undang-undang. Bisa dibayangkan jika semua harus diselesaikan dengan studi banding.
Berbagai gagasan di atas memerlukan political will DPR, meskipun kita menyadari bahwa merelakan diri untuk dikontrol dan dibatasi memang hal sulit. Di Amerika Serikat, impian James Madison (1809-1817) agar anggota Kongres tidak menaikkan gajinya sendiri baru bisa direalisasi pada 1992. Untuk menjadi DPR yang akuntabel, kita berharap tidak selama itu.
Fraksi
Di banyak negara, internal anticorruption bodies fraksi/partai ditegakkan, bahkan mereka yang mempertahankan kebijakan tidak populis saja cukup menjadi alasan untuk ditarik. Ingat kasus Tom Foley, Ketua DPR Amerika dari Partai Demokrat, yang dicopot karena mempertahankan fasilitas istimewa bagi Kongres. Meski Tata Tertib DPR mengamanatkan fraksi untuk mengkoordinasikan kegiatan anggotanya, beberapa kasus menunjukkan peran ini belum maksimal. Sebutlah kasus laptop atau rencana renovasi gedung DPR. Beberapa fraksi mengkritik rencana ini padahal keputusan tersebut atas persetujuan anggota fraksinya di BURT. Kasus-kasus ini semestinya menjadi momen bagi fraksi-fraksi untuk menata perannya, mendorong evaluasi ulang wewenang dan mekanisme pengambilan keputusan badan-badan di DPR.
Kini, sejauh mana komitmen fraksi/partai karena perilaku korup, baik di parlemen maupun eksekutif, ternyata bagian dari--meminjam istilah Theodore M. Smith (1971)--investasi tidak resmi infrastruktur politik, sebagai konsekuensi dari proses politik yang padat modal. Untuk itu, perlu solusi yang berimbang. Di Jerman, partai boleh mengembangkan usaha dengan aturan ketat, seperti Partai Sosial Demokrat yang membeli salah satu perusahaan surat kabar di negara tersebut. Aturan inilah yang kita perlukan karena melarang bukan solusi terbaik. Kenyataannya, sejumlah badan usaha milik negara ditengarai menjadi perahan partai tertentu (Tempo, edisi 2-8 Juli 2007). Singkat kata, menekan korupsi parlemen memerlukan pembenahan banyak hal terkait.
Perspektif fikih
Pemberantasan korupsi juga tak bisa mengabaikan faktor moralitas dan tata nilai masyarakat. Dengan penduduk mayoritas muslim, harus ada introspeksi mengapa justru mentalitas korup begitu merajalela. Padahal Islam sangat menjaga manusia agar tidak terjerumus pada perilaku ini. Apalagi dengan puasa, kita dituntut hidup dengan kualitas kejujuran yang tinggi. Dalam perspektif fikih, setidaknya ada lima perilaku yang mengarah pada korupsi. Pertama, risywah, yaitu suap-menyuap seperti money politics dan uang pelicin. Larangan perbuatan ini ditegaskan dalam hadis riwayat Thabrani bahwa Rasul melaknat penyuap, penerima suap, dan perantara keduanya.
Selanjutnya, muksu, yakni pemerasan, yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, baik posisi, status, maupun secara fisik. Pelaku pemerasan sangat dimurkai Allah, dalam sebuah hadis, Rasulullah mengatakan mereka tidak akan masuk surga. Misalnya, meminta sesuatu agar seseorang bisa menduduki jabatan tertentu atau naik pangkat, akan memperlambat pembahasan sebuah aturan atau undang-undang jika pihak yang berkepentingan tidak memberikan sesuatu kepada mereka.
Kemudian, ghulul, yaitu menggelapkan atau mencuri harta yang berada di bawah tanggung jawabnya, termasuk terhadap barang-barang inventaris negara dan barang-barang bukti. Dalam Ali Imron: 161 dan Al-An'am: 31, Allah menegaskan larangan perbuatan ini dan menggambarkan beratnya beban dosa pelakunya. Demikian juga dalam hadis riwayat Ahmad disebutkan balasan pelakunya adalah neraka, baik di dunia maupun akhirat.
Keempat, hadayah, yaitu menerima hadiah, sedangkan posisinya saat itu sebagai penguasa, pemimpin, atau orang yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan rakyat. Perilaku tersebut sangat dilarang sebagaimana sabda Rasulullah, Hadiah yang diterima penguasa adalah haram, (HR Ahmad dan Al-Baihaqi). Ini menggambarkan betapa ajaran Islam sangat memelihara posisi pemimpin agar tetap dalam jalur pengabdian.
Terakhir, khain, yaitu mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Dalam ushul fikh dinyatakan, tasharruful imam ala ra'iyyat manutun bil mashlahah, kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan. Karena itu, sikap, keputusan, atau kebijakan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak didasarkan atas kemaslahatan rakyat, yang masuk kategori khain, ini bisa terjadi dalam merancang anggaran pendapatan dan belanja negara, menentukan kebijakan, atau menetapkan sebuah undang-undang yang tidak melindungi rakyat.
Dalam sistem hukum kita, sebagian perilaku korup di atas telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Namun, beberapa tindakan yang termasuk khain memang lepas dari sanksi. Sebagai manusia beragama, tidak semestinya ini dimaknai sebagai peluang untuk melakukan penyimpangan.
Mufid A. Busyairi, ANGGOTA TIM PENINGKATAN KINERJA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI DARI FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 5 Oktober 2007