Menuju Ketertutupan Hukum

Permohonan uji materi UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikabulkan MK. Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 tentang apa yang dimaksud sebagai perbuatan melawan hukum dibatalkan.

Alasannya, penyidik tidak bisa mendasarkan diri pada rasa keadilan masyarakat dalam menetapkan tersangka. Satu-satunya dasar yang bisa dipakai adalah hukum formal. Saya membaca ini lebih dari sekadar aktivisme legal yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Ini harus dibaca sebagai menancapnya kuku konservatisme di tubuh yuridis republik ini.

Reaksi keras pun berdatangan dari para penjagal koruptor. Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mensinyalir adanya perlawanan balik dari koruptor terhadap KPK (Kompas, 27/7/2006). Argumen ini terlalu konspiratif dan akan memancing debat yang tak kalah konspiratifnya. Argumen yang lebih rasional datang dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Ia mengatakan, dalam UUD 1945 hukum dasar yang tak tertulis pun diakui. Ditambahkan, sejak tahun 1977 putusan-putusan MA yang menjadi yurisprudensi tetap menganut ajaran hukum material (Kompas, 27/7/2006).

Masalahnya, apakah argumen Jaksa Agung cukup kuat untuk memukul mundur kelompok konservatif hukum? Saya kira tidak. Argumen yang dilontarkan Jaksa Agung masih bekerja di tataran empiris. Ia masuk perdebatan tentang ada tidak putusan masa lalu yang mengikat secara hukum berbasiskan hukum material. Hukum direduksi menjadi apa yang telah diputuskan otoritas di masa lalu. Bukan bagaimana otoritas hukum saat ini memiliki keleluasaan tafsir atas perbuatan melawan hukum dalam konteks korupsi.

Konservatisme hukum
Konservatisme hukum cukup dominan di AS dan Eropa. Pendapat umum yang beredar di sana berkeras, hakim sekadar menemukan, bukan menciptakan hukum. Hakim hanya bekerja mencari dasar hukum pada catatan putusan masa lalu. Ia tidak boleh sewenang-wenang menciptakan hukum saat dihadapkan kasus tertentu. Asumsinya, selalu ada hukum yang bisa diacu oleh setiap kasus. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Apakah mungkin, putusan masa lalu begitu visioner atas kasus-kasus yang terjadi sekarang?

Sayang, Jaksa Agung terjebak perdebatan empiris yang justru diinginkan kelompok konservatif. Ia masih berkutat soal ada-tidaknya putusan masa lalu yang menganut asas hukum material.

Apa yang harus digugat adalah konservatisme dalam jantung peradilan. Konservatisme yang menolak sifat futuris hukum dengan melandaskan tiap putusan pada masa lalu. Oleh konservatisme hukum, perdebatan hukum disegel pada ada-tidaknya acuan pada putusan terdahulu. Perdebatan hukum tidak bisa menyentuh apa yang seharusnya, tetapi apa yang telah terjadi.

Persoalannya, hukum bukan soal kesetiaan pada proposisi hukum. Bagi kelompok progresif, hakim yang baik bukan semata membebek proposisi hukum yang terbakukan oleh putusan terdahulu. Mengapa?

Ketika keadilan dan hukum tertulis bertabrakan, hakim tidak mesti setia pada hukum tertulis. Hakim yang baik justru yang sekali-sekali mengabaikan hukum tertulis demi rasa keadilan masyarakat. Hakim semacam ini memenangkan keadilan atas hukum. Ini yang ditolak kelompok konservatif. Kelompok konservatif menolak keleluasaan semacam itu atas nama kesetiaan. Bagi mereka, keadilan dan hukum adalah satu. Mengikuti hukum tertulis berarti memutuskan perkara secara adil, habis perkara.

Hukum tertulis adalah hukum yang tidak membuka diri pada keadilan. Padahal, keadilan adalah sesuatu yang melampaui kekinian. Filsuf Jacques Derrida merefleksikan ini dengan baik. Baginya, keadilan adalah pengalaman yang tak dapat dialami. Otoritas peradilan internasional tidak membayangkan akan terjadinya genosida besar-besaran di abad ke-21 ini. Wajah hukum internasional berubah demi keadilan. Keadilan bersifat futuristik. Apa yang kini kita anggap adil belum tentu adil pada tarikan napas berikutnya. Stagnasi pada hukum tertulis berdasarkan putusan masa lalu hanya akan mematikan denyut nadi keadilan.

Keleluasaan otoritas
Kembali ke kasus korupsi. Keleluasaan otoritas peradilan dalam mengambil keputusan dijamin penjelasan Pasal 2 Ayat 1 UU No 31/1999. Penyidik leluasa menetapkan tersangka dan hakim leluasa mengambil keputusan saat hukum tertulis membisu.

Misalnya, keputusan pimpinan departemen untuk mengutip Rp 10.000 dari gaji tiap pegawai untuk balap mobil internasional. Apakah itu bisa dinyatakan korupsi saat hukum tertulis menyatakan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang guna memperkaya diri sendiri. Bagaimana ketika pimpinan itu membela diri bahwa tidak satu peser pun uang itu jatuh ke kantongnya. Dan itu bisa dibuktikan dengan pembukuan yang rapi dan akuntabel. Apakah atas nama hukum tertulis pimpinan bisa dibebaskan? Pun saat rasa keadilan pegawai departemen itu terkoyak.

Dikabulkannya uji materi UU No 31/1999 bukan semata-mata berpotensi menutup kasus Dawud Jatmiko, tersangka koruptor di Jasa Marga. Lebih dahsyat lagi, itu berpotensi menutup hukum itu sendiri dari dimensi masa depan dan rasa keadilan. Hukum republik ini menuju ketertutupan. Ketertutupan hukum adalah momen membahagiakan bagi koruptor dan pengacaranya.

Di lain pihak, itu adalah momen menyedihkan bagi kelompok progresif pada institusi-institusi peradilan republik ini. Kelompok progresif harus peka atas kemungkinan, yang kini kian niscaya, itu. Tanpa terjebak perdebatan konservatif, kelompok itu mesti bekerja keras melenturkan kembali hukum. Sebab, proklamasi kemenangan kelompok konservatif tinggal menunggu waktu. Itu berarti lonceng kematian bagi keadilan dan kesetaraan.

Donny Gahral Adian, Pengajar Filsafat Universitas Indonesia, Penggagas Lingkar Muda Indonesia

Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan