Menuju Innovative Bureaucracy Pemerintahan

Sejak puluhan tahun Indonesia berdiri, sudah puluhan perundangan pemerintahan disahkan, berbagai workshop-simposium dilakukan, dan bermiliar uang dibelanjakan tiap tahun untuk pembinaan aparatur. Namun, pembenahan birokrasi belum menemukan titik cerah.

Dalam ilmu pemerintahan, dikenal pemikiran bahwa tidak ada pemerintahan yang baik tanpa birokrasi yang baik. Bahkan, tidak ada reformasi yang berarti dalam sebuah negara tanpa reformasi birokrasi. Karena itu, sebuah negara bisa memperbaiki diri melalui birokrasinya.

Negara kita memang galau. Namun, kegalauan itu tidak saja dilontarkan oleh warga negara yang sedang berkembang, tapi juga terjadi di negara-negara maju. Salah satu penyebabnya adalah birokrat. Terutama di tingkat street level bureaucracy, birokrasi di level bawah. Yaitu, bagian administrasi kelurahan, staf administrasi kecamatan, dan pegawai kecilan. Mereka menganggap dirinya penguasa.

Secara teoretis dapat dipastikan bahwa konsep dan pemaknaan birokrasi tidaklah tunggal. Dalam bidang publik, konsep birokrasi dimaknai sebagai mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti, serta mudah dikendalikan. Dalam dunia bisnis, konsep itu juga diartikan sebagai mekanisme yang teratur, taat asas untuk mendapat efisiensi dengan pencapaian output dan keuntungan yang optimum.

Kedua pengertian birokrasi publik dan perusahaan secara bergantian atau bersama-sama dapat digunakan. Banyak perusahaan sukses karena lima elemen pokok birokrasinya, yaitu personel, visi-misi, kepemimpinan, struktur, dan kultur birokrasi perusahaannya, dibangun secara sehat. Hampir tidak ada perusahaan multinasional yang sukses tanpa birokrasi perusahaan yang baik pula.

Inovasi dengan E-Government
Dalam masyarakat dan ekonomi yang semakin digerakkan oleh inovasi teknologi, birokrasi di negara sedang berkembang dihadapkan pada lingkungan luar. Yaitu, efisiensi, produktivitas, akses rakyat terhadap informasi, serta kepastian dan rasa nyaman (convenience).

Ada adagium, ''Tidak akan ada perbaikan mutu pelayanan publik tanpa inovasi. Tidak ada inovasi tanpa aplikasi IT dalam birokrasi. Dengan kata lain, tidak ada pelayanan yang baik tanpa e-government''. Masalah lain dalam penggunaan IT, khususnya di negara sedang berkembang seperti Indonesia, adalah terbatasnya keterampilan dan kultur birokrasi sipil.

Dari sisi akademis, walaupun juga banyak kritik bahwa tend aplikasi e-government dalam pemerintahanan serta hasil-hasil yang telah dicapai oleh beberapa negara maju mengesankan bahwa negara yang ingin memperbaiki pelayanan publiknya, sedikit atau banyak, harus berani berinovasi dalam manajemen pelayanan serta peningkatan mutu pelayanan publiknya.

Pegawai negeri sipil haruslah sanggup dan bersedia mendukung e-government atau setidaknya harus bersedia belajar dan berubah. Kultur dalam tubuh birokrasi sipil menentukan penilaian terhadap kemungkinan kehilangan yang akan dihasilkan oleh penerapan e-government terhadap individu pegawai negeri sipil dan kekuatan anti perubahan.

Otda Driving Factor Innovation
Dalam proses transisi menuju demokrasi, selalu terdapat tuntutan dan bahkan kebutuhan akan hak-hak ''masyarakat yang diperintah''. Studi yang telah dilakukan penulis menghasilkan kesimpulan bahwa tidak lama setelah otonomi daerah (otda), muncul kecenderungan komunikasi dua arah daripada satu arah (top-down). Perubahan dan inovasi itu hampir terjadi di semua lever pemerintahan.

Selanjutnya dapat dikatakan, dengan otonomi daerah, speed pengaturan, reorganisasi, reorientasi, serta perbaikan dan inovasi sangat cepat dilakukan. Berbeda dari zaman sentralisme, gerak daerah terbatas.

Mike Davis dalam tulisannya, the Public Manager, menekankan, untuk memulai birokrasi yang inovatif, disyaratkan perubahan yang konstan atau constant renewel dan fleksibilitas atau flexibilty. Dalam inovasi birokrasi, diperlukan inovator dalam organisasi. Pimpinan birokrasi harus bisa menjadikan ide inovasi secara sistemik, menjelaskan secara runtut tujuan, langkah, dan bagaimana proses adopsi ide tersebut akan dilaksanakan.

Selanjutnya Davis menyatakan, manajer birokrasi harus bisa melihat kesempatan, harus bisa menangkap dan menjelaskan kepada anggota organisasi untuk melakukan sesuatu yang baru. Dan sesuatu yang baru itu akan bermanfaat bagi kemajuan organisasi.

Ada persyaratan yang harus dimiliki seorang pejabat agar bisa melakukan inovasi. Pertama, ingredients, kemampuan kepemimpinan. Yaitu, rasa ingin tahu yang tinggi atau curiosity, kejujuran penggagas atau honesty, dan rasa ikut memiliki, andarbeni, atau ownership. Tanpa ketiga jiwa penting itu, tentu inovasi tidak akan bisa dilakukan dengan baik.

Saya tidak berpretensi untuk membahas semua masalah dan menyelesaikan ba­nyak masalah. Namun, saya ingin mengemukakan bahwa suatu saat yang dibutuhkan, kita harus netral terhadap birokrasi, kalau perlu memberi kepercayaan kepada ia untuk memperbaiki diri.

Birokrasi suatu hari harus diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan berinovasi. Perlu dicatat, salah satu kekuatan mengapa Inggris bisa menguasai sperempat wilayah dunia sejak awal abad ke-19, antara lain, adalah saat itu birokrasi di Inggris sangat kuat dan berjalan baik.

Mungkin juga birokrasi kita dan pemimpinnya mengadopsi konsep al Muhafadlatu alaa qodimus shoolih, wa ahdu bijadiidil ashlah (meneruskan hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Dalam kaitan ini, kegiatan-kegiatan rutin harus sudah menjadi barang yang lumrah, sedangkan menggali kegiatan yang inovatif seharusnya diupa­yakan secara terus-menerus.

Oleh : Mas'ud Said PhD, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Tulisan ini merupakan ringkasan pidato ilmiah guru besar ilmu peme­rintahan di UMM, Malang, 6 Juni 2009

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 8 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan