Menuju Era Bebas Korupsi
Melalui Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Presiden SBY bertekad dan optimistis persepsi dunia terhadap Indonesia sebagai salah satu negara paling korup dapat diperbaiki.
Dari laporan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat diketahui posisi Indonesia dalam prestasi sebagai negara terkorup memperoleh indeks persepsi 2,0 dari skala 10.
Upaya pemerintah untuk memberantas korupsi telah ada sejak tahun 1958. Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juga silih berganti diundangkan dan diperbaarui, tapi tampaknya masih saja jauh panggang dari api. Hal ini terjadi lebih disebabkan keberadaan undang-undang yang ada hanya dijadikan sekadar formalitas. Di sisi lain para pemimpin tidak dapat secara nyata menjadi teladan untuk bersikap bersih dan menjauhi hal-hal yang bersifat korup.
Melakukan pemberantasan terhadap suatu kejahatan tidak berbeda jauh dengan melakukan pemberantasan terhadap penyakit. Contoh, langkah memberantas sarang nyamuk demam berdarah. Pertama-tama harus dilakukan adalah menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, kemudian menutup semua tempat yang memungkinkan nyamuk berkembang biak.Terakhir barulah memasang obat nyamuk pada saat diperlukan.
Sebagaimana pengibaratan di atas. pertama memang harus terlebih dahulu tersedia sarana untuk membersihkan lingkungan. Kita telah memiliki cukup payung hukumnya, termasuk di dalamnya terdapat lembaga yang cukup elite yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang belakangan ini mulai unjuk gigi.
Sebagaimana diketahui KPTPK telah hampir merampungkan pemeriksaan di tingkat penyidikan penuntutan terhadap dugaan korupsi Gubernur NAD. Masyarakat tinggal mengunggu langkah akhir yang paling penting yaitu kinerja Para hakim ad hoc.TPK. Setelah memiliki sarana yang cukup langkah selanjutnya adalah menilai bagaimana para penegak hukum melaksanakan tugas-tugas penegakan hukumnya.
Memang benar banyak teori menunjuk, pemidanaan/penjatuhan pidana yang setimpal merupakan salah satu terapi kejut yang cukup ampuh untuk menanggulangi kejahatan. Namun demikian masyarakat di negeri ini pada umumnya sudah cukup hafal dengan rangkaian cerita kasus-kasus korupsi besar yang telah digelar yaitu, mantan pejabat - diperiksa penyidk - kemudian sakit - masuk rumah sakit - dikasihani oleh para penegak hukum sehingga mendapat dispensasi. Bila akhirnya sampai disidangkan maka putusannya sungguh sering amat mengecewakan.
Hal-hal demikian sungguh menyisakan rasa ketidakadilan yang mencederai masyarakat, sehingga untuk saat ini memang belum dapat diharapkan terlalu banyak adanya penerapan terapi kejut yang benar-benar dapat mengejutkan si pelaku atau bagi orang-orang yang potensial untuk melakukan. Yang terjadi justru masyarakatlah yang terkejut.
Menelusuri sebuah proses penyidikan hingga mencapai sebuah putusan final dalam perjalanan peradilan di negeri kita , bisa dikatakan amat berliku. Jaksa Agung menyatakan, menafsirkan 100 hari pertama kinerja kabinet tidak boleh diartikan semua kasus dapat begitu saja selesai dalam waktu sesingkat itu. Hendaknya program 100 hari dipandang sebagai simbol semangat untuk bekerja menyelesaikan kasus-kasus besar. Ditafsirkan, Jaksa Agung kemungkinan besar mulai dapat melihat, kelambanan penyelesaian kasus-kasus besar selama ini bisa jadi lebih besar disebabkan oleh ketidakberesan orang-orang dalam institusinya.
Soerjono Soekanto mengemukakan, salah satu faktor sentral yang mempengaruhi penegakkan hukum adalah faktor penegak hukum sendiri. Hal ini disebabkan undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat (Soerjono Soekanto, 1983 : 58).
Selama ini yang lebih sering disorot memang pihak kejaksaan baik itu Kejaksaan Negeri hingga Kejaksaan Agung. Seharusnya kita semua juga memberikan perhatian yang sama besar pada penegak hukum yang lain yaitu kepolisian, lembaga penasihat hukum (advokat). Yang tak kalah penting adalah hakim di pengadilan negeri hingga para hakim agung. Keempat unsur tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Justru yang tersulit untuk diprediksikan adalah pada lembaga peradilan. Pada umumnya hakim akan dengan mudah mengemukakan argumen dan bersembunyi pada prinsip kebebasan hakim dalam memutus perkara. Inilah yang harus mendapatkan perhatian serius, sebab prinsip tersebut sifatnya sangat abstrak.
Penulis berpendapat hendaknya pimpinan Mahkamah Agung bisa segera merealisasikan dengan cepat adanya kewajiban hakim membuat laporan pertanggunganjawaban atas putusan yang diambilnya di hadapan publik/masyarakat secara terbuka terhadap putusan perkara yang menarik perhatian masyarakat dari tingkat pengadilan negeri sampai tingkat kasasi, agar masyarakat bisa mengakses dan menilai secara langsung pendapat para hakim. Hal ini paling tidak akan meminimalisasi kecurangan yang terjadi.
Di samping itu tentunya baik pimpinan Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Kapolri mau bertindak jujur, adil dan terbuka untuk menerima laporan dari masyarakat apabila terjadi penyelewengan yang dilakukan bawahannya dan segera menindaklanjuti.
Selama ini memang yang sudah sering terekspos secara nyata adalah upaya para pimpinan Polri menindak bawahannya. Mungkin untuk pihak kejaksaan maupun pengadilan juga sudah ada tetapi memang jauh dari sorotan media. Rasanya untuk saat seperti sekarang akan lebih baik bila hal-hal yang demikian tidak perlu ditutup-tutupi, sehingga masyarakat pun bisa melihat memang lembaga tersebut serius menindak oknum yang tidak bertanggungjawab.
Jadi memang payung hukum yang hebat saja tidak cukup untuk melaksanakan penegakan hukum yang sukses, justru lebih baik hukumnya biasa-biasa saja tetapi dilaksanakan oleh para penegak hukum yang luar biasa bagus dan jujurnya, maka hasil yang diperoleh merupakan sebuah keadaan yang lebih baik.
Komitmen Bersama
Sungguh sebuah kebahagiaan apabila presiden mencangkan GNPK, serta secara jujur presiden mengakui bahwa korupsi sudah sedemikian merambah ke berbagai sektor kehidupan. Pencanangan program itu akan benar-benar bisa dilaksanakan apabila secara nyata masyarakat bisa mendukungnya. Sebagaimana dikatakan Amien Rais, hendaknya tidak hanya berhenti sebagai retorika semata, sebab memang selama ini yang terjadi hanya sebegitu saja.
Ada beberapa ahli hukum yang setuju adanya teori yang menyebutkan bahwa kejahatan kadangkala timbul disebabkan justru oleh perilaku si korban sendiri . Teori ini bisa jadi tepat diterapkan untuk kejahatan seperti korupsi. Contoh yang paling ringan adalah kebiasaan untuk memberi uang terimakasih pada petugas pelayanan publik, karena telah membantu kita misalnya mengurus pembuatan KTP. Padahal itu sudah menjadi kewajiban si petugas untuk melayani masyarakat sebaik-baiknya. Hal semacam ini yang telah terjadi bertahun-tahun sehingga menjadikan si petugas akhirnya lupa bahwa sebenarnya ia telah digaji oleh negara. Memang sebagai abdi negara yang bertugas melayani kepentingan masyarakat .
Perilaku tidak mau untuk menjadi korban bisa kita mulai dari sekarang. Paling tidak kita bisa mencoba bagaimana kesungguhan para pimpinan daerah apabila menghadapi laporan dari masyarakat akan adanya upaya pemerasan yang dilakukan oleh bawahannya, sebab para pimpinan daerah secara hierarkis telah diperintahkan untuk secara aktif ikut memantau bawahannya dari tindakan yang koruptif.
Syed Hussein Alatas dalam Sosiologi Korupsi menyitir pendapat para pengarang Huai-nan-tzu, yang menyatakan, kekuatan untuk berhasil atau gagal terletak pada orang yang memerintah. Dikisahkan, raja Ling menggemari pinggang yang ramping maka semua wanita melakukan diet serta membiarkan diri mereka sengsara.
Raja Yueh menganggumi keberanian maka semua pria saling berlomba menantang kematian dalam kepahlawanan yang berbahaya. Dari sini kita bisa melihat bahwa mereka yang mempergunakan kewenangan bisa mengubah kebiasaan dan bisa merombak gaya hidup rakyatnya (S.H. Alatas, 1986 : 178).
Disamping memberikan teladan untuk bersikap jujur dan adil para pimpinan di daerah juga harus tegas pada saat mendapati bawahannya melakukan tindakan yang koruptif , tidak ragu dalam memberikan sanksi mulai dari yang ringan hingga berat sesuai dengan derajat pelanggarannya. Perilaku tegas ini hanya bisa dijalankan oleh pimpinan yang memang terbukti jujur.
Apabila yang kecil-kecil bisa tertangani dengan sungguh-sungguh adalah bukan mustahil suatu saat minimal wilayah yang dekat dengan keseharian kita pelan-pelan terbebas dari penyakit korupsi. Memang berat sekali untuk melaksanakannya. Tetapi benar kata sebuah slogan kalau tidak sekarang kapan lagi ?. (Hibnu Nugroho S.H.,M.H, Dosen Fakultas Hukum Unsoed)
Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, 11 Januari 2005