Menteri Mundur? No Way

Dana liar Bank Indonesia (BI) mengalir sampai jauh, menggoyang kedudukan menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Menteri Kehutanan M.S. Kaban dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta disebut termasuk jamaah yang menerima aliran dana itu. Presiden SBY telah memanggil kedua menteri tersebut. Keputusannya, kursi keduanya tetap aman sampai pengusutan mendudukkan mereka sebagai terdakwa (Jawa Pos 5/8).

Keputusan itu bukannya tanpa tanggapan, terutama dari sisi praktisnya. Usia kabinet SBY tinggal menghitung bulan. Proses hukum atas kasus itu, kalaupun dilanjutkan, makan waktu cukup lama. Artinya, secara politis menjadi taruhan kredibilitas SBY untuk kelanjutan karir politisnya. Mungkinkah ada pressure lain yang mengharuskan keduanya mundur ''sukarela''?

Masa Lalu

Menjelang akhir kekuasaan Presiden Soeharto, silih berganti seorang menteri mengundurkan diri. Bukan karena dituntut mundur karena kasus tertentu, tapi geser posisi. Hanya ada beberapa menteri yang dituntut mundur karena prahara profesionalisme yang berhubungan dengan kebijakan yang diambil atau musibah yang tak terhindarkan.

Misalnya, Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana dituntut mundur akibat kemelut tambang emas Busang yang ternyata busung. Dia dituntut mundur karena dinilai alpa melakukan kontrol terhadap kebohongan investor yang berdampak turunnya kepercayaan terhadap iklim investasi di tanah air.

Berikutnya adalah Menteri Keuangan Billy Joedono berkenaan dengan pengelolaan keuangan pada awal krisis moneter. Tuntutan yang digelindingkan lebih mengarah pada perampingan kabinet yang terlalu gemuk.

Juga, tuntutan mundur tehadap Menteri Perhubungan Hardjanto Danutirto akibat centang perentangnya pengelolaan transportasi. Satu kasus berkaitan dengan moral, yaitu pelecehan seksual oleh Menparpostel Jop Ave di Selandia Baru. Menteri itu kemudian segera ngacir sebelum acara usai untuk menghindarkan diri dari tuntutan hukum di negara setempat yang bisa panjang urusannya.

Saat kabinet Presiden Abdurrahman Wahid masih berusia 15 bulan, dua menteri, yaitu Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz -yang kemudian menjadi Wapres- juga mengundurkan diri karena ketidaksesuaian program yang harus dijalankan dengan konsep yang harus diusung dari partainya. Saat itu juga, Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid mengajukan pengunduran diri karena tanggung jawab profesionalisme tentang ide otonomi tak diakomodasi.

Baik dalam kasus menteri masa presiden Soeharto maupun Abdurrahman Wahid, benturan mundurnya menteri dari jabatan akibat suatu kasus adalah pada hak prerogatif presiden tehadap kedudukan seorang menteri. UUD 1945 yang belum diamandemen secara tegas mematok bahwa menteri negara adalah pembantu presiden yang kedudukannya bergantung sepenuhnya kepada presiden. Menteri adalah kepala departemen yang bertanggung jawab kepada presiden selaku kepala eksekutif.

Sejalan dengan UUD 1945, Tap MPR No III/MPR/1978 tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar-Lembaga Tinggi Negara menyatakan bahwa yang bertanggung jawab kepada MPR atas pelaksanaan haluan negara yang ditetapkan UUD atau MPR adalah presiden.

Dengan pertanggungjawaban penuh pada presiden, apa pun yang dilakukan seorang menteri secara normatif dan praktis tak bisa dimintakan pertanggungjawaban pada menteri yang bersangkutan. Sejelek apa pun kinerjanya, dia akan selamat, asalkan masih disayang presiden.

Jika seorang menteri tidak mumpuni melaksanakan tugasnya, itu tetap menjadi tanggung jawab presiden pada akhir masa jabatannya bersamaan dengan pelaksanaan pemerintahan lainnya selama lima tahun sesuai mandataris yang diberikan MPR. Di sepanjang perjalanan kabinet pada waktu itu, tidak ada pertanggungjawaban yang diminta MPR di tengah jalan. Ihwal bagaimana presiden mengambil tindakan terhadap menteri sebagai pembantunya, itu merupakan persoalan internal kabinet yang tidak perlu mencuat ke luar.

Pintu masuk yang menjadi mekanisme kontrol tehadap menteri pada waktu itu bisa dilakukan, misalnya, lewat hak interpelasi yang berisi minta keterangan kepada pemerintah tentang kebijakannya dalam satu bidang tertentu. Eksekutif harus memberikan jawaban mengenai hal tersebut. Dari jawaban itu, nanti diproses lebih lanjut oleh DPR.

Dan jika ternyata kebijakan tersebut tidak bisa diterima, itu merupakan catatan awal yang secara normatif menjadi pintu masuk bagi DPR untuk mengajukan memorandum kepada presiden selaku penanggung jawab kebijakan tersebut.

Manakala jawaban atas memorandum itu tak memuaskan, DPR mengajukan memorandum kedua. Demikian pula untuk memorandum kedua, jika tidak bisa diterima, DPR bisa mengundang MPR untuk melaksanakan sidang istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden (vide pasal 7 Tap No III/MPR/1978).

Namun, sampai lengsernya Soeharto, mekanisme tersebut tidak pernah terjadi. Presiden Soekarno justru mengalami mekanisme seperti yang tertuang dalam ketetapan MPR tersebut, kendati saat itu belum dibakukan dan masih tertuang dalam tata tertib lembaga MPR.

Dalam hubungannya dengan kedudukan seorang menteri, pintu masuk bubarnya sebuah kabinet, yang berarti jatuhnya presiden, bisa terjadi melalui hak interpelasi DPR. Ketika pertanggungjawaban seorang menteri tidak bisa diterima di DPR, impeachment bisa diajukan DPR. Namun, hak yang demikian strategis masih belum bisa dilaksanakan karena eksistensi hak itu telah dipasung DPR lewat tata tertib DPR dengan keharusan adanya UU tentang interpelasi. Sementara UU tentang itu belum lahir hingga diamandemennya UUD 1945.

Kita pernah mempunyai pengalaman mengenai akan difungsikannya hak interpelasi berkaitan dengan kebijakan Mendikbud saat itu, Daoed Joesoef, tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Namun, hal itu terbentur proses yang memang tak memungkinkan. Sebab, harus cukup kuorum tertentu yang tidak bisa dipenuhi pada waktu itu, sehingga kandas dalam proses.

Prof Dr Samsul Wahidin SH MH, guru besar hukum tata negara Unmer Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 8 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan