Menteri Letakkan Jabatan
Sidang paripurna kabinet Indonesia bersatu kedua di Sekretariat Negara pada 7 Juli 2011 memunculkan fakta menarik. Sebanyak 50% Instruksi Presiden tidak terlaksana dengan baik oleh menteri- menteri.
Fakta ini seolah menguatkan kritik publik terhadap performa kabinet selama ini. Juga seolah membenarkan kritik keras DPR terhadap menteri keuangan berkenaan dengan urusan divestasi PT Newmont Nusa Tenggara.
Sama menariknya dengan kritik keras DPR terhadap sejumlah menteri berkenaan dengan pembahasan RUU BPJSN.Termasuk kritik luar biasa keras Yusril Ihza Mahendra terhadap Jaksa Agung perihal salah rujuk UU sebagai dasar mencegah dirinya.
Supomo dan Bung Hatta
Menteri memang bukan figur tata negara pemegang kekuasaan pemerintahan,karena dalam sistem presidensial, kekuasaan pemerintahan diletakkan sepenuhnya pada presiden. Tetapi, apakah dengan demikian menteri tidak memiliki tanggung jawab? Sejatinya menteri adalah figur tata negara sebagai pembantu presiden.
Tetapi, walau hanya sebagai pembantu presiden,menteri bukan pembantu biasa. Menteri adalah pembantu dengan kualifikasi sebagai pemimpin atau ahli negara, figur bijaksana. Dua kualifikasi itulah yang muncul dalam perdebatan pasal 15 rancangan UUD 1945 pada 15 Juli 1945.
Bung Hatta dalam perdebatan itu menghendaki agar menteri dibebani tanggung jawab. Bung Hatta berargumen, sistem presidensial Amerika Serikat memang tidak memungkinkan kerja sama antara presiden dan DPR dalam pembentukan undangundang.
Sementara rancangan UUD yang sedang dibahas ini tidak menganut pemisahan kekuasaan dalam menjalan kekuasaan legislatif. Presiden bersama-sama DPR membentuk UU. Dalam kerja sama ini mungkin terjadi pertentangan, dan bila terjadi pertentangan, Hatta menegaskan tidak ada lembaga yang akan menyelesaikan pertentangan tersebut.
Bung Hatta memang tidak membedakan secara eksplisit mengenai mental menteri dan mental pegawai biasa.Tetapi, kata-katanya berikut ini membuktikan bahwa Bung Hatta menaruh harapan besar terhadap tanggung jawab menteri.
Kata Bung Hatta, tanggung jawab itu penting dalam gerakan kita, dalam susunan menegara kita supaya yang memegang departemen itu “betul-betul pemimpin-pemimpin rakyat.” Jangan nanti lambat laun semangat pegawai saja, dengan tidak mempunyai tanggung jawab yang kuat,menjalar dalam pemerintahan negara.
Pandangan ini ditanggapi oleh Supomo, yang kala itu dipercaya Bung Karno untuk menjelaskan dasar pikiran yang menjadi pijakan rancangan pasal-pasal UUD.Ternyata Supomo mengakui kemungkinan terjadi konflik antara DPR dan presiden.
Tetapi Supomo begitu percaya terhadap mutu hubungan antara presiden dan menteri-menterinya, seraya menunjuk kedudukan menteri tergantung pada presiden. Walau menganggap kekhawatiran Bung Hatta tentang konflik antara menteri dan DPR hanya sebagai debat akademik, tetapi Supomo tetap membahasnya.
Supomo mengawali pembahasannya dengan cara mengajukan sebuah pertanyaan hipotetis.Pertanyaannya, apakah menteri yang paling besar pengaruhnya atau presiden, yang suaranya paling berpengaruh ataukah sama pengaruhnya.
Apabila terjadi konflik antara presiden dan DPR,dan kita hendak mencari kesalahannya perorang, apakah menteri atau presiden,menurut Supomo tidak bisa diketahui oleh DPR. Supomo lalu menegaskan, akan tetapi jika umpamanya terjadi menteri tidak disukai oleh DPR, meski tidak dengan votum, atau mosi tak percaya, “ahli negara yang bijaksana harus mengambil sikap.
” Kalau perlu, Supomo melanjutkan “tentu menteri sendiri minta meletakkan jabat-annya.” Kata-kata Supomo selanjutnya,“ harus mempunyai perasaan tanggung jawab, perasaan harga diri bagi diri sendiri yang mempunyai political feeling tentang hal ini,” jelas menunjukkan meletakkan jabatan merupakan cermin harga diri, dan meletakkan jabatan adalah cermin tanggung jawab.
Tak Tabu
Jelas, menteri yang meletakkan jabatan tidak dapat dinilai sebagai tindakan antibudaya kita. Meletakkan jabatan harus dibaca selain sebagai cerminan watak orang bijaksana versi Supomo, juga cerminan watak orang bertanggung jawab atau pemimpin rakyat versi Bung Hatta.
Sayangnya, sekali spirit seindah ini harus kehilangan makna dan nilai. Makna dan nilainya kalah berkilau dibanding dengan gemerlapnya privilese yang diperoleh menteri. Bung Hatta dan Supomo memang tidak berbicara tentang departemen atau kementerian sebagai real government, tetapi tidak mungkin keduanya tak mengerti konsep ini.
Tidak mungkin orang yang tidak mengerti konsep ini berbicara mengenai tanggung jawab menteri dan meletakkan jabatan. Keduanya pasti mengerti bahwa pada tingkatan kementerianlah kekuasaan pemerintah mewujud.
Memang meletakkan jabatan tidak menghapuskan tanggung jawab konstitusional presiden sebagai satu-satunya figur tata negara yang memegang kekuasaan pemerintahan, tetapi rakyat akan terbantu. Menteri-menterilah hulu pemerintahan secara nyata.Menteri- menterilah poros teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Urusan pemerintahan tidak lain dari aktivitas pemerintah menyejahterakan rakyat. Urusan ini berpijak pada nilai-nilai intrinsik alinea keempat UUD 1945. Celakanya, politikus politikus yang sebagian menjadi menteri memiliki interpretasi tersendiri terhadap spirit budaya kita.
Sedemikian hebatnya mereka, sehingga meletakkan jabatan dianggap sebagai hal tabu, tak senafas dengan budaya kita. Jangankan penilaian UKP4, frasa ahli negara atau orang bijak atau pemimpin, bahkan seruan populis untuk “meletakkan jabatan” menjadi tak bermakna. Padahal seruan itulah wujud dari frasa dinamika berbangsa dan berkonstitusi, yang dikonstatir Supomo.
MARGARITO KAMIS Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 12 juli 2011