Menteri Jadi Terdakwa Otomatis Diberhentikan
Larangan Rangkap Jabatan Pengurus Parpol Dihapus
Menteri yang didakwa melakukan tindak pidana, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih, secara otomatis harus diberhentikan sementara oleh presiden. Hal itu diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara.
Dalam rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I di DPR, Kamis (16/10), semua fraksi dan pemerintah sepakat dengan ketentuan itu.
Namun, menyangkut pemberhentian, tetap baru dilakukan bila menteri itu telah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Rapat dipimpin Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (RUU) Kementerian Negara Agun Gunandjar Sudarsa. Pemerintah diwakili Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi. RUU itu akan disetujui untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Senin 21 Oktober nanti.
”Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Begitu diundangkan akan berlaku serta-merta,” kata Agun terkait nasib menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu jika ada yang ditetapkan sebagai terdakwa dalam waktu dekat.
Dalam rapat, anggota Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, sempat menyampaikan keberatan. Ia khawatir aturan itu menyandera presiden.
Dicontohkan, presiden tak bisa memberhentikan menteri yang berstatus tersangka. Presiden juga tidak bisa mengganti menteri yang melanggar hukum sampai ada kekuatan hukum tetap, tetapi hanya menonaktifkan. Padahal, proses sampai adanya putusan hukum tetap memerlukan waktu sangat panjang. Hal ini juga bisa berpengaruh terhadap kinerja pemerintah.
Namun, Benny akhirnya menerima putusan itu setelah mendengarkan penjelasan Mensesneg. Menurut Hatta, rumusan itu justru memberi kepastian hukum kepada presiden kalau ada pembantunya yang menjadi terdakwa. Di sisi lain, aturan itu juga memberi penghormatan kepada menteri yang belum dinyatakan bersalah.
Rangkap jabatan
RUU ini juga mengatur larangan jabatan rangkap. Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari anggaran negara atau daerah.
Larangan rangkap jabatan di partai politik dihapus dari batang tubuh dan dimasukkan dalam penjelasan. Dalam penjelasan disebutkan, diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan lainnya, termasuk jabatan dalam parpol. Semuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme dan pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus. (sut)
Sumber: Kompas, 17 Oktober 2008