Mensterilkan Pengadilan

Masyarakat ramai membicarakan mafia di Mahkamah Agung, membuat kita ingin membersihkan pengadilan dari para mafioso. Hakim dianggap sosok sentral dalam perkara komodifikasi putusan pengadilan, yang ternyata bisa melibatkan satpam dan tukang parkir.

Lebih dari 25 tahun, Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto, saat itu, membuka borok di Mahkamah Agung (MA) sehingga perkara-perkara bisa menjadi komoditas yang diperdagangkan. Salah satu pernyataan Adi Andojo kepada publik adalah bagaimana sidang-sidang majelis hakim rentan terhadap telinga-telinga yang (turut) mendengar bagaimana putusan atas suatu kasus dibicarakan. Sidang-sidang majelis tidak segera bisa mengambil putusan final, tetapi menghasilkan advis. Bagaimanapun arah dari putusan, dalam bentuk advis, bisa ditebak. Dalam sidang majelis tidak hanya hakim agung yang hadir, tetapi orang-orang lain, seperti asisten. Di sini potensi judicial hazard sudah muncul.

Hakim agung Adi Andojo Soetjipto tidak hanya berbicara, mengeluh, tetapi juga berani bertindak. Ini poin tersendiri karena banyak hakim yang baik, tetapi kurang berani bertindak. Hakim Adi Andojo berani menggugat korps hakim, di mana ia ada di dalamnya, demi memperbaiki citra MA. Ini suatu kejadian langka karena biasanya suatu korps cenderung menutupi kesalahan anggotanya. Itu dilakukannya dalam kasus Gandhi Memorial School sekian puluh tahun lalu. Tercium bau kolusi, begitu sinyalemen Adi Andojo.

Bagaimana suatu perkara bisa cepat diputus, padahal banyak perkara terdahulu belum putus? Mesti ada sesuatu di belakangnya. Sebuah tim di MA dibentuk dan menyimpulkan, tidak terjadi kolusi, hanya kesalahan administratif. Kasus pun ditutup dan hakim agung Adi Andojo terpental dari MA. Dengan bertindak berani (setengah nekat), hakim agung ini mungkin tahu risiko yang akan dihadapi.

Sebetulnya Adi Andojo sudah mencoba bertindak hati-hati. Karena itu, ia tidak menuduh telah terjadi korupsi, tetapi hanya kolusi. Dalam pikirannya, kolusi akan lebih mudah dibongkar, tetapi di sini pun ternyata ia salah dalam perkiraan. Rupa- rupanya korps masih lebih kuat.

Sebagai rakyat, kita hanya bisa berandai-andai, bagaimana kiranya wajah pengadilan kita jika banyak hakim yang berkualitas progresif seperti itu (yang baik dan berani) duduk di kursi hakim. Cerita tentang pengadilan di Indonesia tentu menjadi lain daripada sekarang.

Serahkan kepada mesin
Hampir setengah abad lalu pernah dilontarkan gagasan, mengapa pengadilan tidak diserahkan kepada mesin, untuk mengeliminasi faktor manusia. Bukankah mesin tidak bisa dibeli? Tahun 1966, Julius Stone menulis risalah Man and Machine in the Search for Justice... Tetapi, akhirnya, Stone (tetap) berkesimpulan, bagaimanapun akurat kerja mesin, tetapi ia tetap tak dapat diandalkan dalam perburuan manusia terhadap keadilan. Itu adalah komputer. Adakah komputer generasi sekarang lebih cerdas dalam berpikir?

Inti pikiran Stone adalah terlalu banyak masalah kemanusiaan dalam putusan hakim atau pengadilan sehingga tiap perkara selalu unik. Karena itu, mesin belum bisa diandalkan untuk mengganti putusan hakim. Ia tutup tulisannya, Serahkan pada manusia apa yang menjadi pekerjaan manusia dan kepada mesin apa yang menjadi pekerjaan mesin.

Memang bisnis memutus perkara itu berkelindan dengan nilai-nilai dan berbagai aspek kemanusiaan, tetapi itu tidak berarti, sama sekali tidak ada yang bisa dilakukan dan disumbangkan oleh mesin untuk membantu mengurangi kejahatan mafia pengadilan. Misalnya, dalam merawat transparansi proses peradilan.

Maka, untuk mensterilkan pengadilan dari gangguan mafia, kita harus lebih bertumpu pada faktor manusia dan kualitas manusia. Misalnya, mafia tidak akan terjadi jika para asisten hakim agung, yang sempat mendengar putusan advis, memiliki komitmen dan dedikasi tinggi untuk menjaga keagungan citra MA. Ini contoh saja sebab kebocoran dan manipulasi bisa terjadi di tiap pos mana pun yang dilalui (berkas) perkara. Jadi, sampai ke pelataran parkir pun para awak pengadilan memerlukan dedikasi tinggi, jika dikehendaki pengadilan memiliki aura yang agung.

Gedung pengadilan yang megah juga tidak membantu mendongkrak citra pengadilan. Di Amerika Serikat, tahun 1788, ada anggapan, pengadilan adalah institusi yang paling diremehkan, dibandingkan dengan legislatif dan eksekutif. Maka, MA (Supreme Court) cukup disuruh berkantor di tempat yang tak memadai. Akhirnya, Ketua MA Amerika Serikat, Marshal, tahun 1803 menyatakan the court had the power to declare acts of Congress unconstitutional (MA mempunyai kekuasaan untuk menyatakan undang-undang bertentangan dengan konstitusi). MA yang semula dianggap kucing melompat dan mengaum bagai singa. Gedung boleh tidak mentereng, tetapi John Marshall membalikkan keadaan dan menjadikan pengadilan di Amerika Serikat menjadi kekuatan ketiga selain eksekutif dan legislatif. Lagi-lagi manusia yang lebih menentukan.

Jika faktor manusia memegang peran utama, bagaimana dan dari mana sterilisasi pengadilan akan dimulai? Apakah dengan memberhentikan semua hakim dan menggantinya dengan yang baru, seperti pernah disarankan Daniel Lev? Atau dalam versi sekarang, memberhentikan seluruh pegawai, termasuk tukang parkir, satpam, yang bekerja di MA dan pengadilan? Ataukah mencoba melibatkan mesin komputer secara aktif sehingga terjadi e-judiciary? Ataukah kita akan membuat skenario lain, mengingat masih ada hakim yang penuh integritas, yang tidak rusak di tengah kerusakan di sekelilingnya?

Kini bisul sudah meletus, borok sudah terbuka, dan itu mengandung nilai positif tersendiri karena bangsa ini mempunyai alasan nyata dan mutakhir untuk memperbaiki citra pengadilannya. Bukti-bukti sudah dilemparkan ke atas meja, kini tinggal kita pandai-pandai memanfaatkan momentum itu, bukan membiarkan lewat seperti angin lalu.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Undip, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tulisan ini disalin dari Kompas, 18 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan