Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial

Saat ini pemerintah disibukkan pembentukan tiga komisi pengawas eksternal untuk meningkatkan kinerja lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu Komisi Yudisial sebagai pengawas peradilan, Komisi Kejaksaan sebagai pengawas kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional sebagai pengawas kepolisian.

Gagasan pembentukan komisi-komisi pengawas ini merupakan jawaban atas ketidakefektifan sistem pengawasan internal (fungsional) yang telah built in dalam aneka institusi penegak hukum. Ketidakefektifan pengawasan internal pada lembaga penegak hukum tidak lepas dari berbagai faktor penyebab, antara lain (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai; (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan; (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan menyampaikan pengaduan dan memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses); (4) masih menonjolnya semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak sebanding dengan perbuatannya; dan (4) tidak terdapat kehendak kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan. Membenahi pengawasan fungsional berarti memberi solusi terhadap keempat permasalahan itu.

Tidak mudah untuk mewujudkan gagasan pengawasan eksternal yang bergigi. Resistensi yang kuat muncul dari dalam institusi penegak hukum agar pihak luar tidak ikut campur urusan dalam mereka.

Akibatnya, berbagai kompromi muncul dalam merancang komisi-komisi itu, mulai dari kompromi yang menghasilkan kewenangan Komisi Yudisial (KY) sebatas rekomendasi kepada pimpinan Mahkamah Agung (MA). Menjadikan Komisi Kejaksaan sebagai lembaga supervisi (oversight) yang hanya menggunakan kewenangannya apabila pengawas internal gagal menjalankan tugasnya.

Kompromi lainnya adalah peran Komisi Kepolisian Nasional (KKN) yang aktualisasi perannya sebatas peran lembaga penyantun yang memberi saran dan pertimbangan kepada Presiden. KKN tidak dirancang untuk menjalankan fungsi Police Complaint Board seperti halnya Independent Police Complaint Commission (IPCC) di Inggris atau Napolcom di Filipina, yang sebenarnya fungsi ini amat diharapkan kehadirannya oleh masyarakat.

ADA sejumlah persyaratan agar pengawasan eksternal terhadap institusi penegak hukum berfungsi efektif: (1) Kualitas, integritas dan akseptabilitas publik dari anggotanya; (2) Kewenangan (power) yang memadai. Kewenangan di sini ada dua, yaitu kewenangan atribusi yang diberikan peraturan perundang-undangan, dan kewenangan nonatribusi yang dibangun oleh proactivism dan leadership yang tinggi dari pimpinannya; (3) Ketersediaan sumber daya guna mendukung operasionalisasi lembaga (khususnya finansial); dan (4) Sifat saling memperkuat antara tugas dan kewenangan pengawas eksternal dengan pengawas internal/fungsional.

Persyaratan pertama, akseptabilitas, integritas, dan kualitas (AIK) dapat diwujudkan melalui proses seleksi yang transparan, partisipatif, dan akuntabel (TPA) . Melalui proses seleksi yang TPA kita dapat menjaring dan menyaring commissioners yang AIK.

Persyaratan kedua, kewenangan atribusi (attributive power) hanya dapat dimiliki jika peraturan perundang-undangan memandatkannya. Apabila kewenangan atribusi tidak memadai (terbatas), maka pengaruh komisi harus mengandalkan kewenangan nonatribusi yang dihasilkan dari aktualisasi kepemimpinan dan proaktifisme pimpinannya.

Persyaratan ketiga, sumber daya pendukung (terutama finansial) diwujudkan melalui komitmen pemerintah dalam mengalokasikan anggaran dan kemampuan lobi pimpinan komisi dengan Bappenas, Ditjen Anggaran (Depkeu) dan Komisi Anggaran DPR, serta kemampuan memobilisasi dan mengoordinasi lembaga-lembaga donor untuk menyediakan hibah (grant) bagi program pengawasan eksternal ini.

Persyaratan keempat, mencegah duplikasi peran antara pengawasan internal dan komisi pengawas eksternal melalui pengaturan dalam peraturan perundang-undangan agar keduanya komplementer (saling memperkuat). Dalam hal peraturan perundang-undangan tak mengaturnya, maka kesepakatan-kesepakatan bilateral antara pimpinan lembaga penegak hukum dan komisi pengawas menjadi amat penting.

Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY memberikan dua kewenangan kepada KY: Pertama, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR (rekrutmen). Kedua, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (pengawasan).

Pelaksanaan kewenangan pengawasan KY terhadap perilaku hakim antara lain: (1) menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; (2) meminta laporan berkala kepada badan peradilan; (3) melakukan pemeriksaan hakim; dan (4) memanggil dan meminta keterangan hakim.

Hasil pemeriksaan dapat berupa pengajuan usulan penjatuhan sanksi teguran tertulis (yang bersifat mengikat) atau usulan penjatuhan sanksi pemberhentian sementara atau tetap (yang sifatnya tidak mengikat).

Masih dalam konteks pengawasan, KY juga memiliki kewenangan memberikan penghargaan (reward) kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat.

Banyak pihak (terutama kalangan LSM) meragukan efektivitas KY karena kewenangan yang dimiliki sebatas penyampaian rekomendasi. Namun, pesimisme itu tidak beralasan jika rekomendasi mengikat dalam bentuk sanksi teguran tertulis, dan pemberian penghargaan dikaitkan sistem promosi dan mutasi hakim di MA.

Bagi pelanggaran berat yang berakibat rekomendasi pemberhentian, efektivitasnya akan ditentukan oleh efektivitas kerja Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang dibentuk Ketua MA maupun Ketua MK yang bakal menerima atau menolak pembelaan hakim yang diperiksa. Berkaca pada kiprah berbagai majelis kehormatan profesi selama ini, kekhawatiran terhadap MKH memiliki semangat membela korps masih sangat tinggi.

Untuk mengatasi esprit de corps, berbagai cara perlu diupayakan. Pertama, komposisi MKH harus terdiri para hakim agung yang tidak konservatif. Jika perlu tokoh hukum independen dan atau salah seorang anggota KY menjadi anggota MKH. Kedua, adanya kesepakatan antara pimpinan MA/ MK dengan pimpinan KY tentang tata cara pemeriksaan/ pembuktian dan kriteria penjatuhan sanksi sehingga menghindari silang penafsiran dan subyektivitas dalam penjatuhan putusan. Karena itu, hubungan baik antara pimpinan KY dan pimpinan MA/MK mutlak diperlukan. Ketiga, prosesnya dilangsungkan secara transparan dan akuntabel sehingga publik dapat mengamati prosesnya.

AKSEPTABILITAS publik, kualitas, integritas, proaktifisme dan kepemimpinan anggota KY merupakan prasyarat penting dalam mewujudkan KY yang berpengaruh. Karena itu, proses penjaringan dan penyaringan anggota KY yang sedang dilakukan amat penting dicermati.

Tidak mudah untuk mendapatkan calon-calon sebagaimana dimaksudkan itu, mengingat panitia seleksi bekerja dengan cara menunggu (pasif), dan proses seleksinya tidak hanya dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) yang dibentuk Presiden, juga diselenggarakan Komisi III DPR yang sarat dengan aneka pertimbangan subyektif-politis.

Meski demikian, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan Pansel maupun Komisi III untuk mewujudkan proses seleksi TPA adalah, pertama, kemampuan Pansel dan Komisi III DPR menerjemahkan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas (TPA) ke dalam prosedur dan mekanisme kerja mereka. Kedua, kemampuan menerjemahkan syarat memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela seperti ditentukan Pasal 26 poin e UU No 22/2004 ke dalam kriteria yang lebih konkret dan terukur. Ketiga, kemampuan Pansel menjaring hidden potential candidates, mengingat calon-calon berpotensi umumnya enggan mengajukan lamaran. Keempat, kemauan dan kemampuan Komisi III DPR untuk meninggalkan pola one person one value and one vote (OPOVOV) dan mengedepankan prinsip TPA.

Jika keempat prinsip ini benar-benar dilaksanakan oleh Pansel dan Komisi III DPR dalam menjaring dan menyaring calon anggota, diyakini tidak akan lagi terjadi diskrepansi antara preferensi masyarakat dengan hasil proses seleksi. Kita tunggu kemauan dan kemampuan Pansel dan Komisi III DPR untuk membangun proses seleksi yang berlandaskan prinsip TPA itu.(Mas Achmad Santosa Penasihat dan Tenaga Ahli untuk Pembaruan Peradilan dan Kejaksaan pada Partnership for Governance Reform in Indonesia)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 2 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan