Menjawab Masalah dengan Iklan

Menarik mencermati inforial Departemen Pendidikan Nasional di Koran Tempo pada 7 Agustus 2006 dan majalah Tempo edisi 24/XXXV/07-13 Agustus 2006. Walau ruang yang dipakai cukup besar, satu halaman penuh di Koran Tempo (halaman A15), dan dua halaman di majalah Tempo, pesan yang disampaikan tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat.

Tema yang diusung berkaitan dengan konferensi revitalisasi pendidikan nasional, yang diselenggarakan pada 7-9 Agustus 2006. Inforial dibuat dalam dua bentuk tulisan: pertama, berita, dengan judul Revitalisasi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan; kedua, wawancara Kepala Pusat Informasi dan Humas Depdiknas Bambang Wasito Adi, SH, MSc, yang diberi judul Mendorong Output yang Bermutu.

Iklan semacam ini bukan pertama kali dibuat Depdiknas. Bulan lalu, sewaktu masyarakat memprotes pelaksanaan ujian nasional dan meminta ujian susulan, Depdiknas menggunakan inforial untuk mengklarifikasi. Pada 11 Juli 2006, tidak tanggung-tanggung, empat halaman Koran Tempo diborong (halaman A11-A14). Waktu itu, judul utama yang dipilih Menyelamatkan Mutu Pendidikan.

Sama seperti sebelumnya, dari sudut isi, tidak ada hal penting bagi masyarakat yang digambarkan dalam inforial kali ini. Selain pengumuman kegiatan yang dijelaskan sangat prestisius karena dibuka dan ditutup oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dihadiri oleh gubernur, bupati, serta seluruh komponen pendidikan nasional. Tidak lupa, dengan penuh kesopanan, diselipkan klarifikasi dan pembelaan atas derasnya kritik yang ditujukan kepada Depdiknas.

Dalam kutipan wawancara, Bambang Wasito Adi menjelaskan bahwa konferensi merupakan momen bagi stakeholder pendidikan untuk merumuskan permasalahan serta menciptakan sistem dan situasi yang kondusif. Diharapkan nantinya Depdiknas tidak disalahkan terus. Walaupun kritik bisa menjadi bahan koreksi, menurut Bambang, apabila Depdiknas diposisikan sebagai target, malah kontraproduktif. Sebab, kalau terus begitu, bangsa ini tidak akan maju.

Hampir tidak ada beda antara iklan Depdiknas dan iklan perusahaan komersial, seperti makanan atau obat-obatan. Sama-sama membuat pencitraan, walau tujuannya berbeda. Perusahaan komersial mencoba agar masyarakat tertarik dengan produk yang mereka tawarkan dan tergerak untuk membeli. Adapun Depdiknas meminta pengertian masyarakat atas segala tindakan dan kebijakan yang mereka gulirkan sehingga tidak ada lagi kritik.

Sungguh sayang, apabila hanya untuk meredam kritik dari masyarakat, Depdiknas sampai menghamburkan banyak biaya. Apalagi Depdiknas sering menjawab berbagai permasalahan pendidikan, seperti banyaknya gedung sekolah yang rusak dan ambruk, kekurangan peralatan dan perlengkapan belajar-mengajar, minimnya gaji guru, atau ketidakmampuan dalam menyediakan layanan pendidikan dasar gratis, dengan argumentasi tidak ada dana.

Tentu saja, biaya yang dikeluarkan untuk memasang iklan tidak seberapa apabila dibandingkan dengan dana yang dikelola oleh Depdiknas. Namun, di tengah kekurangan dana dan gencarnya usaha masyarakat untuk terus menuntut kenaikan anggaran bagi penyelenggaraan pendidikan, pemborosan sekecil apa pun yang dilakukan Depdiknas rasanya sangat tidak pantas.

Namun, apabila memasang iklan dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak, semestinya diarahkan untuk kepentingan masyarakat bukan semata-mata sebagai alat pemoles citra Depdiknas. Iklan menjadi bagian dalam rangka mendorong transparansi dan akuntabilitas.

Depdiknas dapat menjelaskan program-program atau proyek-proyek yang akan dijalankan dan jumlah dana yang disediakan untuk mendukungnya. Siapa atau bagian apa yang menjadi penanggung jawab kegiatan dan keuangan, termasuk menerangkan bagaimana masyarakat terlibat dalam proses pembuatan kebijakan atau cara mengakses informasi/dokumen masing-masing program atau keuangan tersebut.

Selain itu, Depdiknas dapat memberi gambaran kepada masyarakat mengenai pelaksanaan program dan penggunaan dana pada tahun sebelumnya. Kemajuan apa saja yang telah dicapai dan kendala atau hambatan yang dihadapi serta bagaimana cara Depdiknas menghadapinya.

Kalaupun, misalnya, Depdiknas perlu membuat iklan berkaitan dengan acara konferensi, akan lebih menarik jika dijelaskan mengapa acara dibuat di Hotel Sahid Jakarta, bukannya di gedung Depdiknas, berapa anggaran yang disediakan untuk membiayai kegiatan tersebut, serta dari mana sumber pendanaannya, termasuk bagaimana agar masyarakat dapat memperoleh hasil konferensi.

Memasang iklan dalam rangka transparansi dan akuntabilitas tidak hanya akan berguna bagi masyarakat, tapi juga dapat mendorong institusi pendidikan di luar Depdiknas, seperti dinas pendidikan dan sekolah, melakukan hal serupa, walaupun kemudian cara atau alat yang digunakan berbeda. Memberi contoh jauh lebih baik dibanding hanya mengimbau.

Apabila Depdiknas berani membuka ruang berpartisipasi serta mau terbuka dan akuntabel, tanpa perlu dipoles iklan, citra di mata masyarakat dengan sendirinya akan bagus. Sebab, pada dasarnya, kritik masyarakat kepada Depdiknas bukan didasari kebencian atau upaya untuk menjatuhkan, tapi menggambarkan kepedulian untuk ikut memperbaiki pendidikan nasional.

Karena itu, sangat tidak perlu menghamburkan biaya hanya untuk menaikkan image atau citra diri. Selain pemborosan, bukan tidak mungkin keasyikan berdandan akan membuat Depdiknas lupa pada borok yang mesti diobati. Merasa seolah-olah tidak ada masalah dan baru sadar ketika pendidikan sudah benar-benar terpuruk.

Ade Irawan, SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 10 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan