Menjawab Keberatan KPK

Beberapa waktu lalu, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menemui Presiden Joko Widodo terkait masuknya delik korupsi dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Kala itu ada sepuluh alasan KPK untuk menolak masuknya delik korupsi dalam RUU HP.

Pada Selasa, 26 Juni 2018, Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang di sebuah media cetak menuliskan, ada tujuh kelemahan delik korupsi dalam RUU HP. Pada Rabu, 4 Juli 2018, pimpinan KPK kembali menemui Presiden Jokowi, menyampaikan keberatan yang sama, tetapi kali ini hanya ada empat alasan. Artinya, alasan penolakan KPK itu  semakin hari semakin berkurang.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pimpinan KPK—yang integritasnya dalam pemberantasan korupsi tidak diragukan lagi—sebenarnya resistensi terhadap delik korupsi dalam RUU HP bukanlah suatu perdebatan teoretis akademik. Sebab, berbagai argumentasi penolakan KPK tidak didasarkan pada konstruksi teoretik yang kokoh, tetapi alasan ala kadarnya, terlebih dalam kerangka membangun sistem hukum pidana nasional yang utuh.

Saya tetap berpikir positif bahwa resistensi KPK tersebut lebih pada suatu kekhawatiran terganggunya agenda pemberantasan korupsi karena acap kali KPK diganggu oleh para politisi Senayan, teristimewa terkait kewenangannya dalam menyelidik, menyidik, dan menuntut perkara korupsi.

Tak ada kaitan
Sejatinya jika memahami hukum pidana secara benar, substansi RUU HP tidak ada kaitannya dengan kewenangan KPK. Dalam konteks teori, substansi RUU HP adalah ius poenale, yaitu hukum pidana materiil yang berisi perintah atau larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi yang tidak mematuhi atau melanggar, kapan, dan dalam hal apa pidana itu dapat dijatuhkan.

Sementara kewenangan KPK adalah ius puniendi, yaitu hak negara untuk menuntut, menghukum, dan melaksanakan pidana yang merupakan inti dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kendatipun demikian, untuk tetap menjaga eksistensi dan keberlangsungan KPK, tim penyusun telah memagarinya dengan sejumlah pasal berikut penjelasannya dalam aturan peralihan yang secara expressive verbis menyebut kewenangan KPK.

Adapun empat alasan KPK menolak masuknya delik korupsi dalam RUU HP yang harus ditanggapi adalah sebagai berikut. Pertama, tidak ada keuntungan atau insentif yang didapatkan dalam pemberantasan korupsi jika delik korupsi masuk dalam RUU HP. Terhadap alasan ini perlu ditanggapi bahwa kita tidak sedang berbicara mengenai untung rugi pemberantasan korupsi, tetapi membangun sistem hukum pidana nasional dalam sebuah kodifikasi yang tepat dan benar.

Politik hukum yang dipilih dalam pembaruan hukum pidana terhadap konstruksi KUHP baru adalah dekolonisasi, rekodifikasi, konsolidasi, dan harmonisasi. Dalam criminal law policy theory, rekodifikasi mengandung makna membukukan kembali dalam satu kitab undang-undang berbagai hukum pidana khusus internal (korupsi, terorisme, pelanggaran berat HAM, pencucian uang, dan narkotika) yang tumbuh dan berkembang setelah KUHP buatan kolonial Belanda dibuat.

Agar tidak menghilangkan sifat kekhususan dari hukum pidana khusus internal, yang diatur dalam RUU KUHP hanyalah core crime. Kalaupun delik korupsi masuk dalam RUU HP, tidak ada kerugian sedikit pun terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Kedua, KPK beralasan bahwa masuknya delik korupsi dalam RUU HP akan menimbulkan multi-interpretasi sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Anggapan demikian sangatlah tidak berdasar.

Dalam undang-undang (UU) yang sekarang berlaku ada 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (tipikor). Delik korupsi yang dimasukkan dalam RUU HP hanyalah korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara dan suap yang merupakan core crime tipikor. Tegasnya, yang direvisi hanyalah lima pasal, yakni Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13.

Artinya, 25 perbuatan lain yang dikualifikasi sebagai tipikor dalam UU a quo masih tetap berlaku dan tidak dicabut oleh aturan peralihan dalam RUU HP. Berdasarkan aturan peralihan pula berikut penjelasannya dalam RUU HP, justru kewenangan KPK diperluas. Tidak hanya melakukan proses hukum terhadap tipikor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU KPK juncto Pasal 14 UU Tipikor, tetapi juga berwenang melakukan proses hukum terhadap delik korupsi dalam RUUHP.

Sesat pikir
Ketiga, KPK menyatakan bahwa masuknya delik korupsi dalam RUU HP akan menghilangkan kekhususan atau keseriusan dalam pemberantasan korupsi dan akan mengirimkan pesan yang tidak baik bagi upaya pemberantasan korupsi.

Keempat, KPK beralasan bahwa pengaturan kekhususan delik korupsi sebagai serious/extraordinary crime di Indonesia telah diakui dunia internasional dan dianggap sebagai best practices sehingga memasukkan delik korupsi dalam RUU HP dianggap sebagai langkah mundur.

Alasan ketiga dan keempat ini lebih pada ketidakpahaman KPK terhadap konsep the most serious crime atau extraordinary crime. KPK terlalu menyederhanakan parameter kejahatan serius atau kejahatan luar biasa.

Seolah-olah ketika sebuah kejahatan diatur di luar KUHP, hal itu dikualifikasikan sebagai kejahatan serius atau luar biasa. Jika menggunakan logika KPK, hampir 200 UU sektoral yang memuat sanksi pidana di luar KUHP yang sifatnya pidana administrasi adalah kejahatan serius atau luar biasa.

Hal ini adalah kesesatan berpikir KPK dan celakanya publik pun ikut tersesat. Harus dipahami bahwa the most serious crime atau extraordinary crime tidaklah terletak pada pengaturan apakah di dalam atau di luar RUU HP, tetapi didasarkan pada tujuh parameter.

Pertama, delik tersebut dampak viktimisasinya sangat luas dan multidimensi. Kedua, delik tersebut bersifat transnasional terorganisasi dan didukung oleh teknologi modern di bidang komunikasi dan informatika. Ketiga, delik tersebut merupakan predicate crimes tindak pidana pencucian uang. Keempat, delik tersebut memerlukan pengaturan hukum acara pidana yang bersifat khusus. Kelima, delik tersebut memerlukan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan yang luas.

Kemudian, keenam, delik tersebut dilandasi oleh konvensi internasional yang merupakan treaty based crimes. Dan ketujuh, delik tersebut merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk oleh masyarakat (people condemnation), baik nasional maupun internasional.

Delik korupsi memenuhi ketujuh kriteria tersebut. Kendatipun core crime-nya diatur dalam RUU HP, sifat kejahatan korupsi sebagai the most serious crime atau extraordinary crime masih tetap berlaku. Itu sebabnya, Tim Penyusun RUU HP memasukkan delik korupsi, terorisme, narkotika, dan pelanggaran berat HAM dalam RUU HP di bawah bab yang berjudul Tindak Pidana Khusus. Selain itu, eksistensi kewenangan lembaga-lembaga khusus, termasuk KPK, diperkuat dengan ketentuan peralihan dalam RUU HP.

Terlepas dari perdebatan ini, suatu hal yang penting diketahui publik, bahwa setiap kali rapat Tim Penyusun RUU HP, aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) selalu diundang. Sayangnya, perwakilan KPK-lah yang paling sering absen. Namun , dalam rapat tim terakhir, 27-29 Juni 2018, Biro Hukum KPK hadir dan memberikan masukan yang konstruktif dalam penyusunan draf aturan peralihan RUU HP.

Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM; Tim Ahli Penyusun Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana

Tulisan ini disalin dari Harain Kompas, 12 Juli 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan