Menjangkau BLBI dari Putusan Urip-Artalyta

Jika pemberantasan korupsi menghendaki efek jera (detterence effect) yang kuat, maka proses hukum tidak boleh berhenti hanya pada putusan dua sejoli Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani saja.

Daya rusak suap USD660.000 pada faktanya mempunyai multiplier effect yang sangat besar. Hakim Pengadilan Tipikor yang menjatuhkan vonis 5 tahun untuk Artalyta (29/7),dan 20 tahun untuk Urip Tri Gunawan (4/9) hanyalah bagian kecil dari konstruksi kasus yang lebih besar. 

Dua orang ini harusnya dilihat sebagai operator teknis. Dengan kata lain, terdapat sejumlah pihak yang berdiri menopang sebuah kejahatan pidana korupsi.Tesis ini berangkat dari fakta persidangan yang diyakini kebenarannya oleh hakim. 

Artalyta berkomunikasi dengan Urip sejak Januari 1998 agar Sjamsul Nursalim (SN) tidak diperiksa. Se-jumlah uang yang diberikan merupakan imbalan terhadap penghentian penyelidikan BLBI II BDNI yang melibatkan SN. Sehingga, dalil yang disampaikan baik oleh Artalyta ataupun Urip, bahwa uang USD660.000 yang digunakan untuk pinjaman terbantahkan dengan sendirinya. 

Lebih dari itu, konstruksi suap ditujukan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar.Objek yang dibeli dalam suap tersebut adalah kewenangan jaksa untuk mengalihkan pertanggungjawaban pidana korupsi dari sekadar ”salah perhitungan” yang diarahkan pada penyelesaian perdata. 

Dengan kata lain, yang ”dibeli” atau dipengaruhi adalah kewenangan pejabat negara untuk ”memutihkan” sebuah tindak pidana. Khusus poin ini,menarik memperhatikan fenomena makro penanganan BLBI di Kejaksaan. Buka-tutup kasus SN patut diduga modus yang diterapkan sama pada obligor lain.

SN sendiri sempat diberikan SP3 pada periode jaksa agung sebelumnya.Dia merupakan satu dari 15 obligor dan PKPS BLBI yang ditangani kejaksaan. Dokumen Rapat Dengar Pendapat Bank Indonesia (RDP-BI) di DPR 2008 dan audit BPK No 34G/XII/11/2006 menyebutkan alasan penghentian kasus 7 dari 15 obligor adalah ”tidak ditemukan unsur melawan hukum pidana”. 

Dengan begitu, harus diserahkan pada Menteri Keuangan untuk proses perdata. Namun, fakta persidangan Pengadilan Tipikor mem-buktikan sebaliknya. Fakta hukum lain, suap berhubungan dengan mekanisme ”out of court settlement”.Faktanya, kebijakan itulah yang justru digadang-gadangkan oleh berbagai pihak hingga saat ini.

Alasan tidak melakukan proses hukum pidana adalah karena ”memprioritaskan pengembalian kerugian negara”. Argumentasi ini tentu menyesatkan. Selain terbukti gagal dalam paruh waktu hampir 10 tahun, mekanisme tersebut jelas bertentangan dengan hukum Indonesia. 

Pilihan menyelesaikan BLBI di luar peradilan (out of court settlement) mengingatkan kita pada kebijakan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), Akta Pengakuan Utang (APU), Surat Keterangan Lunas (SKL) dan satu yang sedang berjalan, rencana penerbitan Surat Ketetapan Bersama (SKB). 

Jika benar, suap memang dilakukan agar mekanisme di luar peradilan yang dipilih, rencana kejaksaan untuk melibatkan kepolisian dan menteri keuangan untuk menyusun SKB sebagai dasar hukum paksa badan dan penyelesaian perdata layak ditolak. 

Persekongkolan Elite 

Dalam kasus Urip Tri Gunawan, majelis hakim menegaskan kembali fakta persidangan yang juga diungkap pada perkara Artalyta Suryani. Berdasarkan pemantauan langsung yang dilakukan ICW,setidaknya ada 7 fakta hukum yang sangat kuat dalam pertimbangan putusan hakim.

Selain poin pada kasus Artalyta, hakim juga menegaskan keterkaitan kasus ini dengan sepuluh anggota tim BLBI yang dibawahi Urip, dan bahkan indikasi keterlibatan Direktur Penyidikan dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus di Kejaksaan Agung. 

Hubungan antara pebisnis SN dengan sejumlah pejabat tinggi Kejaksaan Agung pada akhirnya berkait- kait dengan pegawai BPK dan bahkan dibangun dalam desain yang lebih besar.Mandeknya penyelesaian BLBI pun dijadikan entry pointjualan politik bagi sejumlah anggota Dewan yang tarik ulur mengusung hak angket BLBI. 

Di titik inilah, keterkaitan antara kelompok bisnis, penegak hukum, auditor, dan wakil rakyat meneguhkan kecemasan publik.Ada kekhawatiran kasus BLBI merasuk sampai tingkat persekongkolan elite di lembaga pemerintahan. Jauh lebih berbahaya ketimbang perbuatan kelompok atau perseorangan. 

Konstruksi teoritis ini terbukti di tataran praktis dan dikuatkan ketika dalam posisi sebagai penegak hukum di Kejaksaan, Urip mampu memeras mantan Ketua BPPN Glen M Yusuf. Hakim menegaskan hal ini sebagai bagian dari fakta persidangan yang menjadi dasar vonis Urip. 

Dengan demikian,sesungguhnya pesan sekaligus perintah untuk KPK semakin jelas. Kasus dan aktor utama dibalik Urip dan Artalyta harus diungkap.ICW melihat,tiga kasus utama yang selayaknya ditelusuri lebih jauh mencakup; Pertama,Mega Korupsi BLBI II yang melibatkan Sjamsul Nursalim dalam kapasitasnya sebagai pemilik saham BDNI.

Kedua, peran mantan Ketua BPPN dalam perhitungan dan penyitaan aset.Ketiga, indikasi keterlibatan sejumlah pejabat tinggi di Kejaksaan Agung. Lebih dari itu, akan sangat merugikan publik jika KPK masih mencari dalih penolakan menangani BLBI dan memeriksa sejumlah pejabat tinggi di Kejaksaan Agung. 

Karena perdebatan hukum tentang kewenangan sudah dijawab sejumlah ahli, bahkan didukung publik. Apa lagi yang engkau tunggu KPK? (*)

Febri Diansyah 
Peneliti Hukum Anggota Badan Pekerja ICW   

Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 5 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan