Menjaga Khitah KPK

Setelah melewati sejumlah tahapan, Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan 26 calon pimpinan KPK yang berhasil melewati tes profile assessment. Untuk menentukan 10 orang yang akan disampaikan kepada DPR, calon yang lulus profile assessment akan mengikuti dua tahap wawancara.

Banyak kalangan berharap panitia seleksi mampu menemukan figur pimpinan KPK yang tidak hanya sekadar bersih, tetapi juga punya keberanian luar biasa untuk memberantas korupsi. Meminjam ungkapan M Fadjroel Rachman (Kompas, 22/8), pimpinan KPK ke depan harus lebih berani dan memiliki kemauan lebih dalam memberantas korupsi dibandingkan dengan pimpinan kepolisian, kejaksaan, ataupun lembaga peradilan.

Mencermati dampak meluasnya praktik korupsi, harapan itu seharusnya dibaca sebagai desakan terbuka masyarakat kepada panitia seleksi untuk memilih calon pimpinan KPK yang mampu mengemban gagasan awal (khitah) pembentukan KPK. Jika tidak, sebagai superbody alias extraordinary body dalam pemberantasan korupsi, KPK akan mengalami disfungsi dengan mengenaskan.

Khitah KPK

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan, salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak terlepas dari performance capaian lembaga penegak hukum yang ada. Terkait hal itu, konsideran UU No 30/2002 menyatakan, lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Karena disfungsi itu, praktik korupsi menjadi tidak terkendali yang secara sistematis menghancurkan perekonomian nasional. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, tetapi juga berujung pada pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dengan kondisi itu, politik hukum pembentukan UU No 30/2002 meletakkan korupsi sebagai extraordinary crime.

Dengan kategori extraordinary crime, penegakan hukum (law enforcement) pemberantasan korupsi juga menghendaki cara-cara yang luar biasa, yaitu dengan membentuk KPK sebagai sebuah badan khusus. Untuk itu, Pasal 3 UU No 30/2002 menegaskan, KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

Jika diletakkan dalam gagasan di atas, pembentukan KPK seharusnya dipahami sebagai akibat gagalnya, bukan belum berfungsi secara efektif dan efisien, lembaga-lembaga penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.

Dalam pengertian itu, guna membangun KPK yang kredibel, segala macam usaha harus dilakukan agar badan khusus ini tidak terjangkit penyakit disfungsi seperti lembaga penegak hukum yang lainnya.

Rekam jejak

Meski tidak segaduh seleksi anggota KPU, aroma tidak sedap juga berembus dari awal proses seleksi calon pimpinan KPK. Misalnya, lenyapnya (baca: digantinya) sejumlah nama yang telah diberitakan beberapa media akan menjadi anggota panitia seleksi, karena penggantinya punya reputasi yang relatif sama dengan yang digantikan, tidak terlalu dipermasalahkan publik. Meskipun demikian, penggantian itu tetap menyisakan misteri.

Selain itu, proses seleksi tidak memudahkan publik untuk memberikan tanggapan. Padahal, berdasar Pasal 30 UU No 30/2002, tanggapan atau partisipasi masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi, tenggat satu tahapan ke tahapan berikut begitu sempit untuk dapat menggunakan partisipasi dengan maksimal. Tidak hanya itu, dengan batasan waktu yang ketat, jangankan publik panitia seleksi pun tidak mungkin melakukan rekam jejak (track record) calon pimpinan KPK secara maksimal.

Dalam rangka mendapatkan pimpinan KPK yang bisa memenuhi khitah pembentukan KPK, waktu yang tersedia harus dimaksimalkan panitia seleksi untuk membaca secara akurat rekam jejak mereka yang lulus profile assessment. Cara sederhana yang paling mungkin dilakukan adalah membuka semua data calon kepada publik. Jika perlu, untuk akurasi data, panitia seleksi mengundang, secara khusus, kelompok masyarakat atau perorangan yang mengetahui rekam jejak calon.

Bukan perwakilan

Di luar rekam jejak calon, isu lain yang menyeruak ke permukaan adalah pimpinan KPK harus mencerminkan instansi penegak hukum yang ada. Jika ini benar, berarti telah terjadi kekeliruan mendasar dalam memahami khitah KPK. Seharusnya, politik hukum pembentukan KPK menjadi pijakan utama panitia seleksi dalam memilih pimpinan KPK.

Barangkali, dengan adanya utusan lima jaksa senior di lingkungan Kejaksaan Agung dapat dibaca sebagai upaya mempertahankan unsur kejaksaan menjadi pimpinan KPK. Dalam hal ini, saya setuju dengan Teten Masduki, rekomendasi jaksa secara resmi oleh Jaksa Agung merupakan infiltrasi terhadap KPK (Kompas, 4/7).

Memaksakan pimpinan KPK mewakili unsur lembaga penegak hukum bisa jadi akan memindahkan problem yang terjadi di lembaga penegak hukum yang ada ke KPK. Padahal, periode mendatang, selain menangani kasus-kasus besar, KPK diharapkan memberi perhatian khusus terhadap praktik korupsi di lingkungan lembaga-lembaga penegak hukum.

Sekiranya pimpinan KPK merupakan perwakilan lembaga penegak hukum, bisa jadi harapan membongkar kasus korupsi di lingkungan lembaga penegak hukum akan menjadi sesuatu yang utopis. Karena itu, perlu disadari bahwa KPK bukan lembaga perwakilan penegak hukum.

Yang lebih mengkhawatirkan, karena isu perwakilan itu, panitia seleksi bisa terjebak dalam perilaku favoritisme. Bagaimanapun, perilaku itu potensial menghancurkan calon-calon potensial yang punya kemampuan untuk menjalankan tugas dan wewenang KPK dalam pemberantasan korupsi.

Sekaranglah saatnya menguji komitmen panitia seleksi dalam agenda pemberantasan korupsi. Semua pihak harus menjaga khitah awal pembentukan KPK. Karena itu, jangan hancurkan KPK demi kepentingan sesaat.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 23 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan