Menjaga Keagungan Mafia

'Sinyalemen mengenai mafia peradilan atau lain-lain tindakan terpuji bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Walaupun sulit dibuktikan, ada asap tentu ada api.'' (Bagir Manan, Mahkamah Agung Quo Vadis? 2000)

BEGITU pernyataan seorang guru besar yang saya kagumi sekitar lima tahun lalu tentang isu mafia peradilan, bahwa ada asap biasanya ada api, dan kini asap mulai bertiup dengan tudingan pegawai MA dan seorang mantan Hakim Tinggi bahwa uang miliaran rupiah rencananya akan disampaikan kepada Ketua MA, bahkan juga disebutkan bahwa dua hakim agung lainnya terlebih dahulu telah 'dibereskan'.

Bagaimanapun mafia peradilan harus diberantas, mengingat mafia peradilan adalah variabel utama yang memengaruhi proliferasi korupsi yang tak kunjung henti. Alasan koruptor bahwa peradilan dapat dibeli, korupsi 1 triliun dengan mengeluarkan Rp10 miliar buat peradilan masih banyak saldo keuntungannya.

Asap mafia kini telah masuk ke ruang Ketua MA, dan tentunya sangatlah menyesakkan napas. Nurani saya bahwa MA tidak mungkin bisa disuap atau minimal menerima janji. Namun, ketika membaca berita di berbagai media, logika dan nurani saya mulai rontok.

Beberapa yang membuat ragu di antaranya: Pertama, Ketua MA langsung mengatakan bahwa pegawai yang ditangkap KPK terlalu jauh atau bahasa gaulnya 'nggak level'. Memang secara administratif jabatan, pegawai tersebut sangat jauh, namun seorang berstatus pejabat nomor satu di lingkup kekuasaan kehakiman, terlalu bodoh jika mau meminta/menerima hadiah atau janji kepada pihak beperkara melalui orang/bawahan dekat secara struktural maupun keseharian, seperti sekjen, sekretaris, ajudan dan lainnya. Yah, tentunya, hal ini mudah terbongkar di kemudian hari, jika mereka ini, membuat kecerobohan, sehingga nyanyiannya sulit disangkal dengan bahasa 'nggak level'.

Kedua, pimpinan MA segera mengeluarkan kebijakan memperketat pengawasan di pelataran parkir, warung telepon, sampai kantin. Alasannya, di tempat tersebutlah transaksi mafia banyak terjadi. Hal ini merupakan kebijakan 'panik'. Sangat lucu, kok baru sekarang tempat tersebut ingin diawasi ketat padahal mafia sudah dari dulu diteriakkan Ketua MA? Memang ada transaksi bernilai M di parkiran?

Ketiga, MA juga mengumumkan pemecatan sementara lima pegawai MA penerima suap. Alasannya, bukti-bukti kejahatan telah ada di tangan mereka MA serta akan mengganti semua satpam di lingkungan MA. Pecat memecat, pegawai kecil adalah bagian dari modus operandi kekuasaan apabila panik terhadap tudingan korupsi yang ditujukan kepadanya. Kalau mau fair, selama ini apakah ada pejabat tinggi yang dipecat karena diduga mafia? Bukankah corps solidarity lebih mengemuka? Keempat, jumlah uang kurang lebih Rp5 miliar, menurut akal sehat bukanlah tarif mafia level birokrasi, melainkan pada level pimpinan penentu kebijakan/putusan.

Kelima, pimpinan MA menyatakan kemungkinan indikasi pembuatan putusan palsu oleh pegawai MA. Menurut akal sehat, seorang konglomerat dan pengacara (mantan hakim tinggi), bukanlah orang bodoh ingin membeli putusan 'aspal' seharga Rp5 miliar. Jadi, pembelaan dengan menuduh pegawai kecil MA sering membuat putusan palsu tidak memiliki basis logika yang kuat untuk kasus ini.

Terakhir, diakui bahwa pengacara tersebut pernah bertemu dengan Ketua MA beberapa waktu lalu namun dalam rangka pamitan sebagai mantan hakim tinggi yang telah pensiun. Pertanyaannya benarkah, pengacara tersebut barusan pensiun pada saat bertemu? Jangan sampai pengacara tersebut pensiun pada setahun, dua, atau tiga bahkan empat tahun lalu? Umurnya ketika pamitan berapa? Umur pensiunnya berapa? Fenomena inilah tampak menunjukkan bahwa pernyataan dan kebijakan pimpinan MA dengan tertangkapnya 'mafia teri' adalah produk kepanikan (emergency exit policy) yang membuat nurani pada awalnya yakin menjadi peragu.

***

Dalam kasus ini, barang bukti di antaranya uang Rp5 miliar ditemukan berada dalam lingkup kekuasaan MA (setidak-tidaknya secara administratif adalah bawahannya). Penyuapan ini berhenti bukan karena kehendak sendiri, melainkan karena gerebekan KPK hal ini sebagai keterangan, tudingan para pegawai bahwa uang tersebut untuk pimpinan MA dapat merupakan keterangan saksi ataupun petunjuk, yang mana kesemua ini adalah alat bukti yang diakui dalam KUHA Pidana untuk menduga bahkan mentersangkakan seseorang.

Dalam Hukum Pidana dikenal percobaan (poging), bahwa mencoba melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Dengan bukti-bukti di atas sudah mengindikasikan telah terjadi percobaan pidana atau setidaknya permulaan pelaksanaan maksud (begin van uitvoering) dan/atau penyertaan berupa penganjuran, dan/atau menerima hadiah atau janji.

Padahal, diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya atau untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 53 jo 55 KUHPidana jo Pasal 10, 11, 12 UU No 31/1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi). Bahwa dalam pemidanaan ini menerima janji (intangible) sekalipun meski belum merupakan hadiah (tangible) dapat dikategorikan korupsi bagi pejabat atau hakim mengingat kedudukan, kewenangannya.

Oleh karena itu, di sinilah KPK diharapkan untuk mengusut tuntas kasus mafia ini. Namun, pertanyaannya, maukah pegawai yang ditangkap ini bernyanyi sekencang-kencangnya, membongkar jejaring mafia di tengah tekanan institusional? Sebaiknya para pegawai kecil ini diberikan spirit membongkar mafia yang lebih besar.

Dengan reward memberikan kemungkinan pengurangan hukuman (mitigating punishment) terhadapnya jika memberikan kerja sama substantif dalam penyelidikan dan penuntutan korupsi ala mafia ini, termasuk kemungkinan memberikan imunitas atas penuntutan-granting immunity from prosecution alias mendeponir perkaranya (Article 37 UN Convention Against Corruption jo Pasal 35 huruf c UU No 16/2004 Tentang Kejaksaan).

Bagaimanapun kasus mafia peradilan ini harus dituntaskan secara tegas tanpa pandang bulu sesuai prinsip persamaan di hadapan hukum equality before the law.

Mustahil banyak koruptor kalau tidak ada mafia peradilan, karena hukum dinilai koruptor dapat dibeli dan saldonya masih bernilai keuntungan. Pilih mana mencabut akar atau memotong dahan suatu pohon yang mengganggu perjalanan negara hukum bangsa ini sehingga tujuan masyarakat adil dan makmur masih jauh di pelupuk mata? Di sinilah jawaban dari pertanyaan retoris bahwa masihkah kita ingin terus 'menjaga keagungan mafia?'

A Irmanputra Sidin, Pengamat hukum kini sebagai tenaga ahli bidang hukum Mahkamah Konstitusi, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 17 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan