Menimbang Ulang Kebijakan Ujian Nasional

Hari mendebarkan bagi para peserta didik, terutama pada tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas atau sederajat telah tiba. Mulai Selasa (17April), pemerintah resmi menggelar ujian nasional tahun ajaran 2006/2007. Peserta tingkat SMA mendapat giliran pertama, sedangkan tingkat SMP dijadwalkan pada minggu berikutnya (24 April).

Ujian merupakan bagian dari evaluasi; dalam penyelenggaraan pendidikan, evaluasi mutlak diperlukan. Sebab, evaluasi dapat memberi pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu. Hasil pemetaan dapat memberi gambaran kelemahan ataupun kekuatan yang ada dalam pelaksanaan pendidikan nasional (H A.R. Tilaar, 2006).

Selain itu, evaluasi bermanfaat bagi pendidik, administrator, dan peserta didik. Bagi pendidik, evaluasi memberi informasi mengenai tingkat keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran. Bagi administrator, evaluasi dapat menguji efektivitas lembaga dan ketepatan asumsi dasar penyusunan kurikulum. Adapun bagi peserta didik, evaluasi mampu membantu mengukur kemampuan yang telah mereka capai (Aljufri B. Syarif, 1996).

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 58 dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, serta program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, serta jenis pendidikan.

Dalam prakteknya, sistem evaluasi di Indonesia telah mengalami banyak pergantian. Ujian nasional merupakan sistem evaluasi paling akhir yang digulirkan pemerintah sejak tahun ajaran 2002/2003. Ujian nasional dijadikan jawaban atas masalah dalam sistem evaluasi sebelumnya, yaitu evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas).

Ebtanas dinilai tidak memadai untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan. Malah sebaliknya, kontraproduktif, karena memunculkan banyak masalah. Ebtanas mendorong pendidik dan peserta didik hanya berorientasi pada hasil daripada perbaikan proses pembelajaran. Fokus mereka hanya pada upaya mendapatkan nilai evaluasi murni setinggi-tingginya.

Dari aspek biaya, Ebtanas sangat memberatkan, terutama bagi sekolah-sekolah swasta. Biaya yang sangat besar itu pada akhirnya dibebankan kepada peserta didik, sehingga kerap dikeluhkan para orang tua murid. Setelah dikaji, biaya besar yang harus ditanggung peserta didik itu tidak sebanding dengan hasil yang dicapai. Apalagi dalam banyak kasus Ebtanas muncul berbagai ekses negatif lain, misalnya, praktek manipulasi nilai pada Nilai Ebtanas Murni (Kompas, 11 Februari 1999).

Selain itu, fungsi Ebtanas sebagai masukan bagi penyempurnaan dan peningkatan mutu pembelajaran tidak berjalan. Hal tersebut terjadi karena lembar jawaban tidak dikembalikan kepada peserta didik ataupun pendidik.Akibatnya, mereka tidak dapat mengetahui kelemahan ataupun keunggulan kegiatan belajar-mengajar yang telah dilakukan. Dengan demikian, tidak ada proses evaluasi yang menjadi tujuan utama diselenggarakannya Ebtanas.

Namun, kenyataannya, ujian nasional yang dijadikan pengganti Ebtanas justru tidak lebih baik. Sejak pertama kali digulirkan, ujian nasional malah memicu kontroversi.Berbagai kelompok masyarakat, pendidik, dan peserta didik langsung mengajukan protes. Mereka menilai ujian nasional banyak memunculkan masalah, baik dari sudut yuridis, ekonomi, maupun pedagogi.

Ujian nasional bertentangan dengan semangat otonomi sekolah yang didorong melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. Atas dasar argumentasi bahwa sekolah tidak mampu menyelenggarakan sistem evaluasi dengan baik,pemerintah berupaya meresentralisasi penyelenggaraan pendidikan dengan mengambil alih kewenangan dalam meluluskan peserta didik.

Apalagi selama lima tahun penyelenggaraan ujian nasional, tidak ada keterbukaan dari pemerintah, baik berkaitan dengan masalah keuangan maupun hasil evaluasi. Padahal dana negara yang digunakan untuk mendukung ujian nasional tidak sedikit. Selain itu, tidak jelas langkah yang diambil pemerintah setelah mendapatkan data dari hasil ujian. Pada akhirnya, ujian hanya untuk ujian.

Masalah lain, pada prakteknya dampak negatif dari penyelenggaraan ujian nasional lebih buruk dibanding Ebtanas. Dari sisi biaya, terjadi mobilisasi dana besar-besaran dari orang tua murid. Bahkan pungutan telah terjadi sejak tahun ajaran baru. Dalam catatan Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Dana Pendidikan, jumlahnya mencapai Rp 3 juta tiap peserta didik.

Dari sisi pelaksanaan, buruknya pelayanan pendidikan membuat penyelenggara pada tingkat daerah dan sekolah melakukan manipulasi. Berbagai cara digunakan, termasuk dengan melakukan kecurangan, agar tingkat kelulusan tinggi sehingga citra daerah dan sekolah menjadi bagus.

Tidak mengherankan, walau telah lima tahun kebijakan ujian nasional diterapkan, tujuan untuk memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan tidak kunjung tercapai. Dana besar yang telah dikeluarkan negara dan masyarakat hanya menghasilkan masalah baru. Data kelulusan yang dimanipulasi membuat peta pendidikan menjadi kacau sehingga tidak mampu mendiagnosis masalah yang sebenarnya.

Sayangnya, pemerintah cenderung tidak mau ambil pusing. Walau secara terbuka guru dan peserta didik membuat pengakuan bahwa telah terjadi kecurangan di sekolah dan daerah secara sistemik atau keluhan dari orang tua atas banyaknya pungutan yang mengatasnamakan ujian nasional, pemerintah tidak menanggapi dengan serius. Masalah di daerah atau sekolah dianggap tidak ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah pusat.

Pemerintah telah menutup rapat-rapat mata dan telinga.Mereka tidak lagi mau mendengar keluhan ataupun protes dari masyarakat serta mengabaikan berbagai bukti penyimpangan yang mengiringi pelaksanaan ujian nasional. Walau lebih buruk dibanding Ebtanas, ujian nasional terus dipertahankan bahkan diperluas lingkupnya hingga tingkat sekolah dasar.

Ade Irawan, AKTIVIS INDONESIA CORRUPTION WATCH DAN KOALISI PENDIDIKAN

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan