Menimbang Sunset Policy

Bulan Desember ini adalah saat-saat terakhir bagi masyarakat untuk memanfaatkan kebijakan Sunset Policy. Melalui Sunset Policy, masyarakat dan unit usaha yang memiliki penghasilan kena pajak wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Direktorat Jenderal Pajak juga memberikan insentif kepada pemilik NPWP, yakni tidak akan diperiksa, dan bagi masyarakat yang bepergian ke luar negeri tidak lagi diwajibkan membayar fiskal.

Melalui kebijakan Sunset Policy, Ditjen Pajak hendak meningkatkan jumlah pembayar pajak di Indonesia. Tapi Sunset Policy dan kebijakan perpajakan harus dilihat dengan kritis dengan menelaah latar belakangnya. Pertama, pajak saat ini menjadi andalan penerimaan bagi negara. Sebelum tahun 2000, kontribusi pajak hanya berada pada kisaran 60 persen. Kini pajak menjadi sumber pemasukan utama bagi anggaran pendapatan dan belanja negara. Pada APBN 2008, pajak memberikan kontribusi 68,3 persen dari total penerimaan negara atau Rp 609,22 triliun. Pada APBN 2009, penerimaan dari pajak akan meningkat menjadi 71,1 persen dari total penerimaan negara atau Rp 726,28 triliun.

Bila dilihat lebih detail, kontribusi terbesar disumbang oleh pajak penghasilan, baik badan maupun perorangan, yang besarnya mencapai 50 persen dari total pendapatan pajak. Karena itu, NPWP menjadi instrumen penting bagi Ditjen Pajak untuk meningkatkan pendapatan dari pajak penghasilan. Bila semua pembayar pajak memiliki NPWP, diharapkan mereka yang memiliki penghasilan kena pajak akan membayar pajak.

Kedua, meskipun kontribusi pajak penghasilan besar, jumlah wajib pajak resmi di Indonesia sangat sedikit. Data pada 2007 menunjukkan jumlah wajib pajak badan hanya 1,35 juta dan perorangan cuma 5,14 juta. Total pembayar pajak, baik badan maupun perorangan, hanya 6,6 juta. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan total usia produktif di Indonesia yang mencapai 170 juta. Seharusnya ada lebih banyak penduduk Indonesia yang membayar pajak sehingga, melalui Sunset Policy, Ditjen Pajak hendak menambah jumlah pembayar pajak di Indonesia.

Korupsi pajak
Walaupun pajak merupakan penyumbang terbesar pendapatan pemerintah, sesungguhnya pajak sangat rawan terhadap korupsi. Berbagai survei persepsi Transparency International, seperti Bribery Perception Index dan Global Corruption Barometer, menunjukkan tingginya tingkat korupsi di sektor pajak. Meskipun pada survei tahun-tahun berikutnya posisi Pajak menurun--terutama karena posisinya "diambil alih" oleh polisi dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi terkorup--Pajak masih dianggap sebagai salah satu institusi yang rawan korupsi. Apalagi belum ada penegakan hukum di sektor pajak seperti halnya di Bea dan Cukai.

Modus utama korupsi di sektor pajak adalah negosiasi antara pembayar pajak dan petugas pajak, sehingga uang yang seharusnya masuk ke kas negara justru masuk ke kantong petugas pajak. Akibatnya, negara dirugikan dalam jumlah sangat besar. Namun, tidak mudah membuktikan korupsi dalam penagihan pajak karena korupsi pajak adalah korupsi yang saling menguntungkan. Pembayar pajak diuntungkan karena akhirnya membayar lebih kecil dari total kewajibannya, sedangkan petugas pajak diuntungkan karena mendapatkan uang suap.

Meskipun tidak mudah dibuktikan, rendahnya tax ratio Indonesia merupakan indikasi kuat adanya korupsi pajak. Tax ratio adalah perbandingan pendapatan pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Penerimaan pajak akan meningkat bila ekonomi mengalami pertumbuhan karena pertumbuhan akan meningkatkan PDB, dan pada akhirnya juga akan meningkatkan nominal pajak yang diperoleh pemerintah. Tax ratio yang rendah di Indonesia bisa dilihat sebagai petunjuk awal tentang tingginya tingkat korupsi di pajak. Seperti pernah diungkapkan oleh Faisal Basri dan Kwik Kian Gie, ratusan triliun rupiah uang negara lenyap karena praktek korupsi di perpajakan.

Sayangnya, kritik dari para pengamat ekonomi itu tidak mendapat respons yang memadai dari pemerintah. Dalam APBN 2009, tax ratio hanya 13,7 persen, mengalami sedikit peningkatan dibanding realisasi tahun 2004-2007 yang berada pada kisaran 12 persen dan tahun 2000-2003 yang berada pada kisaran 11 persen. Target pada 2009 juga masih jauh dari angka yang beberapa tahun lalu pernah diminta Presiden agar ratio meningkat menjadi 19 persen. Padahal, pada umumnya, tax ratio negara-negara sedang berkembang bisa mencapai 15-20 persen, bahkan untuk ukuran negara maju tax ratio bisa mencapai 30 persen (Gunadi, 2008).

Potensi korupsi di sektor pajak semakin besar karena Ditjen Pajak menolak audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. BPK tidak bisa melakukan audit atas pemungutan pajak sehingga penyebab rendahnya tax ratio tidak bisa dikonfirmasi. Celakanya, gugatan judicial review yang diajukan oleh BPK ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Vonis MK ini semakin memperkuat rezim ketertutupan Ditjen Pajak.

Peluang korupsi di sektor pajak juga sangat besar karena akumulasi kekuasaan pada Ditjen Pajak. Mekanisme komplain melalui pengadilan pajak diragukan efektivitasnya karena pengadilan pajak berada di bawah Ditjen Pajak. Sangat sulit mengharapkan pengadilan pajak bisa memberikan putusan yang adil bila kedudukannya tidak dipisahkan dari Ditjen Pajak.

Akuntabilitas pajak
Dengan akuntabilitas yang rendah dan potensi korupsi yang tinggi, penambahan jumlah NPWP justru berpeluang meningkatkan korupsi pajak. Apalagi penambahan jumlah pemegang NPWP belum tentu akan meningkatkan pendapatan pemerintah dengan signifikan. Kuncinya justru pada peningkatan tax ratio.

Salah satu strategi yang bisa dipergunakan adalah mengawasi dengan ketat petugas pajak serta mendorong KPK dan aparat penegak hukum untuk mulai melakukan penegakan hukum di sektor pajak. Tentu saja dibutuhkan peran masyarakat untuk turut mengawasi--tidak hanya penggunaan, tapi juga proses pemungutan pajaknya. Sungguh tidak adil bila masyarakat siap diperiksa karena telah memiliki NPWP, sementara Pajak justru semakin tertutup dan tidak akuntabel. Karena itu, slogan Ditjen Pajak harus diubah: "Lunasi pajaknya, awasi penggunaannya, dan awasi juga penagihan pajaknya". Sudah saatnya sumber utama keuangan pemerintah ditingkatkan akuntabilitasnya dan dibersihkan dari korupsi.

J. Danang Widoyoko, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 23 Desember 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan