Menimbang Kembali Daya Saing Indonesia
KABAR kurang menyenangkan kembali menyeruak di tengah berbagai bencana alam yang menimpa bumi Indonesia. Adalah hasil survei Political and Economic Risk (PERC) yang mengirim sinyal kurang bagus itu. Menurut hasil survei PERC, para eksekutif bisnis masih menilai risiko perekonomian Indonesia terburuk dibandingkan 11 negara besar Asia lainnya. Yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah institusi-institusi kunci yang masih lemah serta infrastruktur fisik dan sumber daya manusia yang buruk.
Menurut PERC, dari 14 negara yang disurvei, Thailand merupakan negara yang harus dimonitor dengan ketat dalam beberapa bulan ke depan. Ini berkaitan dengan berbagai perubahan yang dapat berdampak pada risiko bisnis. Sementara Singapura, meski masih berada di peringkat pertama, namun persepsi terhadap situasi politik domestiknya sedikit memburuk dibandingkan lima tahun lalu. Ancaman dari risiko eksternal menunjukkan peningkatan yang cukup besar.
Hasil survei PERC itu menunjukkan, relatif tidak ada perubahan berarti terkait dengan peringkat daya saing Indonesia. Kenapa demikian? Karena pada tahun 2005 yang lalu Indonesia menduduki peringkat bawah dalam hal kemudahan berbisnis. Posisi ini jauh tertinggal dengan peringkat Singapura, Malaysia, dan Thailand yang menempati daftar 30 negara teratas.
Itulah laporan Doing Business in 2006 yang disusun International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia (World Bank). Kedua lembaga ini melakukan survei terhadap 155 negara tentang kemudahan berbisnis berdasarkan kunci pokok regulasi dan reformasi bisnis dalam kurun waktu Januari 2004-2005. Hasil survei tersebut menempatkan Indonesia pada urutan ke-115. Itu adalah peringkat global dan Indonesia masih menempati urutan bawah.
Tahun 2004, Indonesia berada dalam kelompok seperempat terbawah dari 145 negara yang termasuk dalam studi serupa. Sejak itu, Indonesia telah mengalami kemajuan dalam tiga hal, yakni memperkenalkan undang-undang kebangkrutan (kepailitan) dan menyusun ulang bisnis-bisnis prospektif, memperbaiki peraturan yang melindungi para investor, dan mengubah regulasi bisnis dengan menurunkan biaya untuk memulai sebuah bisnis.
Meski sedikit meningkat jika dibandingkan dengan peringkat sebelumnya, posisi Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga. Survei IFC dan Bank Dunia mencatat enam negara Asia Timur masuk dalam daftar 30 negara teratas di dunia untuk indeks kemudahan berbisnis, antara lain Singapura, Hong Kong (Cina), Jepang, Thailand, Malaysia, dan Korea.
Seperti yang telah dilakukan IFC dan Bank Dunia sebelumnya, survei mencakup tujuh paket indikator iklim bisnis, yaitu memulai bisnis, mempekerjakan dan menghentikan pegawai, menetapkan kontrak kerja, mendaftarkan properti, memperoleh kredit, melindungi investor, dan menutup usaha. Namun dalam laporan Doing Business in 2006 diperluas dengan penambahan tiga indikator baru, yaitu membayar pajak, lisensi usaha, dan perdagangan antarbatas negara.
Hasilnya menunjukkan, perusahaan Indonesia membayar 38,8% dari keuntungan kotornya untuk pajak, sedangkan rata-rata kawasan adalah 31,2%. Indikator lain yang melemahkan posisi Indonesia adalah jumlah hari dan prosedur untuk menetapkan kontrak yang cukup lama, yaitu 570 hari dan 34 prosedur. Sementara itu, Malaysia hanya butuh 300 hari dengan 31 prosedur dan Singapura hanya 69 hari dengan 23 prosedur. IFC menyarankan agar pemerintah Indonesia mengurangi jalur birokrasi serta menghapus pengulangan prosedur.
Meskipun demikian, tingkat corporate governance Indonesia setara dengan rata-rata regional di atas peringkat Filipina, walaupun masih tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura. Indikator itu berbicara tentang seberapa terbuka jajaran komisaris dalam praktik perusahaannya. Artinya, Indonesia lebih baik daripada beberapa negara di bawahnya.
Sebenarnya Indonesia sudah melakukan banyak perubahan, walaupun kalau melihat hasilnya seolah belum ada perubahan. Ini berarti ada dua hal yang harus dicermati. Pertama, kita merasa sudah melakukan perubahan menjadi lebih baik, namun ternyata negara-negara lain perubahannya jauh lebih cepat dibandingkan Indonesia. Kedua, perubahan-perubahan itu tidak tampak dan dirasakan secara nyata sehingga kalangan investor dan para eksekutif bisnis tetap menilai Indonesia lebih buruk dibandingkan negara-negara lain.
Masalah apa yang paling berat dialami bangsa Indonesia saat ini? Jawabnya, yaitu masih maraknya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Boleh jadi para responden yang disurvei oleh PERC ataupun IFC menilai relatif tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memberantasnya. Walaupun UU Korupsi sudah dibuat dan lembaga pemberantasan korupsi sudah dibentuk, namun pelaksanaannya ternyata masih melempem.
Kalau pemerintah ingin memperbaiki keadaan, seharusnya pemberantasan KKN menjadi prioritas utama, sebagaimana yang dilakukan Cina dan Korsel. Diyakini bahwa ada korelasi positif antara penegakan hukum dan pemberantasan KKN dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi karena semua instrumen ekonomi akan bekerja secara natural pada tingkat efisiensi yang lebih optimal. Jika Cina tahun lalu bisa mendongkrak pertumbuhan ekonominya menjadi 10,9%, tentu Indonesia pun bisa melakukannya.
Salah satu agenda dari tiga agenda strategis yang terungkap dalam pidato politik pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah penegakan hukum terhadap pelanggaran KKN. Jadi, upaya menciptakan pemerintahan yang bersih (good government) merupakan PR (pekerjaan rumah) pertama yang harus diselesaikan pemerintah. Saat ini kita sudah punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) untuk melengkapi kepolisian dan kejaksaan. Apabila lembaga-lembaga ini bisa berkoordinasi lebih baik dan jauh dari rivalitas, tentu hasilnya akan jauh lebih efektif.
PR kedua adalah melakukan pembenahan atau reformasi birokrasi karena wajah birokrasi Indonesia selama ini dinilai tidak pro pasar, pro bisnis, dan pro investasi di mata pelaku usaha dan investor. Karena itu, pemerintah harus membuat grand design reformasi birokrasi sehingga terjadi perubahan kultur birokrasi dari sebelumnya