Menilik 'Jeroan' KPK

Seperti sungai yang jebol tanggulnya. Begitulah kira-kira frasa yang pas untuk menggambarkan derasnya aliran pengaduan masyarakat ihwal dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setelah KPK membombardir para koruptor di KPU dalam dua bulan terakhir, gairah terhadap pemberantasan korupsi pun makin menggurita dari berbagai penjuru Nusantara.

Media mengumpulkan keping-keping pengaduan itu. Selebaran, pekik orasi, dan lantunan pernyataan sikap yang dikumandangkan para pengunjuk rasa setidaknya menunjukkan adanya geliat partisipasi masyarakat untuk mengawasi sang penguasa di daerahnya masing-masing.

Berbagai aksi kreatif digelar. Beragam simbol pemberantasan korupsi turut dibawa dalam aksi massa. Mulai dari ikan asin sampai tikus putih. Tali tambang sampai telur busuk. Hingga rampak gendang dan busana adat pun mewarnai demonstrasi.

Sebagai contoh, Kamis (23/6), seorang pendemo yang mengadukan dugaan korupsi mantan Bupati Mandailing Natal, Sumatra Utara, tak henti-hentinya mengacung-acungkan sebundel berkas audit BPK terhadap APBD kabupaten tersebut. Sehelai Ulos tersampir di pundaknya.

Ini bukti korupsinya. Kalau audit ini salah, tangkap BPK-nya. Tapi kalau benar, tangkap bupatinya, katanya menggebu-gebu.

Dua bulan terakhir adalah kurun waktu yang sesak. Sesak oleh maraknya massa yang menyambangi kantor KPK. Kadang arus lalu lintas di Jl Veteran III (kantor KPK) tersendat oleh kerumunan massa.

Media mencatat (hanya berdasarkan pengumpulan dokumentasi pengaduan lewat aksi massa ke kantor KPK di Jl Veteran III, Jakarta), selama kurun waktu itu total uang yang diadukan 'kena tilep' mencapai Rp2,55 triliun. Tentu ini bukan angka yang persis tepat, pun belum tentu itu uang yang haram. Nilai uang itu dihitung dari sekitar 30 berkas pengaduan yang dikumpulkan.

Kendati demikian, tak semua berkas menyodorkan nilai korupsi. Beberapa di antaranya hanya menyebut pelaku korupsi secara umum (misal bupati, gubernur), tanpa merinci di titik apa penguasa melakukan korupsi dan modusnya seperti apa. Berikut cerita seperti disebut filsuf politik Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.

Salah satu pekik antikorupsi datang dari massa yang menamakan diri Komite Penegak Kebenaran (KPK) Kendal, (28/4). KPK Kendal tak menyebutkan angka sedikit pun. Isi pengaduan kira-kira, Kami datang untuk meminta dengan sangat supaya KPK memprioritaskan kasus dugaan korupsi Bupati Kendal. Kendal adalah peringkat ketiga terbesar setelah Surakarta dan Demak, dalam banyaknya kasus korupsi.

Lain Kendal, lain Papua. Aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Papua se-Indonesia, Jumat (2/6), diwarnai kericuhan. Puluhan orang pengunjuk rasa bernyanyi dan berteriak-teriak sambil mengguncang-guncang pagar. Dalam draf pernyataan sikap, mereka sempat mengutip pengertian 'korupsi' menurut kamus. Korupsi menurut mereka berasal dari kata korup, yang memiliki segudang arti dengan konotasi jahat, bejat, bobrok, rusak, dan sangat merugikan. Aksi BEM Papua itu menyuarakan dugaan korupsi 'penguasa' Papua JP Salossa yang mengemplang dana otonomi khusus Papua sebesar Rp1,775 triliun.

Aksi antikorupsi adalah suara nyaring masyarakat tentang busuknya perilaku penguasa dalam pengelolaan uang rakyat. Suara itu mendesak minta didengar oleh pemerintah. Dua orang pengunjuk rasa berlabel Kesatuan Aksi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (KAMPAK), sempat gusar karena aksinya tak mengundang perhatian. Dua orang itu akhirnya naik sepeda motor dan berhenti di depan lobi kantor KPK. Setelah itu, selebaran pengaduan disebar di lantai. Isinya, KPK diminta untuk mengusut dugaan korupsi dana pangkal dan alokasi umum serta dana pengungsi senilai Rp113 miliar. Pelakunya, diduga, Gubernur Maluku Utara Thaib Armayn.

Kisah lain disampaikan LSM Masyarakat Transparansi Kabupaten Bogor. Mereka menyuarakan dugaan pengemplangan dana dalam pengadaan seragam hansip Pemilu 2004, sebesar Rp7,8 miliar. Koalisi LSM Bima Nusa Tenggara Barat mengusung janggalnya pembelian 500 unit sepeda motor merek Jincheng yang dipakai kepala sekolah dan kepala desa di Bima. Sementara Forum Peduli Nasib Karyawan Perum DAMRI mengeluhkan gaji karyawan yang belum dibayar sejak Januari-Mei tahun ini.

Masih soal pengaduan, Koalisi LSM Peduli Poso menyinggung dugaan korupsi dana kemanusiaan konflik Poso. Dana jaminan hidup dan bekal hidup bagi warga yang sedang kena nestapa, diduga disunat rata-rata Rp50 ribu-Rp800 ribu.

Sementara LSM Detektif 'mengubek-ubek' dugaan penyimpangan uang oleh Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta dalam proyek pengerukan lima sungai dan waduk di Jakarta, yakni Kali Tirem, Situ Babakan, Waduk Setiabudi, Kali Sunter dan Cipinang, serta Banjir Kanal Timur. Proyek itu, kata LSM Detektif, dinilai fiktif. Kerugian negara mencapai Rp10,9 miliar.

Di satu sisi gairah di atas adalah anugerah demokrasi dan reformasi. Namun di lain sisi, publik perlu menilik kapasitas KPK sebagai sebuah lembaga. Seperti apa 'jeroan' KPK?

Laporan pengaduan masyarakat ke KPK hingga 31 Mei 2005 tercatat 4.862 surat. Dari jumlah itu, 4.271 surat sudah ditelaah dan 591 surat sedang ditelaah. Sudah ditelaah maksud surat itu, 1.380 surat diteruskan kepada instansi yang berwenang, misal kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, dan lainnya. 1.573 surat tidak diteruskan karena bukan tindak pidana korupsi, dan 1.318 surat balik lagi ke pelapor karena perlu keterangan tambahan.

Lantas berapa yang ditangani KPK? Dari 1.380 surat yang ditindaklanjuti itu, KPK menangani 15 surat alias cuma 1,08%. Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan semua laporan itu ditelaah KPK. Namun, laporan dari pendemo sering kali tidak jelas dari mana hitungannya. Memang bila ditotal jumlahnya fantastis, kata Erry.

Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki menilik sisi lain. Belakangan ini, tukasnya, saking bersemangatnya, para pendemo itu menjadikan kliping berita media massa--yang bukan merupakan alat bukti--sebagai bukti dugaan korupsi. Selain itu beberapa waktu terakhir, laporan pendemo itu bertendensi untuk menjatuhkan kompetitor dalam pilkada, kata Ruki.

Meski banyak silang pendapat soal pengaduan jalanan itu, yang jelas, masyarakat masih haus menanti akankah UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi kembali menjerat korban. (Agustinus Edy Kristianto/P-3)

Sumber: Media Indonesia, 4 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan