Menikmati Berbagai Keterbatasan "Fasilitas" di Penjara

Dapat Keistimewaan Tidak Perlu Tampil Telanjang

Fasilitas yang dinikmati Artalyta Suryani di sel mewahnya di Rutan Pondok Bambu membuat publik terperangah. Namun, bagi orang biasa, rutan identik sel sempit yang untuk "bernapas" harus menempuh banyak kiat. Berikut pengalaman RISANG BIMA WIJAYA, wartawan Radar Jogja yang enam bulan menghuni penjara Cebongan, Sleman, Jogjakarta.

Sekitar pukul 21.00 pada 7 Desember 2007 menjadi malam yang tak pernah saya lupakan. Meski sudah masuk areal Rutan Cebongan, awalnya saya seperti tak sedang dibawa ke penjara.

Cebongan adalah bangunan standar rumah tahanan kelas dua dengan kapasitas 164 tahanan. Namun, seperti penjara-penjara di daerah lain, rutan ini berubah fungsi menjadi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang menampung lebih dari 400 tahanan dan napi.

Saya dibawa ke ruang regristrasi. Sampai di sana saya harus menandatangani beberapa surat. Saya tak memedulikan apa isinya. Demikian pula, saat diminta membubuhkan sepuluh sidik jari saya. Setelah itu, saya menghadapi petugas Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) dan sipir jaga yang disebut regu macan. Ada lima regu macan di Cebongan yang wajib dipanggil Pak atau Ndan (komandan).

Di ruang KPLP, tampak papan besar dengan tempelan kertas biru dan merah. Merah untuk tahanan dan biru untuk narapidana. Di ruang itu ransel yang saya bawa digeledah petugas KPLP. ''Di sini hanya boleh bawa pakaian tiga potong,'' kata petugas yang belakangan saya tahu bernama Margo.

Isi tas saya dikeluarkan. Korek api, gunting kuku, cincin, dan cermin kecil disita. Saya kemudian diminta membuka baju. Ikat pinggang juga dilepas karena termasuk barang terlarang. Bahkan, sepatu yang saya pakai harus dititipkan. Tasbih di pergelangan tangan juga tak luput dari pemeriksaan. ''Sepatunya tidak pakai tali. Tidak apa-apa. Ini, tasbihnya tali pendek, tidak apa-apa,'' kata Margo.

Semua tahanan dan napi yang baru masuk biasanya ditelanjangi sipir. Tapi, saya adalah pengecualian. Saya hanya buka kaus. Rupanya, mereka percaya kepada saya, wartawan yang divonis penjara karena tulisan jurnalistik saya pada 2002 (Karya saya dikriminalisasikan oleh pihak yang merasa dirugikan). Saya dihukum penjara enam bulan.

Saya lalu diberi segulung tikar plastik lusuh yang banyak bagian ujungnya lepas sebagai alas tidur. Saya juga diberi gelas dan piring plastik yang masih baru. Saat berjalan menuju blok para napi dan tahanan, perasaan saya berubah tidak karuan. Takut, grogi, dan degdegan bercampur aduk. Blok yang dikelilingi jeruji besi dan kawat berduri itu sungguh kontras dengan tempat KPLP.

Saya berjalan menyusuri paving block dengan luas separo lapangan sepak bola. Halaman itu diterangi lampu mercury. Di sisi barat lapangan terlihat pagar besi dengan lilitan kawat berduri setinggi tiga meter. Lalu, empat menara pengawas di empat sudut pagar tembok yang tingginya juga tiga meter. Setiap blok narapidana hanya diterangi lampu lima watt di pos jaga yang juga disebut pos munyuk.

Regu Macan Dua yang mengantar saya membuka pintu blok C. ''Ini blok karantina. Yang baru masuk harus di sini dulu. Anda jangan khawatir. Kalau ada yang macam-macam, segera lapor petugas,'' kata petugas yang mengantar saya ke sel nomor 7 di blok C.

Pintu sel dibuka. Suara tiga gembok besar yang dibuka dan engsel pintu berderit membangunkan para tahanan di blok yang dihuni 65 tahanan. Di penjara Cebongan, tahanan yang masuk saat malam pasti tahanan khusus atau orang istimewa. Saat saya masuk sel nomor 7, mereka tampak menatap saya.

''Siapa yang dituakan di sini? Ini tolong dikasih tempat,'' kata petugas dengan nada menghardik. ''Awas. Jangan ada apa-apa dengan dia,'' hardiknya lagi kepada sembilan tahanan di sel berukuran tiga kali lima meter tersebut.

Sel nomor 7 biasanya diisi 17 orang. Saking sesaknya, tahanan yang masuk harus tidur dengan duduk atau tidur bergantian. Semua sel di blok karantina hanya diterangi bohlam lima watt yang menggantung di plafon kayu setinggi tiga setengah meter.

''Anggaran listrik terbatas. Jadi hanya boleh lima watt. Pompa air juga dinyalakan sehari dua kali, biar irit listrik,'' kata Beni yang dibenarkan Amin, dua tahanan yang masuk sehari sebelumnya karena mencuri helm.

Malam pertama itu saya tak bisa tidur. Bukan karena tidak mengantuk, tapi karena tak ada tempat lagi untuk tidur. Lantai semen di bawah dan di atas (lebih tinggi 20 cm) sudah penuh. (bersambung)

Sumber: Jawa Pos, 15 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan