Menguji Kinerja Hakim Agung (Baru)

Enam hakim agung baru akhirnya dipilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proses pemilihan kali ini cukup menyita perhatian publik karena dilakukan di tengah perdebatan substansi RUU MA yang kontroversial dan desakan banyak kalangan untuk mempercepat proses reformasi peradilan. Pemilihan kali ini sekaligus menambah jumlah hakim agung baru menjadi 12 orang di antara 48 hakim agung di MA. Kehadiran hakim agung baru diharapkan dapat membawa angin perubahan di tubuh MA. Karena setidaknya, mereka dianggap tidak menjadi bagian dari benang kusut mafia peradilan dan memiliki komitmen untuk mereformasi peradilan.

Namun, berbagai tanggapan, baik bernada optimistis maupun pesimistis bermunculan. Sebagian pihak melihat kehadiran sosok baru di lingkungan MA merupakan tambahan darah segar bagi pembenahan institusi tersebut. Kehadiran mereka, paling tidak, memacu kinerja lembaga dan mempercepat proses reformasi. Sementara sebagian pihak lain tetap meragukan kemampuan hakim agung baru, mengingat begitu kusutnya benang mafia peradilan yang tidak akan bisa diberantas tuntas, meski didukung kehadiran hakim-hakim agung baru.

Carut Marut MA

Kegundahan akan kondisi lembaga peradilan di Indonesia sudah berlangsung lama, boleh dikatakan sepanjang keberadaan negara ini. Sejak periode kemerdekaan sampai era reformasi, peradilan tetap saja menampilkan wajah buram, jauh dari harapan fair tribunal and independence judiciary yang merupakan salah satu persyaratan mutlak bagi upaya mewujudkan the rule of law.

Saat ini, selain tumpukan perkara yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, masalah krusial yang dihadapi dunia peradilan adalah maraknya praktik mafia peradilan, buruknya kapasitas kelembagaan, dan masalah kepemimpinan di tubuh MA. Karena itu, hampir setiap tahun lembaga peradilan Indonesia selalu diposisikan sebagai lembaga terkorup atau setidaknya lembaga yang jauh dari prinsip tansparansi dan akuntabilitas.

Awal 2007, Transparancy International Indonesia (TII) merilis hasil survei atas institusi peradilan dan lembaga pelayanan publik lainnya. Hasilnya mengejutkan banyak pihak karena 100 persen inisiatif suap di lembaga peradilan justru berasal dari pejabat atau pegawai peradilan.

Kemudian, pada 2008 ini, survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan peradilan Indonesia di posisi terburuk di Asia. Seperti dirilis PERC, peradilan Indonesia ditempatkan pada posisi terburuk pertama se-Asia dengan skor 8,26. PERC yang menggunakan skala 1-10 melakukan survei terhadap 1.537 responden dari pihak yang bersentuhan langsung dengan peradilan, kelompok bisnis, dan lain-lain.

Terkait putusan kasus korupsi, ICW mencatat bahwa tren putusan bebas untuk kasus korupsi 2005 hingga Juni 2008 di peradilan umum terus meningkat. Pada 2005, sekitar 22,22 persen terdakwa kasus korupsi divonis bebas di peradilan umum (54 orang). Jumlah itu meningkat menjadi 32,13 persen atau 116 terdakwa pada 2006. Hal itu kembali mengalami kenaikan 56,84 persen atau 212 orang pada 2007 dan 104 terdakwa korupsi kembali divonis bebas hingga Juni 2008. Artinya, dari total 1.184 terdakwa kasus korupsi yang dapat dipantau ICW, sebagian besar divonis bebas dan sebagian lain dihukum relatif ringan.

Selain itu, MA tercatat sebagai lembaga yang tidak tertib hukum administrasi dan keuangan negara. Catatan perseteruan antara MA dan lembaga negara lain, seperti BPK dan KY, memberikan kesan negatif bahwa MA tak ingin dikoreksi pihak luar. Pejabat MA juga dinilai paling rendah tingkat kepatuhannya dalam membuat laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN). Berdasarkan data KPK, dari 21.177 pejabat, hanya 16.360 yang melaporkan harta kekayaannya.

Tugas Berat

Rentetan pekerjaan rumah di atas merupakan tantangan berat. Makin berat, manakala tugas para hakim agung tidak hanya menyangkut persoalan teknis yudisial, tetapi juga mendorong reformasi administrasi dan kelembagaan MA. Upaya reformasi MA yang dinilai mulai melambat selama 10 tahun ini harus diaktifkan kembali.

Keterbukaan sebagai bagian penting reformasi dan salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yang baik harus dilaksanakan sungguh-sungguh. Para hakim agung baru harus bisa memelopori keterbukaan di MA, baik keterbukaan akses terhadap putusan kasasi maupun keterbukaan dalam bidang keuangan. Penolakan MA untuk diaudit oleh BPK harus diakhiri.

Manajemen penanganan perkara menjadi masalah lain yang harus diperbaiki. Prinsip pengadilan yang murah, cepat, sederhana, dan terbuka harus benar-benar dilaksanakan dalam menegakkan keadilan. Prinsip itu juga perlu untuk mengurangi tumpukan perkara yang mencapai puluhan ribu.

Terakhir, hal yang tak kalah penting adalah kepemimpinan MA. Ketua MA Bagir Manan, yang akan pensiun mulai 1 November, harus digantikan orang yang reformis, visioner, dan lebih muda. Untuk itu, hendaknya hakim agung jangan sampai salah pilah dan salah pilih ketua MA.

* Oce Madril, peneliti pada Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi FH UGM

Research Student, Postgraduate Program in Law and Governance Studies, Nagoya University, Jepang

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 27 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan